Akhirnya Dia Dapat Mencium Hajar Aswad


Oleh Eko Prasetyo

Rumahnya hanya empat blok dari kediaman lama orang tua saya di Bekasi. Si empu rumah juga sangat akrab dengan keluarga kami, bahkan sudah seperti famili. Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dengan tempat itu. Pekarangannya dibiarkan kosong tanpa tanaman, hanya ada dua pohon berukuran sedang. Namun, dari sang pemilik rumah, saya mendapatkan motivasi yang luar biasa.

Alasan Ustazah Menghukum


Oleh Eko Prasetyo

Bocah laki-laki itu tertunduk lesu. Wajahnya muram, menahan sedih. Murid kelas 2 tersebut tak bisa menahan kekesalannya. Sesekali dia bergumam sendiri, menampakkan penyesalannya.
Dia lantas berdiri, kemudian menuju ke ustazah (sebutan ibu guru di SD Islam Terpadu). Keringat dingin berpadu dengan keberanian. Ya, bocah delapan tahun itu berusaha memberanikan diri untuk bertanya.
”Kenapa saya dihukum, Ustazah?” Pertanyaan tersebut meluncur dari bibir bocah bertubuh gemuk itu. Ia memang sedang menjalani hukuman dari sang ustazah.
Murid tersebut tidak diperbolehkan istirahat di luar kelas, seperti teman-temannya yang lain. Alhasil, dia hanya manyun di dalam kelas dan makan perbekalan yang dibawa dari rumah.
Sang ustazah tersenyum kecil. Tak tampak kegarangan seorang guru yang tengah menghukum siswanya. Diusapnya kepala sang siswa. Berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan makna di balik hukuman itu.
Mereka terlibat perbincangan yang agak serius. Mata si murid sedikit berkaca-kaca. Sedih sekali. Pasalnya, dia begitu kepengin bermain sepak bola bersama teman-temannya di luar sana. Apalagi, jam istirahat masih cukup lama, sekitar 15 menit lagi baru masuk kelas.
Sebuah buku kecil tergenggam erat di tangan sang ustazah. Di situ terdapat catatan mengenai kegiatan salat wajib lima waktu, mulai salat Subuh hingga salat Isya. 
Ada kolom yang kosong di salah satu isian salat wajib tersebut. Sang ustazah menunjukkannya kepada muridnya. Ia kembali tertunduk lesu.
”Mengapa nggak salat, Nak?” tanya ustazah, masih dengan senyumnya yang menjuntai. Tak pernah lepas dari bibirnya. 
”Ngantuk, Ust. Ketiduran,” jawab si murid polos.
Ustazah lantas mengingatkan pentingnya menjaga salat fardu (wajib). Ia juga menawarkan solusi kepada siswanya tersebut untuk saling mengingatkan dengan teman-temannya soal salat. Misalnya, itu dilakukan lewat percakapan via telepon.
Maka, jamak terjadi di lingkungan sekolah tersebut, terutama di kalangan para siswa, kegiatan mengingatkan salat wajib. Biasanya, sang murid menelepon temannya ketika memasuki waktu salat Isya. Menanyakan sudah salat atau belum.
***
Kendati kasihan kepada siswanya, ustazah tetap menjatuhkan hukuman. Yakni, tidak membolehkan si murid untuk beristirahat di luar kelas sebagaimana dilakukan teman-temannya yang lain.
Bisa saja kolom salat wajib itu diisi meski sebenarnya tidak salat alias memanipulasi. Namun, hal tersebut justru tak terjadi di kelas itu. Sang ustazah selalu mengingatkan bahwa kejujuran harus dijunjung tinggi dan ini sudah ditanamkan sejak dini, mulai murid kelas 1 di SD Islam Terpadu (SD IT) tersebut.
Selain itu, ada kegiatan lain untuk menanamkan kekompakan. Salah satunya, siswa menjalankan salat Duha setiap pagi di masjid sekolah. Setiap duhur dan asar, mereka juga salat berjamaah dengan diimami oleh salah seorang siswa.
Tak jarang, ada siswa yang tertidur ketika melakukan sujud atau duduk tahiyatul akhir ketika salat berjamaah di sekolah. Biasanya, sang ustazah langsung membenahi dan mengingatkannya. 
***
Hhm...saat ini apa saja bisa dimanipulasi dan siapa saja bisa menjadi manipulator. Urusan tipu-menipu demi kepentingan pribadi atau golongan jamak terjadi. Mafia di mana-mana. Tak terkecuali di dunia pendidikan.
Saya sadar dan yakin, tidak ada orang yang dididik untuk menjadi seorang ”Gayus.” Tak ada guru yang menanamkan sifat manipulatif. Namun, tentu saja hal seperti itu mungkin tak terelakkan. Kendati demikian, bukan berarti masalah tersebut tidak bisa dicegah.
Nah, inilah yang ditanamkan oleh sang ustazah kepada muridnya tersebut. Hukuman yang diberikan bukan bermaksud untuk mengeliminasi kebebasan. Justru di situ ditanamkan nilai sosial, kultur silaturahmi yang kini mulai luntur. Diharapkan, timbul kesadaran bahwa salat itu merupakan kebutuhan rohani yang juga penting. Dengan demikian, hal tersebut terus dijaga sampai si murid dewasa kelak. Sehingga sifat menghamba duniawi dengan menghalalkan segala cara dapat tercegah dan tergerus. Caranya melalui penanaman kejujuran. Sederhana, tapi tidak mudah.

