Catatan Ramadhan (1)

Jasa Penukaran Uang Haram?

Catatan Eko Prasetyo
editor Jawa Pos

Sebagaimana jamaknya terlihat pada saat-saat menjelang Lebaran, banyak orang yang berdiri di pinggir jalan raya. Mulai pagi hingga siang atau sore. Rata-rata hampir sama: tangannya membawa uang-uang baru, mulai pecahan Rp 2.000, Rp 5.000, Rp 10.000, hingga Rp 20.000. Ya, mereka adalah orang-orang yang menjual jasa penukaran uang.
Umumnya, uang baru senilai Rp 100 ribu dalam pecahan Rp 5.000 atau Rp 10 ribuan dijual seharga Rp 110 ribu. Pemandangan seperti ini juga banyak saya jumpai di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Malang. Orang-orang yang menawarkan jasa tersebut tidak hanya laki-laki dewasa. Ada juga kaum ibu, bahkan anak-anak remaja.

Nah, bagaimana hukumnya dari segi Islam? Benarkah jasa penukaran uang seperti itu dilarang atau diharamkan dalam Islam?
Baru-baru ini, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jombang KH Cholil Dahlan menegaskan di kediamannya bahwa transaksi semacam itu termasuk riba. ”Jadi, hukumnya haram,” ujarnya sebagaimana dikutip dari Radar Mojokerto (Jawa Pos Group) pada Rabu (1/8).
Dia beralasan, dalam transaksi tersebut, uang yang nilainya sama ditukar dengan nilai lebih. Nah, karena terdapat selisih, itu termasuk unsur riba. Sementara riba sendiri diharamkan dalam Islam.
Harian ibu kota Pos Kota pernah menurunkan berita bertema sama dari narasumber Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Bukhori. ”Dari kacamata ulama, transaksi penukaran uang yang tidak sama besar nilainya dalam hukum Islam adalah haram dan dosa. Tapi, ini bukan berupa fatwa. Kalau fatwa, harus ada konsideran dan dibahas dulu,” tegasnya (Pos Kota, 9/8/2011).
Untuk itu, pihaknya meminta Bank Indonesia (BI) membuka banyak unit baru untuk loket penukaran uang. ”Supaya masyarakat tidak menukar uang di jalanan,” tegasnya kepada Pos Kota.
KH Abdusshomad Bukhori menyatakan, tukar-menukar barang, baik yang sejenis maupun yang tidak sejenis, itu halal selama nilainya sama. Tukar-menukar barang yang tidak sama besarnya dalam hukum Islam dinyatakan haram karena termasuk riba fadli.
”Kalau uang Rp 100 ribu ditukar, ya dapatnya harus sama Rp 100 ribu juga. Nggak boleh kurang atau dilebihkan. Jangan sampai menjadi objek jual beli uang. Kalau masyarakat yang menukarkan uang itu masih mengaku Islam, lebih baik tukar di bank saja,” tegasnya seperti dikutip dari Pos Kota (9/8/2011).
Dia menambahkan, dasar hukumnya adalah beberapa surat dalam Alquran. Yakni, surat Al Baqarah ayat 275, 276, 278, dan 279, Ar-Rum ayat 39, serta Ali Imran ayat 130. Hal tersebut juga dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Ahmad.
Jasa penukaran memang meraup keuntungan dengan cara demikian. Bagi yang ingin mendapatkan uang Rp 100 ribu dalam bentuk pecahan Rp 10 ribuan, dia harus membayar Rp 110 ribu. ’’Nah, dari situ terdapat selisih Rp 10 ribu. Itulah yang dinamakan riba dan haram hukumnya,’’ tegas KH Cholil Dahlan yang juga pengasuh Pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang.
Pada zaman Rasulullah Muhammad SAW, praktik riba memang dilarang. Dalam suatu kisah, ada seorang sahabat menukarkan kurma yang berkualitas jelek sebanyak dua timbangan dengan kurma kualitas bagus sebanyak satu timbangan. Mengetahui hal itu, Rasulullah SAW langsung menegur karena sahabat tersebut telah melakukan praktik riba.
Nah, menurut KH Cholil, fenomena jasa penukaran uang itu tak jauh beda dengan kisah sahabat Nabi SAW yang melakukan penukaran kurma jelek dengan kurma kualitas bagus.
’’Prinsipnya, praktik tukar-menukar uang boleh-boleh saja dilakukan asalkan nominalnya sama dan tidak dilebihkan,’’ katanya. Atau, kalau enggan ke bank, kita bisa menyuruh orang menukarkan ke bank kemudian memberinya uang transpor. ’’Uang transpor semacam itu tidak masuk riba,’’ bebernya (beritajatim.com, 2/8/2012).
Namun, suara berbeda justru datang dari KH Shalahuddin Wahid. Ulama yang akrab disapa Gus Solah tersebut menyebut bahwa jasa penukaran uang itu tidak haram. ”Mereka kan menjual jasa. Jadi wajar jika ada kelebihan,” tutur pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang, tersebut (pelitaonline.com, 9/8/2012).
Gus Solah menyebut, tidak ada yang bisa melarang MUI mengeluarkan fatwa dan tidak ada yang bisa melarang orang menjual jasa.
Menurut dia, jasa tidak bisa dipandang sebagai riba yang haram. ”Secara hukum agama, hal itu memang bergantung persepsi masing-masing orang,” katanya.
Dari sudut pandang lain, fenomena jasa penukaran uang di pinggir jalan raya bisa jadi disebabkan oleh pandangan bahwa penukaran uang baru di bank itu butuh waktu lama. Nah, masyarakat cenderung lebih memilih yang praktis dan cepat. Peluang ini kemudian ditangkap dan akhirnya memunculkan adanya orang-orang yang menawarkan jasa penukaran uang baru. Ringkas dan nggak pake ribet, demikian ucapan seorang konsumen yang memanfaatkan jasa tersebut. Rata-rata umumnya mengambil untung Rp 10 ribu untuk sekali tukar.
Karena di kalangan ulama kita masih ada perbedaan pandangan soal masalah ini dengan alasan masing-masing, ada baiknya kita bersikap cermat. Artinya, kalau tidak benar-benar butuh uang baru, mengapa harus tukar uang? Iya kan? Hehehe. Atau, kita bisa menukar uang langsung ke bank, beres. Toh, sekarang urusan dengan bank itu tidak seribet yang dibayangkan. Sangat mudah dan cepat. Termasuk dalam hal penukaran uang. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan!


Graha Pena, 5 Agustus 2012

Tidak ada komentar: