Belajar Naik Sepeda



Oleh Eko Prasetyo

”Musuh terbesar kreativitas adalah keraguan pada diri sendiri.”
(Sylvia Plath)

Sabtu (19/6/2010) saya bertandang ke Taman Pendidikan Nahdlatul Ulama (TP NU), Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan. Hari itu ada pelatihan menulis untuk para guru TP NU. Saya datang atas undangan Rumah Ilmu Indonesia.

Kecamatan Lekok terletak sekitar 11 kilometer dari Kota Pasuruan. Cuaca pagi itu cukup panas, ditambah lokasi pelatihan yang begitu dekat dengan area pantai (sekitar 600 meter). Namun, terik matahari tak mengurangi semangat para guru untuk mengikuti pelatihan sampai selesai pukul 16.00.

Saya pun senang bisa berdiskusi panjang lebar seputar kepenulisan. Rata-rata peserta mengaku belum terbiasa menulis. Saya menjelaskan bahwa menulis adalah tanggung jawab guru. Mampu menulis dengan baik adalah hal yang mutlak dimiliki seorang guru profesional. Jika guru tidak bisa menulis bagus, bagaimana mungkin dia bisa membuat susunan perencanaan kerja, RPP, ataupun silabus dengan baik?

Sebelum sesi pertama usai, saya mengutip sebuah kalimat bijak. Yakni, guru yang mencintai profesinya adalah guru yang mampu menulis bagus.
Kebanyakan peserta mengaku bahwa mereka belum terbiasa menulis. Alasan yang dikemukakan rata-rata sama. Yakni, mereka bingung ketika akan memulai menulis. Mulai bingung menulis tema apa hingga memaparkan ide-ide masing-masing.

Diskusi kian hangat saat memasuki sesi menulis untuk rubrik Gagasan. Rubrik itu ditayangkan setiap Senin sampai Sabtu di surat kabar Jawa Pos. Saya mengajak para peserta untuk mencoba menulis gagasan masing-masing. Kenapa rubrik itu dipilih? Sebab, tulisan rubrik itu tidak terlalu panjang, hanya dua paragraf. Berbeda dengan rubrik Opini yang maksimal mencapai 800 kata. Bagi sebagian besar guru yang baru memulai menulis artikel ilmiah, panjangnya tulisan tersebut dirasa cukup berat.
Karena itu, kami sama-sama belajar menulis untuk rubrik Gagasan. Meski cukup pendek, ternyata membuat tulisan untuk rubrik Gagasan dinilai tak mudah.

Sebelumnya, saya menjelaskan bahwa setiap artikel yang dimuat di rubrik Opini akan mendapatkan honor sekitar Rp 900 ribu. Sedangkan tulisan yang dimuat di rubrik Gagasan memperoleh honor Rp 100 ribu. Saya lantas bertanya kepada peserta pelatihan, mau menulis yang mana. Jawabannya kompak: Opini! Alasannya juga kompak: karena honornya lebih gede! ”Ternyata kita sama, Bapak-Ibu guru. Kita sama-sama mau yang enak dan mudah dengan cepat,” ujar saya. Para peserta tertawa gerr setelah menyadari kalimat tersebut. Maksudnya, saya menyindir bahwa menulis rubrik Gagasan saja kesulitan kok mau langsung membuat tulisan untuk rubrik Opini yang bisa mencapai tiga halaman kertas A4 dengan spasi satu setengah itu.

Setelah semua selesai menulis rubrik Gagasan, kami membahasnya bersama-sama. Itu dilakukan untuk mengetahui apa saja yang kurang dalam tulisan tersebut. Mulai judul, tema atau ide, alasan pemilihan tema, dan solusi yang ditawarkan. Terjadi interaksi antarpeserta. Mereka ikut menilai dan memberikan masukan tulisan rekannya. Setelah dinilai bagus, saya meminta mereka untuk berani mengirimkannya ke media. Seorang peserta menceletuk, ”Diskusi seperti ini pun bisa diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah,” ujarnya. Benar!

Hari itu, kami sama-sama belajar. Yakni, belajar naik sepeda. Belajar menulis sama dengan belajar naik sepeda. Maksudnya, kita tak akan pernah bisa naik sepeda jika belum pernah mencoba menaikinya. Dalam proses belajar tersebut, jatuh merupakan hal yang biasa. Sakit memang rasanya ketika jatuh berkali-kali dalam proses belajar naik sepeda. Tapi, sakit itu akan terbayar lunas saat kita bisa menaikinya tanpa terjatuh lagi.

Pasuruan, 19 Juni 2010

Tidak ada komentar: