Ketika Artikel Tidak Dimuat


Oleh Eko Prasetyo

”Syarat untuk menjadi penulis ada tiga. Yaitu, menulis, menulis, menulis.”
~Kuntowijoyo~
***
Seorang kawan begitu bersemangat menulis artikel opini di koran. Sedemikian antusiasnya, sampai-sampai dia rela berlangganan dua koran nasional sekaligus.
Kawan tersebut berprofesi sebagai guru. Dia getol belajar dan membuat artikel opini setelah melihat tulisan temannya sesama guru dimuat di koran. Inilah yang melecut spiritnya dalam menulis. Tak mau kalah. Tujuan lainnya, lolos sertifikasi. Ini wajar. Sebab, dalam syarat portofolio, ada poin tertentu untuk tiap artikel yang dimuat koran. Salah satunya didasarkan pada pemuatan di koran level nasional atau lokal.
Namun, belakangan ia mengeluh lesu darah alias tak bersemangat lagi untuk menulis. Ternyata, itu dipicu oleh tidak dimuatnya beberapa artikel guru tersebut. Dia mengaku enggan mengirimkan tulisan lagi ke media massa. Pengalamannya mungkin juga dialami banyak penulis lainnya. Terutama, mereka yang berniat mengirimkan tulisan ke media massa. Sungguh disayangkan apabila harus putus asa karena tulisan tidak dimuat.
Lantas, apa yang mesti dilakukan? Budayawan Sapardi Djoko Damono pernah mengilustrasikan pengalamannya saat mengirimkan tulisan ke media. Itu terjadi puluhan tahun silam, pada 1970-an. Dia bercerita bahwa sudah puluhan kali menulis, tapi belum kunjung dimuat. Namun, Sapardi tetap menulis. Dalam proses ”gagal” itu (karena belum bisa dimuat), seseorang diajak mengoreksi apa saja yang masih sehingga tulisannya belum bisa dimuat.
Berpikir positif perlu ditanamkan. Memang, persaingan ketat bakal ditemui manakala kita mengirimkan artikel ke media. Apalagi, sangat mungkin banyak penulis dari kalangan pejabat, akademisi, ulama, dan praktisi ahli yang juga menulis. Ini terutama terjadi di media massa nasional. Setidaknya, ada prioritas bagi penulis yang sudah punya nama. Wajar jika para penulis pemula seperti guru tadi mengalami kesulitan untuk menembus media massa.
Sekadar berbagai pengalaman pribadi, saya pernah mengalami hal seperti guru itu. Saya kerap menulis dan kerap pula ditolak alias tidak dimuat. Sempat sih minder dan nyaris putus asa. Namun, itu tidak sampai memupuskan semangat saya untuk tetap menulis. Saya melakukan introspeksi terhadap artikel-artikel yang tidak termuat itu. Mencari apa saja yang menjadi kekurangannya untuk bisa saya perbaiki di kemudian hari ketika menulis lagi. Misalnya, faktor aktualitas, data pendukung, dan bahasa. Semuanya saya pelajari dan berusaha untuk saya perbaiki.
Belum atau tidak termuat belum berarti akhir dari proses belajar. Justru hal itulah yang menjadi pelecut untuk menghasilkan karya-karya lain. Intinya, jangan berhenti menulis, meski tulisan itu belum bisa dimuat. Lihat dan baca ulang tulisan Anda, apakah sudah betul-betul layak untuk dipublikasikan. Bila perlu, berkonsultasilah kepada pakar atau orang yang lebih berpengalaman. So, jangan putus asa ketika artikel kita gagal menembus media massa. Jika orang lain bisa melakukannya, kita pun punya peluang yang sama.

1 komentar:

Athur Alam mengatakan...

Menulis, menulis dan menulis.. jargon 3in1 yang sangat terdengar sederhana namun cukup sakti...

Menulis untuk media massa (apalagi level nasional) sepertinya menarik juga ya mas.. Apalagi ketika kita sudah memiliki kolom khusus di media/surat kabar teretntu.. wuihh, kapan ya bisa seperti itu?

Mungkin saat ini saya memang masih harus mengasah kemampuan menulis saya yang terkadang masih susat dipahami pembaca.. karena tak jarang susunan kalimatnya terlalu panjang atau salah penempatan kata.. hhmmm...

mudah2an dalam beberapa waktu kedepan harapan ini bisa terwujud ... aminnn...