Cinta tanpa Syarat



Oleh: Eko Prasetyo

Malam tahun baru 1999 adalah awal malapetaka bagi saya. Saya mengalami kecelakaan hebat setelah motor yang saya kendarai bertabrakan dengan sebuah mobil taft. Sempat sadar setelah terjatuh, saya melihat darah berceceran di sekitar lokasi. Gagal mencoba berdiri, saya baru menyadari bahwa kaki kanan saya terluka cukup parah. Urat besar di bawah lutut saya putus.

Setelah dioperasi di Rumah Sakit Mekar Sari, Bekasi Timur, saya diharuskan istirahat total. Sejak saat itu saya harus menghadapi kenyataan pahit, kaki kanan saya pincang. Ya, saya cacat.

Hari-hari pada proses pemulihan kondisi terasa amat berat. Betapa tersiksanya ketika saya harus merangkak menuju kamar mandi untuk sekadar buang hajat. Dan sejak saat itu saya sadar bahwa karunia Allah atas kesehatan dan kesempurnaan pada tubuh kita begitu besar.

Dan orang yang rela menemani hari-hari berat itu dan merawat saya adalah ibu. Beliau membasuh darah yang kadang masih keluar dari kaki saya dan membasuh seluruh tubuh saya sebagai ganti mandi. Berbulan-bulan sakit itu hingga saya diterima kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya. Kasih sayang beliau tak berkurang sedikit pun meski saya cacat.


***

Alkisah, ada seorang pemuda yang dikirim ke medan perang. Dia prajurit muda. Setelah sekian lama bertempur, dia akhirnya diperbolehkan pulang. Sebelum kembali ke rumahnya, pemuda itu menelepon kedua orang tuanya terlebih dahulu.

”Ibu, Ayah, aku sedang menuju pulang. Tapi, sebelum sampai, aku ingin menanyakan satu hal. Aku punya seorang teman yang ingin kubawa pulang bersamaku. Bolehkah?”

”Tentu. Kami sangat senang bertemu dengan temanmu itu,” jawab kedua orang tuanya.

“Tapi, ada satu hal yang harus Ibu dan Ayah ketahui. Temanku ini sedang terluka akibat perang. Dia kehilangan satu kaki dan satu tangannya. Dia tak tahu ke mana harus pulang. Aku ingin dia tinggal bersama kita,” ujar sang pemuda.

“Kasihan sekali. Mungkin kita bisa mencarikan tempat untuk temanmu tersebut,” tutur kedua orang tua pemuda itu.

“Tidak. Aku ingin dia tinggal bersama kita,” tegas si pemuda.

“Anakku, kamu tak tahu apa yang sedang kamu minta. Seorang yang cacat akan menjadi beban bagi kita. Kita punya kehidupan sendiri. Dan sesuatu seperti ini tidak bisa mencampuri kehidupan kita,” jawab ayah pemuda itu.

“Menurut Ayah, sebaiknya kamu pulang dan lupakan saja temanmu itu. Dia pasti menemukan cara sendiri untuk hidup,” lanjut sang ayah.

Prajurit muda itu terdiam sejenak. Lalu, dia menutup telepon.

Beberapa hari kemudian, ayah dan ibu prajurit muda tersebut mendapatkan kabar dari polisi bahwa ada seorang pemuda yang bunuh diri dengan cara melompat dari puncak gedung. Berdasar identitasnya, diketahui bahwa pemuda itu adalah anak lelaki mereka.

Dengan perasaan duka dan sedih, kedua orang tua itu datang ke tempat kejadian perkara untuk memastikan kabar itu. Ketika berada di dekat jenazah, kedua orang tua tersebut yakin bahwa jasad lelaki itu adalah putra mereka.

Namun, yang membuat mereka sangat terkejut adalah jenazah itu hanya memiliki satu tangan dan satu kaki.

***

Sering kali, tanpa kita sadari, kita kerap terpesona oleh penampilan luar seseorang. Ada seorang guru yang hanya suka terhadap murid yang pintar. Bahkan, ada seseorang yang hanya menghormati orang yang cantik, tampan, kaya, dan segala sesuatu yang bagus-bagus saja.

Berapa banyak kata cinta yang terlontar dan kita dengar dalam sehari? Kata cinta dapat dengan mudah kita jumpai di majalah, surat kabar, televisi, radio, atau ponsel. Kata cinta juga gampang dijumpai di rumah, tempat umum, rumah sakit, atau diari sekalipun.

Mudah saja seorang pria mengucapkan kata cinta kepada gadis yang cantik rupawan. Mudah saja seorang ibu mengucapkan cinta kepada anak yang lucu menggemaskan. Mudah saja seorang guru bilang cinta kepada murid yang rajin dan pintar.
Mudah saja seorang bos menuturkan cinta kepada anak buah yang produktif dan kinerjanya baik.

Namun, mudahkah kita mengucapkan cinta kepada seseorang yang tak secantik, serupawan, selucu, sepintar, dan serajin yang kita bayangkan? Apakah seorang pria akan tetap mengutarakan cinta apabila si gadis tak lagi cantik dan memesona? Apakah seorang guru tetap mengasihi jika muridnya malas dan membangkang?

Tanpa disadari, kita acapkali hanya mau mencintai dan hidup bersama orang yang sempurna di mata kita. Namun, kita tak senang hidup dengan orang yang membuat kita tidak nyaman.

Seperti kisah prajurit muda tadi, kedua orang tua itu mencintai dengan tidak tulus, harus dengan syarat. Mereka gagal dalam ujian keikhlasan.

Dan untuk seorang ibu yang rela merawat dan membesarkan hati saya ketika saya merasa down, hanyalah doa agar Allah senantiasa menjaga dan memudahkan segala urusannya ketika kami tidak lagi bersama saat ini.

prasetyo_pirates@yahoo.co.id
(dimuat Eramuslim, 11 Juni 2009)

Mr President



catatan: Eko Prasetyo

Rivalitas kini menjadi aroma yang mudah ditemui. Menjelang pemilu presiden (pilpres) yang dihelat pada Juli mendatang, para capres dan cawapres sibuk melontarkan visi dan misi, dan tentu saja dengan segala bumbu politik janji mereka terhadap pembangunan bangsa ini ke depan. Konsekuensinya, pejabat yang sama-sama satu atap bisa menjadi rival saat masing-masing mencalonkan diri untuk maju ke panggung pilpres tersebut.

Meski demikian, tentu alangkah sejuknya bila rivalitas itu hanya berwujud kulit, tanpa menyentuh isinya. Artinya, sesudah bersaing memperebutkan sesuatu, tetap sama-sama saling menghargai. Yang kalah menghormati yang menang. Yang menang tak merendahkan yang kalah. Sama-sama saling menghargai. Betapa indahnya jika bangsa ini dipimpin oleh petinggi seperti itu.

***
Pada 3 April 2009, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan istri berkunjung ke Surabaya bersama beberapa pejabat negara untuk bersilaturahmi dengan para guru dari Surabaya dan sekitarnya. Pada hari itu pula bertepatan dengan malam puncak penutupan program Untukmu Guruku 2009 Jawa Pos. Program tahunan tersebut terasa amat istimewa karena menghadirkan presiden atas undangan Pak Dahlan Iskan.

Malam-malam sebelum acara silaturahmi itu, saya kebagian menjadi panitia dan bekerja sama dengan beberapa pihak. Saya ditunjuk oleh ketua program untuk membuat denah ruang pembagian kursi pejabat dan peserta. Tentu saja mulanya saya terkejut mendapat tugas itu. Pasalnya, selain saya termasuk junior, tentu saja saya bukan ahli tata ruang atau arsitek. Namun, saya meyakinkan diri untuk menerima “kehormatan” tersebut. Bismillah, saya pasti bisa! Begitu saya menyemangati diri.

Hari-hari menjelang acara puncak terasa begitu berat dan tegang. Saya harus mengikuti rapat tim bersama protokoler istana. Belum lagi malamnya saya harus bekerja untuk menyunting berita untuk keesokan harinya. Stres menjadi karib yang menemani saya pada hari-hari itu. Apalagi, rencana yang sudah disusun matang bisa berubah dengan cepat atas permintaan tim protokoler istana kepresidenan. Lelah itu pasti. Tapi, saya tetap berpikir positif agar stres dan lelah dapat terusir. Mulanya, saya ragu apakah bisa mendatangkan sekitar empat ribu guru di lokasi acara puncak nanti.

Akhirnya, hari yang ditunggu tiba. Para peserta yang rata-rata para pencetak tunas bangsa tersebut mulai berdatangan sore itu. Saya harus wira-wiri dari lokasi pendaftaran ke DBL Arena, tempat acara puncak dihelat. Menjelang senja, ribuan guru telah memenuhi aula luas berkapasitas maksimal 4.400 orang tersebut. Nyaris tak ada bangku yang tak terisi. Penuh dan sesak.

Saya terus mengawasi perhelatan puncak itu dari salah satu lorong kecil. Banyak peserta yang mulai tak kebagian tempat sehingga para panitia harus bekerja ekstrakeras untuk mengatur jalannya acara. Sekitar pukul 18.25 WIB, Presiden SBY dan istri muncul dari tribun atas VVIP menyapa ribuan guru yang telah hadir. Udara yang terasa gerah karena banyaknya peserta mulai berubah. Suasana riuh dan para peserta melakukan standing ovation untuk menyambut kedatangan SBY.

***

Dalam pidatonya, SBY berjanji untuk lebih memperhatikan kesejahteraan para guru di Indonesia. Dia pun menyangkal kabar bahwa tunjangan guru akan dihentikan. “Kabar tersebut tidak benar,” ujarnya, yang disambut tepuk tangan meriah dari ribuan guru.

Saya menyaksikan orasi SBY tersebut dari sebuah sudut panggung yang terlindung oleh sebuah pot besar berisi pohon palma ukuran sedang. Peluh bercucuran menahan lelah. Capai itu seolah terbayar lunas setelah melihat kegembiraan para peserta mendengar janji presiden untuk mengakomodasi fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru.

Salah satu lagu kebangsaan mulai dikumandangkan untuk mengiringi penutupan acara tersebut. Saya melihat, mendengar, dan mencatatnya!

***

Pemimpin yang rendah hati dan peduli terhadap rakyatnya adalah sosok idaman. Apalagi menjelang pilpres seperti saat ini. Saat sibuk merampungkan suatu naskah, saya membaca manuskrip lama tentang Presiden Iran Ahmadinejad. Bukan artikel yang memuat beritanya, tapi foto-foto aktivitas presiden yang dimusuhi oleh Amerika Serikat itu.

Tak ada kesan mewah meski Ahmadinejad seorang pemimpin negara. Dalam suatu potret, tampak dia mengadakan jumpa pers di kediamannya yang amat sederhana. Di foto lainnya, dia digambarkan sedang makan yang juga sederhana, bukan masakan ala istana kepresidenan. Saya kian takjub melihat potretnya saat mengerjakan ibadah salat di suatu pinggiran jalan. Bahkan, di foto lainnya diperlihatkan bagaimana sang presiden tidak berada di shaf terdepan meski dia seorang pemimpin negara. Mengesankan.

Itulah Mr President yang saya lihat. Jauh tapi dekat. Saya tak mengenalnya, bahkan belum pernah bersua. Kendati demikian, saya seolah merasa sangat akrab dengan sang Mr President karena kesahajaannya.

Berbeda dengan acara pada 3 April lalu. Saya melihat langsung presiden bangsa ini, tapi saya tak jua merasakan kedekatan sebagai rakyatnya. Atau, saya sendiri yang justru menjauhkan diri? Entahlah. Namun, saya masih punya asa untuk memiliki pemimpin bangsa yang jujur, amanah, fathonah, rendah hati, dan dekat dengan rakyat tidak hanya pada saat musim kampanye tiba. Tentang harapan lainnya, mudah-mudahan menu persaingan antar pemimpin tak lagi menjadi sajian utama yang saya dan bangsa ini konsumsi setiap hari. Semoga Allah SWT mendengarkan doa ini, amiin ya robbal alamin.

Graha Pena, 31 Mei 2009

Semoga Yang Terakhir



Oleh: Eko Prasetyo

”Tak ada cinta paling indah selain doa
Tak ada yang paling rindu selain bertemu denganMu”

Dua bait di atas saya tulis beberapa saat setelah mendengar kabar jatuhnya pesawat Hercules C-130 milik TNI-AU. Hari itu juga, Kadispen TNI-AU merilis bahwa 98 orang meninggal, termasuk warga sipil, dalam musibah di Desa Ngeplak, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, tersebut. Innalillahi wainna ilaihi rajiuun.

Pada hari kecelakaan itu, saya mengikuti beritanya sambil melanjutkan pekerjaan hingga deadline tiba. Dini harinya setiba di rumah, saya masih belum bisa memejamkan mata karena menyempatkan menonton liputan khusus tentang kecelakaan itu lewat televisi.

Di lokasi musibah, terlihat beberapa rumah hancur tak berbentuk setelah diterpa jatuhnya pesawat. Kecelakaan hebat di Magetan itu adalah yang kedua sepanjang April–Mei 2009. Pada 6 April 2009, pesawat TNI-AU jenis F-27 Troopship A-2703 jatuh dan terbakar di Lanud Husein Sastranegara, Bandung. Enam awak pesawat dan 18 prajurit elite Pasukan Khas (Paskhas) TNI-AU tewas seketika. Deret pesawat milik TNI yang celaka kian bertambah panjang.

Kontan, musibah tersebut memarakkan kembali polemik tentang anggaran militer di negeri ini. Sebagian menuding bahwa pemerintah selalu berdalih pesawat yang kecelakaan masih layak terbang meski usia pesawat tergolong uzur. Sebagian lainnya meminta pemerintah seharusnya lebih memperhatikan alat utama sistem pertahanan (alutsista) ketimbang menyoal minimnya anggaran militer. Apa pun itu, faktanya, satu per satu prajurit TNI berguguran, bukan di medan perang, tetapi tewas karena kecelakaan pesawat.

***
Apabila Allah sudah berkendak, maka terjadilah apa yang Dia kehendaki. Kun fayakun. Kedatangan musibah sudah tentu tidak diinginkan oleh setiap orang. Namun, jika itu sudah menjadi ketetapan-Nya, tentunya seorang hamba tidak bisa mengelak. Meski demikian, selalu ada hikmah dalam setiap musibah.

Pernah, saya berniat pulang ke Bekasi dengan menumpang pesawat ke Bandara Soekarno-Hatta. Saya memilih perjalanan udara karena alasan waktu. Apalagi, pekerjaan di kantor tak memungkinkan saya untuk mengambil libur lebih lama. Saat itu ada delay sehingga saya mesti menunggu agak lama jam keberangkatan. Cuaca saat itu tak dapat dipercaya. Sebentar panas, kemudian mendadak turun hujan rintik lalu lebat.

Sekian lama menunggu tak jua ada kabar pesawat segera diberangkatkan. Hati saya waswas. Meski bukan kali pertama naik montor mabur (kendaraan terbang), saat itu timbul ketidaktenangan. Entahlah.

Masih terngiang di telinga ini tentang musibah yang menimpa Adam Air pada awal Januari 2007.Pesawat komersial tersebut ditengarai meledak di udara sebelum serpihannya banyak ditemukan di perairan Majene, Sulawesi.

Untuk membunuh rasa waswas dan takut itu, mulut ini tak berhenti membaca doa. Di tengah cuaca yang saat itu kurang bersahabat, saya hanya berharap diberi keselamatan sampai di tujuan. Kekhawatiran memunculkan rasa takut mati. Karena itu, saya berupaya menenangkan diri dan berdoa seolah itu doa terakhir, berharap melakukan ibadah terbaik jikalau umur saya hanya sampai di situ.

Alhamdulillah, saya sampai di tempat tujuan dengan selamat meski diselimuti rasa waswas saat keberangkatan. Dapat bersilaturahmi dengan kedua orang tua menjadi kebahagiaan luar biasa setelah sekian lama saya merantau di Surabaya.

***
Allah membuktikan kebesaranNya. Dan selalu begitu. Dalam musibah hebat di Magetan itu, di antara puluhan mayat korban kecelakaan, 15 penumpang termasuk balita ditemukan selamat di antara serpihan bangkai pesawat yang terbelah dan terbakar itu. Allahu akbar.

Balita bernama Angga itu dirawat intensif di RSUD dr Soedono Madiun bersama kakaknya, Anggun, yang juga selamat dari musibah tersebut. Keduanya menderita cedera otak berat. Namun, ibu mereka, Lemi Muhanda, meninggal dunia dengan kondisi mengenaskan.

Celaka dan musibah kerap menimpa pesawat-pesawat militer kita. Dan kita selalu berharap itu menjadi yang terakhir. Semoga tragedi tersebut memang benar-benar yang terakhir dan pemerintah tak lagi menunggu hingga upacara khidmat kesekian untuk menyambut jenazah para prajuritnya yang gugur karena kecelakaan.


*Lewat tulisan ini, saya turut berduka cita mendalam kepada para keluarga korban. Innalillahi wa innailaihi rajiuun.

Surabaya, pengujung Mei 2009
(dimuat eramuslim, 27 Mei 2009)

Hujan di Pengujung April

Oleh: Eko Prasetyo

Musim ini berbulir basah karena hujan acapkali menyapa, baik secara rutin maupun tiba-tiba. Pengujung April ini menyisakan kisah sederhana yang tak mungkin bisa saya abaikan begitu saja. Sebab, di situ mungkin masih ada cinta.
***
April 2009 ini berita-berita tentang isu dan perkembangan politik dan rekapitulasi hasil pemilu legislatif menjadi menu yang hampir tak pernah absen tersaji di media massa, media online, maupun media elektronik. Bosan dan menjenuhkan!

Pada suatu kesempatan, kebetulan saya mengedit berita kriminal untuk diterbitkan keesokan harinya. Seorang perempuan muda nyaris dimassa karena ketahuan menjambret handphone milik seorang perempuan di kawasan Jembatan Merah, Surabaya. Mulanya, seorang saksi menyebut bahwa perempuan pejambret tadi tampak seperti orang kebingungan yang berjalan di jembatan yang menjadi salah satu saksi bisu perjuangan heroik arek-arek Suroboyo di masa revolusi fisik dahulu.

Melihat ada calon mangsa yang rupanya sedang menunggu angkot, pejambret tadi berpura-pura menanyakan jam. Tergiur dengan handphone yang dipegang korban, si jambret nekat merebut paksa handphone berkamera tersebut.

Kontan, korban berteriak menunjuk perempuan muda yang kebingungan tadi. Tak butuh waktu lama, massa berdatangan, mengejar, dan membekuk tukang jambret itu. Beruntung, ada petugas yang segera mengamankan tersangka dari amuk massa.

Kepada polisi, tersangka mengaku baru kali pertama menjambret. Dia beralasan butuh uang karena terdesak kebutuhan ekonomi. Tentu saja, aparat tak lantas percaya begitu saja terhadap pengakuan tersebut. Dia terancam dibui selama beberapa bulan, bahkan tahun, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
***
Sekilas berita kriminal di atas ringan dan sudah biasa kita baca di surat kabar atau kita tonton di televisi. Sama biasanya dengan penjahat kelas teri berisiko tewas dihajar massa bila tertangkap, sedangkan maling berdasi hanya berisiko mengenyam bui selama beberapa tahun. Tidak sebanding memang, tapi itulah wajah penegakan hukum di negeri ini.

Warga bisa menjadi hakim yang dapat menjatuhkan vonis kematian bagi maling ayam atau pencopet. Bagi para penjahat dari kaum kelas bawah, tak ada alasan pembenar. Mereka dianggap sampah yang mesti dibersihkan, bahkan dimusnahkan kalau perlu.

Seorang wanita yang terpaksa mencuri dua dus susu di sebuah toko swalayan dengan alasan demi balitanya bisa terancam dianiaya dan disel bila tertangkap. Perbuatannya memang termasuk salah karena mengambil barang yang bukan haknya. Namun, pernahkah kita tebersit untuk menelusuri aspek sosial lebih dalam yang menyebabkan wanita itu mencuri?

Banyak faktor memang. Salah satunya kemiskinan. Impitan ekonomi kadang bisa membuat orang gelap mata. Tak tahan anaknya tak minum susu, lahirlah pikiran untuk mencuri. Sekali berhasil, akan ketagihan mencuri lagi. Penjara mungkin tak mampu membuat jera. Tapi, pantaskah kita menjadi hakim bagi mereka, maling yang terpaksa mencuri demi bayinya?

Seorang koruptor yang tertangkap karena terbukti menggelapkan uang negara bisa dengan mudah menghirup udara bebas dan melepas senyum dengan jaminan sejumlah uang. Apa yang tidak mungkin di negeri ini? Hukum saja bisa dibeli.

***
Saya tak hendak membela penjahat kelas teri seperti kasus wanita tadi. Dia memang bersalah dan pantas dihukum. Namun, jangan karena cuma menjambret handphone atau mencuri dua dus susu, kita lantas bisa menghakimi dan menghajarnya beramai-ramai.

Wanita maling susu tersebut bisa saja merupakan pahlawan bagi balitanya. Karena susu tak terbeli, penghasilan suami tak mencukupi, dan dihantui gizi buruk, maka mencuri seolah menjadi solusi terakhir.

Kesenjangan sosial di masyarakat kita memang amat kentara. Kemiskinan dan kebodohan menjadi musuh besar negeri yang sebenarnya kaya sumber daya alam ini. Kemiskinan dan kebodohan menjadi awal lahirnya kejahatan atau tindakan kriminal.

Sayang, justru koruptorlah yang tumbuh subur dan kian merajalela. Kekayaan dan potensi sumber daya alam dikeruk habis-habisan tanpa bisa dinikmati hasilnya oleh rakyat. Akibatnya, jurang antara si miskin dan si kaya kian melebar.

***
Di pengujung April ini, saya sempat mengeluhkan hujan yang tak datang di saat saya harus beraktivitas di tengah terik, di saat saya membutuhkannya. Ketika bibir ini terasa kering dan keringat mengakrabi wajah, hujan bisa menjadi pahlawan.

Namun, hujan mungkin tak datang karena malu disebut pahlawan meski belum saatnya datang kemarau. Sebab, ia mungkin merasa ada orang lain yang pantas disebut pahlawan seperti wanita yang mencuri susu tadi. Bagi orang lain, dia musuh. Tapi, bagi bayinya, dia adalah pahlawan. Sebab, dia masih punya cinta. Ya, dalam kesalahannya, masih ada cinta.

Jikalau Tuhan saja mengasihi hamba-Nya tanpa terkecuali, maka tak ada alasan bagi kita untuk berbuat zalim terhadap sesama. Apalagi bila itu dilakukan dengan tidak melihat dulu alasan dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Cukuplah Allah sebagai hakim paling adil, janganlah kita bersikap untuk menandinginya.

Surabaya, 27 April 2009
(dimuat eramuslim.com, 28/4/09)

Finally... Oase Iman Eramuslim Terbit!



Setelah sukses dengan buku Oase Iman yang pertama pada 2006 bertajuk Oase Jiwa, Eramuslim kembali menerbitkan kumpulan tulisan terbaik dari rubrik Oase Iman yang pernah dimuat selama kurun 2007-2008. Judulnya Menembus Batas Logika. Ada 32 naskah di situ.

Dengan desain sampul (hard cover) yang menarik, buku setebal 250 halaman ini bisa menjadi sahabat tanpa suara yang hendak berbagi banyak kisah yang menggugah.

Tulisan-tulisan yang termaktub dalam buku itu memang disampaikan dalam bahasa yang sederhana. Namun, ada pesan moral yang tentu saja mengajak pembaca untuk merenung betapa kecilnya kita di hadapan Allah SWT.

Ternyata, sebuah kejadian kecil dan kadang tak pernah kita bayangkan bisa disampaikan dalam bahasa tutur yang enak dibaca. Yang lebih penting, terselip pesan dakwah yang dibagikan dalam sekelumit kisah unik dalam buku ini. Penasaran?

Jawa Pos, 16 Maret 2009
Eko Prasetyo (peminat buku dan sastra)

Guru Pak Jenderal



Oleh: Eko Prasetyo

Pada 1973, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima penghargaan Adhimakayasa dan Trisakti Wiratama, puncak tertinggi prestasi lulusan terbaik Akademi TNI (waktu itu Akabri). Rekor SBY yang mengumpulkan tujuh bintang jasa selama pendidikan (1970-1973) tersebut belum tertandingi oleh taruna Akabri mana pun.

Yang menarik, rekor itu dipecahkan setelah 35 tahun, tepatnya pada 2008. Lebih menarik, si penyama rekor tersebut adalah anak seorang guru SD. Dia adalah Taufik Arifiyanto. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para lulusan terbaik Akabri adalah calon penyandang pangkat jenderal. Contohnya, selain SBY, ada Jenderal Agustadi (KSAD), Jenderal Sutanto (mantan Kapolri), dan lain-lain.

Seperti dilaporkan Jawa Pos (18/12/08), Haryanto, 45, ayah Taufik, tak bisa menyembunyikan perasaan bangganya saat menghadiri wisuda perwira remaja di Lapangan Sapta Marga, Akmil Magelang. Hal yang wajar karena penghasilan sebagai guru SD tentu tak mencukupi untuk memenuhi biaya pendidikan tiga anaknya, termasuk si sulung Taufik.

Ya, Haryanto mengaku harus gali lubang tutup lubang demi membiayai pendidikan anak-anaknya. Dengan dibantu istrinya yang berdagang kain di pasar, Haryanto menuturkan terpaksa berutang untuk menambal kebutuhan keluarga. Melihat Taufik disemati bintang penghargaan militer oleh presiden, Haryanto mengatakan perjuangannya demi anaknya tidak sia-sia.

Ada sebuah kisah tentang seorang guru SD. Beliau dikenal sabar dan mudah dalam memberikan materi di kelas sehingga gampang dipahami siswa. Tak heran jika dia menjadi salah seorang guru favorit di kelas, bahkan sekolah. Di antara sekian muridnya, sekian puluh tahun kemudian, ada yang berhasil merintis karir di dunia militer. Sang murid telah memangku jabatan mentereng, jenderal pula!

Si murid itu suatu ketika mengundang guru tersebut untuk datang pada sebuah perjamuan dalam reuni sekolah. Mengenang masa-masa sekolah tempo dulu memang indah. Apalagi, keberhasilan seorang murid di kelak kemudian hari dalam merintis masa depannya tak lepas dari peran guru.

Sang guru datang tak lagi gagah seperti saat masih aktif mengajar puluhan tahun lampau. Dia menyapa para murid-muridnya itu, termasuk si jenderal, hanya dengan senyum kecil. Suaranya sudah parau, senja pun jelas menapak di wajah sang guru. Meski demikian, guru tersebut masih ingat betul wajah-wajah yang menyambutnya, murid-muridnya.

Tiba saat si jenderal menyambut guru tersebut, dia mengatakan, "Saya dulu murid Bapak yang pernah Bapak jewer hingga telinga saya merah."

Entah apa maksud si jenderal dengan kalimat tersebut. Namun, sejurus kemudian, sang guru buka suara.

"Kamu (si jenderal) dulu nakal sekali, sangat nakal. Kamu juga malas sekali, sangat malas. Bahkan, guru-guru lain pun mengeluhkanmu. Tiada yang mau memperingatkanmu lantaran tahu peringatan mereka tak bakal kau gubris," tutur sang guru.

Suasana yang semula semarak ikut hening mendengarkan ucapan si guru.

"Akhirnya, saya berpikir bahwa saya harus bersikap tegas, apa pun risikonya. Demi membuatmu bisa menghargai orang lain serta meninggalkan sifat nakal dan malasmu, Bapak terpaksa menjewermu, mengancammu untuk membuka buku keesokan harinya dan memintamu mengerjakan PR-PR-mu," lanjutnya.

"Berhari-hari, berminggu-minggu, sekian lamanya kelembutanku dan guru lain tak kau gubris, maka jeweran itu kuharap sekali bisa menyadarkanmu, betapa aku sangat menyayangi murid-muridku, termasuk kamu," ucapnya.

"Jikalau jeweran itu tidak pernah ada, kau mungkin tidak berdiri di hadapanku sekarang ini dengan seragam berpangkat bintang kebanggaanmu, kau mungkin masih malas. Dan mungkin serta segala kemungkinan lainnya bisa terjadi. Kini kau sudah jadi jenderal, sedangkan aku tetap guru yang kini berkarat. Aku tak memintamu mengingatku. Aku sudah cukup bahagia dengan menjadi guru Pak Jenderal," ujarnya.

Kisah itu saya tulis dalam sebuah cerita pendek sekian waktu silam. Terlepas itu berdasar kisah nyata atau bukan, tulisan tersebut ikut meminta saya merenung, yakni apakah selama ini saya sudah menghargai jasa guru-guru saya.

Kadang, tanpa kita sadari, kita kerap marah dan sakit hati apabila mengingat kita pernah dihukum oleh guru. Tak jarang pula muncul sumpah serapah untuk mereka, para guru, saat hukuman menyapa.

Kini di sela-sela kesibukan di dunia media, saya menyambut baik adanya Klub Guru. Bersama Klub Guru, saya bertekad memberikan sesuatu untuk para guru demi mengembangkan kemajuan pendidikan di Indonesia, tentunya dalam kapasitas saya sebagai jurnalis.

Berubah ke arah yang lebih baik dan perubahan tidak harus menjadi jenderal. Tapi, keteladanan guru Pak Jenderal tadi menginspirasi saya untuk memberi wujud nyata memajukan pendidikan kita yang terkadang masih tampak muram ini.

Castralokananta, 16 Februari 2009

Ada, tapi seperti Tak Ada

Oleh: Eko Prasetyo

Jangan adamu seperti tidak adamu. Kalimat bijak tersebut kerap terngiang di telinga saya manakala saya sedang diliputi rasa capai dan lelah ketika bekerja. Mengapa? Sebab, kalimat itu selalu saya ingat agar saya tidak melulu mengeluh karena padatnya aktivitas.

Kiranya, tidak berlebihan bila saya menyebutnya demikian. Pasalnya, ritme kerja jurnalis atau editor amat berbeda dengan orang kantoran pada umumnya. Kami ibarat kelelawar karena bekerja atau mencari makan pada malam hari. Ketika banyak orang sudah terlelap tidur dan terbuai mimpi, kami harus merampungkan menu berita untuk disajikan kepada masyarakat.

Belum lagi perjuangan para reporter di lapangan. Mereka tak jarang pagi-pagi sekali harus berada di lapangan untuk meliput berita, sorenya kembali ke markas berita untuk setor berita. Kadang, mereka harus berhadapan dengan sulitnya menghubungi narasumber atau menuruti perintah para redaktur. Bahkan, ada rekan wartawan yang mengeluh karena beritanya tidak dimuat, padahal dia merasa setengah mati berjuang untuk menemui narasumber dan menulis beritanya.

Lelah seusai bekerja itu pasti. Namun, bekerja dengan mengandalkan pikiran amat melelahkan ketimbang bekerja dengan hanya mengedepankan kekuatan atau tenaga. Seringkali setelah pikiran begitu terkuras, stres siap menyapa.

Karena itu, saya selalu berusaha untuk mencintai betul-betul profesi yang saya tekuni saat ini. Saya ingin mencapai tahap bekerja seperti rekreasi. Saya berupaya mencintai sepenuh hati, tanpa terbatas apa pun dan syarat apa pun. Cinta tanpa syarat untuk sebuah profesi.

Detik pada saat saya menulis catatan pendek ini, saya sedang sakit. Tubuh saya demam, mual, dan sempat muntah darah. Mudah-mudahan saya tak terkena demam berdarah atau gejala tifus.

Bulan-bulan ini saya rasakan sangat berat. Saya kurang istirahat, apalagi saat ini saya terjun di program Untukmu Guruku 2009 Jawa Pos. Namun, saya baru sadar bahwa saya lalai karena tak mengindahkan kesehatan diri sendiri.

Sering, saya ditelepon pagi-pagi sekali oleh para guru yang ingin bertanya meski sebenarnya saya masih istirahat. Namun, saya tetap setia dan ramah melayani mereka. Bisa dibayangkan, kadang, pagi saya sudah harus berada di kantor untuk membantu program tersebut. Malamnya, saya harus bekerja di redaksi. Pernah, suatu ketika saya menerima SMS dari beberapa guru yang marah karena saya tidak mengangkat telepon dan membalas pesan singkatnya. Saya tak menjelaskan bahwa saat itu saya tengah ketiduran sehingga tidak tahu ada telepon masuk. Saya benar-benar kelelahan berat kala itu. Saya meminta maaf kepada beliau dan segera menjawab pertanyaannya tanpa mencari alasan pembenar.

Semoga laptop ini masih kukuh menjadi media penyambung lidah saya kepada beberapa guru yang tak sempat saya balas teleponnya. Saya sekarang jatuh sakit dan detik-detik
berlalu begitu cepat.

Wajah dan jari-jari ini ikut pucat. Saya benar-benar melalaikan mereka, anggota tubuh saya. Maka, kini saya hanya pasrah apabila sakit menyapa.

Namun, satu-satunya yang tetap saya pegang teguh adalah kalimat "Jangan adamu seperti tidak adamu". Saya yakin, saya jatuh sakit bukan karena saya kebanyakan duduk berleha-leha tanpa bekerja. Saya tak mau menjadi orang yang hanya duduk di meja kerja sambil bermain komputer dan tak ada produktivitas. Sungguh tak nyaman rasanya jika waktu terbuang sia-sia karena tidak bekerja. Sama sia-sianya membuat Surabaya menjadi merah jambu demi menyambut ritual Valentine. Celaka!

Castralokananta, 14 Feb 2009

Poem for Palestine



Oleh: Eko Prasetyo

”Mas, Anda kan jurnalis, apa pendapat Anda tentang agresi Israel saat ini di Palestina?” tanya seorang ibu lewat sebuah e-mail singkatnya. Beliau baru saja membaca salah satu tulisan saya di rubrik oase iman eramuslim. Beliau bertanya demikian dan saya menilainya sebagai sebuah sindiran, yakni mengapa saya tidak mengambil tulisan bertema Palestina di awal tahun yang basah ini.

”Maaf Bu, saya bukan jurnalis,” jawab saya, mengawali kalimat balasan untuk beliau.

Pukul delapan malam, suasana di redaksi kami masih hiruk-pikuk dengan aktivitas kerja untuk mempersiapkan berita yang bakal terbit keesokan harinya. Namun, kondisi itu tiada sebanding dengan hiruk-pikuknya suara deru bom dan mortir yang berdentuman di Jalur Gaza, Palestina. Mencekam.

”Saya speechless, kehilangan kata-kata,” lanjut saya.
Saya menambahkan, saya terus mengikuti berita-berita seputar perang antara Israel dan pihak Hamas dari Palestina di Gaza saat ini.

Ya, dari beberapa mailing list (milis) yang saya ikuti, saya mendapati beberapa orang yang mem-forward foto-foto kekejaman Israel. Mereka membunuhi warga sipil Palestina. Memburu sasaran perempuan dan anak-anak tak berdosa dengan dalih mengejar tentara Hamas.

Bahwa Israel biadab dan tak punya nurani, sejarah telah mencatatnya, bahkan sejak zaman nabi-nabi. Tak ada yang memungkiri, kecuali simpatisan mereka sendiri.

”Bu, jika saya jurnalis, mungkin saya akan dikeluarkan,” sambung saya.
Mengapa? Sebab, seorang pewarta harus memperhatikan sebuah peristiwa dari dua sisi, bahkan banyak sisi (cover both side). Tujuannya, agar berita tersebut berimbang dan tak menimbulkan polemik atau terkesan memihak ke salah satu pihak tertentu.

”Dan saya yakin tak akan mampu melakukannya saat ini,” tutur saya.

Saya punya alasan tersendiri mengatakan hal tersebut. Mungkin di seberang sana, ibu itu bertanya-tanya di balik lontaran paparan pena maya saya tersebut.

Ya, apabila saat ini saya berposisi sebagai jurnalis, saya yakin akan dipecat. Pasalnya, kala itu saya akan membuat opini yang membela Palestina habis-habisan dan menghujat Israel, juga habis-habisan. Tak akan ada rambu cover both side yang saya pegang ketika itu. Sebab, saya tak tahan melihat darah warga sipil Palestina membanjiri bumi mereka sendiri akibat kekejaman Israel.

Menjelang pukul satu pagi, lewat waktu deadline dan hawa dingin yang menghinggapi, saya tak mendapati lagi kabar balasan dari ibu tersebut. Saya mengajak serta jari-jari lemah ini untuk menulis sebuah sajak. Bukan saya tujukan untuk tersaji di forum penyair, melainkan puisi itu adalah pertautan panjang bagi saudara kami di sana: Palestina.

Poem for Palestine

Tuhan, aku masih punya mata
Kau saksinya
sehingga bisa kusaksikan derai pilu dari bibir bocah kecil yang kehilangan ibunya
di sana
: Palestina

Tuhan, aku masih punya telinga
Kau saksinya
sehingga dapat kudengar teriak histeris seorang ibu yang bayinya tewas tanpa kepala
di sana
: Palestina

Tuhan, aku masih punya hati
Kau saksinya
sehingga kubiarkan jiwa dan nurani ini luruh melihat wajah-wajah ketakutan
antara perempuan dan anak-anak yang menyebut-nyebut nama-Mu
di sana
: Palestina

andai padang gurun bergemuruh terhapus badai debu,
sesak dadaku menghirup terik yang membanjiri tubuh, tak mengapa
namun kupinta lenyapkan cinta ini dengan cinta
agar bisa kubeli dedaunan segar dari pelepah pohon palma
biar kutulis ayat-ayat cinta-Mu di atas lembarannya
kuusap di wajahku
dari cahaya wajah-Mu yang memenuhi segenap penjuru arsy-Mu
meregang doa-doa yang membekap dua lautan
lantas, jawablah dengan cinta
sewujud kemenangan atau entah apa namanya
untuk saudara kami
di sana
:Palestina

Graha Pena, 15 Januari 2009
Publikasi: Eramuslim (16 Januari 2009)

Berartinya Terima Kasih



Oleh: Eko Prasetyo

Saat membaca dan menyunting salah satu berita kriminal, saya tertegun. Ada seorang istri yang tega membunuh suaminya hanya karena sang suami punya wanita idaman lain (WIL).

Jelang tutup tahun 2008, di Jakarta ada berita serupa, namun lebih mengerikan. Seorang wanita memutilasi suaminya menjadi 13 potongan. Diduga, wanita muda itu memutilasi suaminya karena motif dendam. Wanita tersebut gelap mata karena sang suami kawin lagi meski sudah memiliki tiga istri. Mayat si suami dipotong-potong lalu dimasukkan ke tas kresek. Ironisnya, tas kresek berisi 13 potongan tubuh manusia itu diserakkan di bus Mayasari Bakti. Kontan, peristiwa tersebut sempat menggegerkan Jakarta dan nasional.

Sebegitu beringaskah seorang perempuan jika telanjur memendam kekesalan tak terperi terhadap lelaki yang -mungkin- sebenarnya dicintainya?

Tiap orang tentu tak ingin dikhianati, apalagi disakiti. Karena itu, ketika tahu cintanya dikhianati, seseorang bisa mengakhiri drama hidup ke bunuh diri. Saat sadar dirinya telah dibohongi, seseorang pun dapat berubah menjadi serigala buas yang beringas. Tak kenal kasihan, apalagi jika setan sukses membisikkan bujuk rayu busuknya di hati orang yang merasa teraniaya atau tersakiti.

Mata hati dua perempuan yang saya di atas telah tertutup. Sehingga, keduanya tiba-tiba memiliki keberanian dan kenekatan untuk menghabisi nyawa suami masing-masing. Mungkin, wanita tersebut adalah sedikit di antara banyak orang yang mengalami masalah serupa. Yakni, mereka tak ingin dikhianati oleh sang suami.

Kendati ada pula wanita yang mau dimadu, bahkan rela dipoligami, namun angka yang tak setuju dengan hal itu sangat jomplang dibandingkan jumlah wanita yang ridha suaminya menikah lagi. Memang, masalah hati siapa yang tahu meski lidah berkata setuju?

Meski ada perempuan yang nyata-nyata mau diduakan, ditigakan, dst oleh suaminya, tapi benarkah hati kecilnya membiarkan perhatian dan kasih sayang sang suami terpecah? Antara lisan dan hati terkadang sulit diterka meski di luar menampakkan kekompakan.

***

Jika langit sore sedang memperlihatkan wajah cerah kemerahan, seperti itulah rona nenek saya ketika mendapati dua buah daster baru di atas meja dekat kamar saya. Beliau begitu semringah menerimanya. Saya memang sengaja membelikan dua daster tersebut untuk beliau. Tidak ada maksud apa-apa, tidak pula ada perayaan hari istimewa saat itu. Itu saya lakukan karena saya memang ingin menyenangkan hati beliau.

Beliau tertawa kecil, menampakkan deret gigi yang tak selengkap dulu. Bahagia. Bertahun-tahun saya tinggal bersama nenek, tapi rasa perhatiannya terhadap saya masih sama dengan saat saya kuliah dulu. Tak berkurang sedikit pun! Satu hal yang beliau selalu ingatkan kepada saya, yakni jangan sampai lupa mengucapkan terima kasih kepada orang lain yang telah menolong kita. Dan itu saya camkan betul hingga sekarang.

Dulu, saat belum bergelut dengan stroke, nenek tak jarang menghadirkan menu lezat di atas meja makan untuk saya dan kakek di rumah. Beliau pun sering mengingatkan waktu salat kepada saya. Saya pun membalasnya dengan siap sedia mengantarkan beliau ke gereja pada misa kebaktian tiap Minggu. Perbedaan tak jadi alasan kuat untuk mengindahkan rasa toleransi dan menghargai. Kasih sayang beliau mengalir begitu saja bagai sungai merindu samudera. Romansa.

Pernah, suatu ketika nenek menyeduh kopi untuk saya. Sore sebelum berangkat ke Graha Pena, saya menyeruput kopi tersebut. Namun, kali itu rasanya berbeda dibandingkan hari biasanya. Rasanya tak manis, pahit. Rupanya, nenek lupa menambahkan gula di gelas kopi tadi.

Meski demikian, saya menyembunyikan raut menahan rasa pahit kopi itu.

"Jangan lupa habiskan dulu kopimu sebelum berangkat," seru nenek kepada saya.

"Suwun Mbah," jawab saya sambil berusaha menguatkan lidah ini untuk mengucap kata nikmat meski rasa kopi itu amat getir.

Di kesempatan lain, nenek memasak sup buat kami. Kebetulan, ketika itu saya berkesempatan makan bersama setelah sekian lama jarang makan di rumah. Namun, saat menyantap sup tersebut, untuk kali kedua saya mendapati rasanya ambar, tak seperti dulu. Saya baru mafhum bahwa nenek jarang menaburkan garam pada masakan-masakannya setelah divonis memiliki hipertensi.

"Wuik, sueger Mbah," seru saya, menyembunyikan raut muka menahan rasa ambar sup tersebut.

Kalimat pujian tersebut saya lontarkan untuk mengganti ucapan terima kasih. Tak dinyana, selepas mengucapkan "terima kasih" hari itu, esoknya muncul menu perkedel, telur dadar, dan sambal kecap tersaji. Lebih variatif dan rasanya agak "lebih baik".

***

Memang, ucapan terima kasih -dalam bentuk apa pun- kadang mampu membuat seseorang lebih bersemangat. Sayang, kini sekadar terima kasih saja masih sulit dilontarkan sepenuh hati.

Tak sedikit laki-laki yang alpa mengucapkan terima kasih kepada istrinya. Meski hanya berupa sajian seduhan kopi atau teh tiap pagi, seharusnya para istri tersebut amat pantas menerima kata-kata itu, bukan malah perlakuan yang menyakiti atau bahkan menduakannya dengan perempuan lain.

Mungkin, dua wanita yang membunuh suami mereka hanya gara-gara tak terima jadi korban selingkuh atau poligami tak biasa menerima ucapan terima kasih dari sang suami. Bisa pula itu disebabkan hal lain. Meski demikian, jika ditinjau lebih dalam, pengorbanan wanita jauh lebih tinggi ketimbang lelaki. Pasalnya, kaum Hawa harus merasakan bertaruh dengan maut takkala melahirkan putranya, hal yang tak dirasakan oleh kaum Adam.

Karena itu, sungguh pantas wanita mendapatkan haknya yang bisa membuatnya lebih bergairah, berbahagia, dan bersemangat, yaitu ucapan terima kasih. Mudah dituturkan di lidah, tapi acapkali sukar terlontar karena lupa atau sengaja menilainya tak perlu.

Pagi dini hari di kantor, udara mulai menguap. Surabaya basah karena sepanjang sore tadi gerimis tak henti mengakrabi. Sejuk. Tiap malam, saya menerima pesan pendek di ponsel dari pujaan hati. Perempuan cantik tersebut sekadar mengucapkan terima kasih karena saya sering membangunkannya di malam hari untuk bertahajud. Ucapan tersebut terbukti membuat saya kian bersemangat untuk selalu rajin mengirimkan pesan serupa, mengingatkan salat malam. Rindu berpadu bukan karena kami berdua tak berada di kota yang sama, melainkan sang waktu turut bersuka di saat kami saling berkirim pesan zikir untuk Sang Kekasih yang Maha Penyayang. Jika waktu saja berterima kasih lewat zikir siang hingga malam, pantaskah kita mengabaikannya meski itu sebatas ucapan lirih?


Eko Prasetyo
(ran, ketjup mesra di keningmu)

Publikasi: Eramuslim (14 Januari 2009)

Jadi Guru Bergaji Rp 0

Oleh: Eko Prasetyo

Bagaimana rasanya menjadi guru dengan bayaran Rp 0?

Diam-diam, saya tertarik untuk menyaru menjadi guru. Meski tidak duduk di instansi pendidikan resmi, saya benar-benar terjun langsung memberikan materi kepada beberapa "murid" saya.

Bermodal komputer jinjing berukuran mini, saya memulai mencari "customer" yang tidak lain adalah famili sendiri. Karena masih tinggal bersama kakek, saya mengenalkan ilmu komputer kepada beliau.

Dimulai dari pengenalan tentang peranti lunak dan keras, saya mengarahkannya untuk belajar mengetik di atas kotak kecil bernama laptop tersebut. Melihat antusiasmenya untuk belajar, saya merasa senang dan bersemangat untuk menularkan ilmu.

Kebetulan, kakek masih aktif di kegiatan gereja seperti ikut koor lansia di paroki setempat. Jadi, tiap ada undangan atau menulis surat untuk kolega di Nederland, saya membimbing beliau untuk membuatnya sendiri. Ketika ada salah ketik atau bingung memencet tombol di keyboard, beliau melepas tawa berderai. "Hahaha... Wis sepuh dadi tangane timik-timik," ujarnya.

Berawal dari situ, kakek mulai mempromosikan saya ke tetangga sebelah yang memiliki anak usia pelajar SD dan SMP. "Iku loh, nek sinau komputer karo Eko ae," ucapnya penuh semangat.

Uniknya, bukan anaknya yang tertarik, justru orang tua mereka yang ingin belajar kepada saya. "Wis piro Mas bayarane, sing penting aku isok laptopan. Mosok kalah karo Tukul," tutur salah seorang di antaranya.

Kegiatan padat di kantor tak mengurangi semangat saya untuk menularkan sedikit pengetahuan tersebut kepada "murid-murid" saya tersebut. Pernah, suatu ketika komputer jinjing saya rewel karena masalah teknis. Tampak sekali di wajah kakek dan beberapa tetangga yang mengangsu ilmu memendam kekecewaan. Saya bisa memahaminya. Semangat yang luar biasa.

Saat saya sebutkan bahwa di antara mereka telah mengalami peningkatan, wajah mereka terlihat semringah. Bangga. Ada pula yang bermaksud "menitipkan" anak mereka kepada saya untuk diajari komputer. "Iki gawe bensin sampeyan Mas," ujar seorang bapak sambil memasukkan amplop kecil ke saku baju saya.

Kontan, saya menolaknya. "Kalau ada beginian (uang, Red), saya nggak mau ngajari putra Bapak," tegas saya.

Hari demi hari berlalu. Saya bahagia bisa memperkenalkan teknologi dan membuka jendela di lingkungan tempat saya tinggal sekarang.

Kini, saya kembali bertugas di program Untukmu Guruku 2009 Jawa Pos. Tentu saja, kegiatan itu banyak menyita perhatian, tenaga, dan waktu. Saya jarang bisa berkumpul dengan para "murid" saya tersebut. Rindu rasanya.

Melihat wajah mereka begitu senang, mendengar tawa mereka ketika keliru mengoperasikan komputer, itu menjadi bayaran yang sungguh tinggi bagi saya.

Siang mulai dekat. Sore hendak merapat. Tanah di bumi ini masih datar, tapi semangat saya bagai gelombang. Rp 0 memang tak bisa membeli sebuah ilmu. Namun, bukankah ilmu memang berasal dari sebuah rasa ingin tahu? Ia nol. Kini saya mendapat bayaran yang lebih tinggi daripada sekadar lembaran kertas rupiah. Anda tentu sudah tahu...

Graha Pena, 5 Januari 2009
Publikasi: eramuslim 7 Januari 2009