Metode Menulis Natsir

Oleh Eko Prasetyo


”Mulailah dari apa yang ada. Sebab, yang ada itu kebih dari cukup untuk memulai.”
(Muhammad Natsir)


Muhammad Natsir adalah mantan perdana menteri Indonesia pada era 1950-an. Pria kelahiran Alahan Panjang, Sumatera Barat, itu dikenal sebagai seorang negarawan, politikus, dan ulama yang gigih mempertahankan kesatuan Republik Indonesia pascakemerdekaan (www.wikipedia.org).

Pahlawan nasional yang pernah meraih penghargaan Faisal Award dari Raja Fadh (Arab Saudi) pada 1979 itu juga dikenal rajin menulis di bidang dakwah. Salah satu petuahnya yang paling terkenal adalah yang saya kutip di atas.
Kalimat itu sering saya kutip ketika berbagi dengan peserta pelatihan menulis. Salah satunya, saat saya berdiskusi dengan Forum Mahasiswa Surabaya (Formasa) awal Juni 2010.

Mereka begitu antusias dan ingin bisa mengembangkan media komunikasi mereka. Tujuannya, mengkader dan melahirkan penulis-penulis muda yang andal di kalangan mereka. ”Apa yang harus kami lakukan ketika tidak tersedia sesuatu yang kami butuhkan saat menulis?” Pertanyaan itu terlontar manakala sesi tanya jawab.
Saya kemudian merujuk pada buku karya Ariyanto M.B. Judulnya, Siapa Bilang Menjadi Penulis Itu Susah dan Nggak Bisa Kaya (Briliant, Surabaya: 2008). Dalam buku tersebut, disebutkan banyak metode menulis. Salah satu yang termaktub di sana adalah metode Natsir.

Ariyanto mengajak penulis (pemula) untuk mengambil kertas bekas dan bolpoin. Pada tahap awal, dia meminta si calon penulis membayangkan apa saja yang akan dibutuhkannya dalam menulis nanti. Mata boleh dibiarkan terpejam.
Selanjutnya, si calon penulis diminta untuk menuliskan apa yang telah dia bayangkan tersebut. Nah, kira-kira sangat mungkin hasil invetaris itu dijabarkan seperti ini.
Untuk menulis artikel/buku berjudul xxx, saya butuh ini:
1. 1 rim kertas A4
2. 1 unit computer + printer
3. 1 buah meja + kursi kerja
4. 1 buah meja + kursi kerja
5. 1 cangkir kopi panas
6. 1 bungkus camilan
7. Buku-buku
8. Kertas bekas dan bolpoin
Kemudian, cek apa saja yang sudah tersedia. Mari bersimulasi dengan hasil seperti ini.

Kebutuhan Apakah Tersedia?
1 rim kertas A4 Tidak
1 unit computer + printer Tidak
1 buah meja + kursi kerja Tidak
1 buah meja + kursi kerja Tidak
1 cangkir kopi panas Tidak
1 bungkus camilan Tidak
Buku-buku Tidak
Kertas bekas dan bolpoin Ya

Ternyata, di antara beberapa kebutuhan, yang tersedia cuma kertas bekas dan bolpoin.
Lantas, ada dua pertanyaan bagi si calon penulis.
1. Apakah Anda akan menunggu semua tersedia, kemudian mulai menulis?
2. Anda langsung menulis dulu dengan yang tersedia (kertas dan bolpoin) sambil perlahan-lahan mengupayakan kebutuhan lain?

Keputusan memang berada di tangan Anda (penulis). Namun, tidak ada salahnya jika metode Natsir diterapkan. Yakni, kita memaksimalkan apa yang ada.

Semangat saya begitu tergugah setelah membaca dan mengaplikasikan buku ”Mengikat Makna” karya Hernowo (Mizan). Metode Natsir dan Mengikat Makna ala Hernowo betul-betul saya aplikasikan manakala saya belajar menulis.

Ide-ide di benak ini saya ikat dalam sebuah pena dan kertas yang tersedia dalam tas cangklong saya. Ke mana pun saya pergi, jarang sekali saya membawa laptop. Yang tersedia di tas hanya buku kecil, bolpoin, baju, dan minuman mineral.

Kejadian-kejadian sederhana dan memiliki hikmah saya catat di buku kecil itu. Saat senggang di rumah, pengalaman-pengalaman tersebut saya ketik ulang di komputer. Dulu, ketika belum punya komputer pun, saya tetap menulis dan rajin mengisi blog, biasanya saya lakukan di warnet. Sebagian besar dimuat di sebuah media online. Kini sudah ratusan artikel saya buat, baik artikel pribadi maupun ilmiah. Semuanya berawal dari hanya sebuah pena dan kertas, saat saya belum punya benda ajaib yang saya impikan: komputer.

Graha Pena, 22 Juni 2010

Tidak ada komentar: