Akhirnya Ia Berangkatkan Ibu Berhaji

Catatan Eko Prasetyo


Ilustasi: glestradio.com
Posisinya lumayan mentereng saat itu: kepala bagian di sebuah institusi. Ia teman karib saya. Kami berkenalan pada akhir 2005 dan kemudian menjalin persahabatan.
Di sela kesibukan masing-masing, kami masih menjalin komunikasi. Namun, karena kesibukan pula, kami menjadi jarang bertukar kabar.
Setelah sekian lama tak mendengar kabar, saya menerima pesan singkat darinya. Isinya pendek. Ia bilang ingin keluar dari tempatnya bekerja. Tentu saja saya sangat terkejut. ”Mengapa?” tanya saya membalas pesan singkatnya.

Catatan Ramadhan (1)

Jasa Penukaran Uang Haram?

Catatan Eko Prasetyo
editor Jawa Pos

Sebagaimana jamaknya terlihat pada saat-saat menjelang Lebaran, banyak orang yang berdiri di pinggir jalan raya. Mulai pagi hingga siang atau sore. Rata-rata hampir sama: tangannya membawa uang-uang baru, mulai pecahan Rp 2.000, Rp 5.000, Rp 10.000, hingga Rp 20.000. Ya, mereka adalah orang-orang yang menjual jasa penukaran uang.
Umumnya, uang baru senilai Rp 100 ribu dalam pecahan Rp 5.000 atau Rp 10 ribuan dijual seharga Rp 110 ribu. Pemandangan seperti ini juga banyak saya jumpai di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Malang. Orang-orang yang menawarkan jasa tersebut tidak hanya laki-laki dewasa. Ada juga kaum ibu, bahkan anak-anak remaja.

34 Tahun Merindukan Anak


Anak merupakan titipan Tuhan. Tak salah jika anak disebut amanat Tuhan. Juga anugerah-Nya paling besar. Perjuangan bagi seorang ibu saat melahirkan anaknya dan pengorbanan orang tua dalam membesarkan mereka bisa menjadi suatu kebahagiaan tersendiri. Suatu kebanggaan karena diberi kepercayaan untuk mendidik mereka menjadi manusia yang baik.
Namun, tidak semua orang diberi kepercayaan yang besar itu dari-Nya. Ada orang tua yang begitu mendambakan kehadiran si kecil, namun tak kunjung mendapatkannya, bahkan selama berpuluh-puluh tahun.

Irshad Manji

Oleh Eko Prasetyo

Irshad Manji (Foto: news.nationalpost.com)

Wanita asal Kanada yang berambut pendek khas ini cantik dan sedikit eksentrik. Gaya bicaranya pun menyenangkan. Ia menyentak dunia lewat buku The Trouble with Islam Today pada musim panas 2004. Tak tanggung-tanggung, ia mengaku sebagai muslimah taat, tapi juga mencintai sesama perempuan.

I’m faithful moeslem,” katanya. Ia mengaku ber-ijtihad demi reformasi Islam dan keberanian moral.
Sore itu ia kembali mengaku pejuang muslimah yang taat dalam diskusi hangat soal lesbianisme. Aku lantas bertanya kepada wanita 42 tahun tersebut.

”Apakah kamu yakin dengan yang kamu ucapkan?” cecarku.
”Ya, aku tak meninggalkan shalat lima waktu,” jawabnya tegas.
”Saya tidak yakin,” sindirku.
”Hati-hati dengan omonganmu.” Ia mulai gusar.
”Sebab, setahuku, muslimah itu berhijab,” sahutku.

Graha Pena, 13 Juni 2012

Cemas

Flash Fiction oleh Eko Prasetyo


Kami harus rapat mulai pukul lima sore ini. Sudah satu jam berjalan. Kulihat Amran dari perwakilan pemasaran cemas. Berkali-kali melihat jam di tangan kirinya. Ia mulai tak fokus.
Bos melihatnya. Dengan muka masam, ia menegur.
”Amran, tolong perhatikan. Rapat ini penting demi perusahaan kita,” ucap bos dengan nada agak tinggi.
”Tapi ini lebih penting, Pak,” jawab Amran.
”Apa ada yang lebih penting dari paparan saya ini?” ketus sang bos. Matanya menatap tajam kepada Amran. Semua yang hadir di situ menantikan jawaban Amran.
”Shalat Magrib berjamaah, Pak. Saya sudah tertinggal beberapa menit yang lalu,” ucap Amran. Sorot matanya menegaskan ia tak takut dipecat.

Graha Pena, 13 Juni 2012

Ibu Guru, Saya Ingin Membaca





Catatan Eko Prasetyo

penulis buku Apa Yang Berbeda dari Guru Hebat





MENGHARUKAN (Sumber: unesa.ac.id)
Malam ini (11/5) saya baru saja menerima buku berjudul Ibu Guru, Saya Ingin Membaca terbitan Unesa University Press (April 2012) dari kompilatornya, Pak Rukin Firda, rekan saya yang juga redaktur senior Jawa Pos. Buku dengan warna latar merah dan putih itu menampakkan gambar seorang bocah SD tanpa alas kaki memamerkan senyumnya yang ceria. Senyum yang menunjukkan optimisme dan harapan untuk meraih masa depan yang indah.

Buku ini bercerita tentang pengalaman para guru muda alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang tergabung dalam program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ante Meridiem


: Jeng Ratih-ku sayang


mari kita gelar karpet hitam tanda dukacita
tepat di depan televisi tatkala demonstrasi massa disiarkan berulang-ulang

entah siapa mewakili siapa

kini matikan tivi yang melulu meliput unjuk rasa tersebut
ikutlah bersamaku, duduk di teras dan menikmati secangkir teh  
mensyukuri hari ini
mensyukuri kebersamaan kita
mensyukuri kesehatan yang Ia berikan

dan berjanjilah kita akan terus bekerja keras
sehingga kenaikan bahan bakar minyak bersubsidi tak begitu berdampak
dan kita bisa lebih sering duduk di teras ini
tanpa ikut-ikutan meluapkan emosi

castralokananta, 28 Maret 2012

Siang di Warung Nasi Padang

Siang di Warung Nasi Padang



Sudah beberapa hari belakangan, sebagian kawasan Sidoarjo tidak diguyur hujan. Mungkin kemarau sudah dekat. Siang itu terik sekali. Karena perut sudah tak bisa diajak kompromi, saya mampir ke warung nasi padang di pertigaan Saimbang, Sukodono.

Menu rendang jadi pilihan saya. Meski bukan termasuk langganan, saya sudah beberapa kali beli makanan di situ. Begitu duduk, desir kipas angin mampu mengusir hawa sumuk yang terasa karena pengaruh terik. Pemilik warung tersebut adalah pasangan suami istri muda. Mereka betul-betul pendatang dari Sumatera Barat. Di tempat itu, mereka mengontrak sebagai tempat usaha.

Orang-orang dari Sumbar memang dikenal gigih. Berani merantau dan tipikal pekerja keras. Tak sedikit perantau dari sana yang memilih jalur niaga untuk mata pencariannya. Termasuk di kawasan dekat tempat tinggal saya tersebut.

Di situ, saya menemukan ”keteduhan” yang lain. Yakni, selalu terdengar lantunan bacaan ayat suci Alquran. Asalnya ternyata dari sebuah tape yang terletak di dekat dapur saji. Saya lupa sudah berapa kali mampir di warung nasi padang itu. Namun, yang pasti saya ingat adalah warung tersebut tak pernah menyetel lagu. Hanya bacaan Alquran.

Subhanallah, Pemulung Ini Menulis

 
Menulis itu menenangkan jiwa dan pikiran. Tak peduli seberapa sulit kesulitan dan tantangan hidup yang dihadapi, menulis bisa menjadi salah satu alternatif untuk meredam segala kesumpekan hidup. Dengan menulis saja, seseorang mampu mengembalikan semangat hidup untuk meningkatkan kinerja dan tak lekas menyerah pada kesulitan hidup.
Itulah yang dilakukan Edy S. Pithingan.
Hari ini saya membuka kembali lembaran-lembaran majalah Oase keluaran terbaru atau edisi Maret 2012. Saya menjumpai sedikit berita tentang profil yang luar biasa itu, Edy.
Sehari-hari ia memulung sampah plastik dan botol bekas air minum kemasan. Edy saat ini tinggal di Blitar, tepatnya di Masjid Syuhada Haji Kota Blitar. Hidupnya sebatang kara. Karena sulitnya mencari kerja, ia memutuskan bertahan hidup dengan mengais rezeki di tumpukan-tumpukan sampah. Mencari sisa-sisa plastik dan sekadar botol plastik yang tak terpakai.