Graha Pena, 24 November 2010

Miss Universe dan Salat Asar

 Oleh Eko Prasetyo

Miss Universe 2010 Ximene Navarrete dijadwalkan berkunjung ke Surabaya pada Jumat (15/10). Beberapa tempat dia kunjungi. Di antaranya, Pasar Atom dan Tunjungan Plaza. Dia juga direncanakan datang ke kantor saya pada sekitar pukul 14.30. Otomatis kesibukan tampak sebelum dan saat kedatangannya.

Beberapa persiapan dilakukan oleh panitia. Tampak beberapa penari cilik yang bakal menyambut kedatangan putri kecantikan sejagat itu. Di pelataran parkir, tepatnya halaman depan lobi, para penari reog dari sebuah peguyuban di Surabaya sudah menyiapkan diri. Mereka melakukan atraksi beberapa menit sebelum kedatangan Navarrete.

Terlihat pula para personel Polri yang datang mengawal. Di antara mereka, saya mengenali beberapa wajah anggota reserse yang berseragam preman. Penampilan mereka jauh dari bayangan orang terhadap sosok polisi.

Sore itu saya hendak mengabadikan kedatangan Miss Universe asal Meksiko itu. Saya sudah menyiapkan kamera. Penjagaan semakin ketat. Beberapa petugas sekuriti bahkan melarang orang yang hendak masuk ke gedung. Untung, saya sudah berada di dalam.

Saya sudah bertekad untuk bisa mengambil potret Miss Universe dengan angle yang bagus. Di sela-sela itu, azan asar memanggil. Kebetulan di sebelah kantor terdapat masjid besar. Suara sang muazin terdengar lantang dan bergema.

Dilema. Ya, saya dihadapkan pada dua hal. Di satu sisi, saya punya tugas mengambil foto Navarrete. Di sisi lain, sebuah kewajiban yang sangat penting tidak boleh ditinggalkan. Sedangkan pada saat bersamaan, Miss Universe dikabarkan segera tiba.

Saya sadar, salat bisa dilaksanakan tidak pada awal waktu. Meski, itulah waktu salat yang paling utama. Saya juga sadar bahwa kunjungan Miss Universe itu paling-paling hanya memakan waktu tak lebih dari satu jam. Waktu salat asarnya masih panjang. Saya memilih yang kedua: salat Asar dulu.

Biarlah saya kehilangan momen tersebut, yang penting tak tertinggal salat di awal waktu. Begitu pikir saya. Saya akhirnya menyelesaikan empat rakaat Asar. Whatever...

Seusai menuntaskan doa, saya beranjak untuk menggapai ”sisa” kesempatan yang ada. Ternyata, seorang kawan mengabarkan bahwa rombongan Miss Universe datang terlambat karena terjebak macet di salah satu jalan protokol. Tentu saja saya sangat gembira dengan kabar itu. Sebab, itu berarti saya masih bisa mendapatkan kesempatan untuk memotret Navarrete.

Alhamdulillah, segala puji hanya kepada Allah. Saya bisa melaksanakan salat di awal waktu sekaligus mendapatkan apa yang saya harapkan. Menunaikan tanggung jawab tanpa melalaikan tugas.


Surabaya, 15 Oktober 2010

Yakin Allah Pasti Melihatnya


Oleh Eko Prasetyo

Berkali-kali ucapan bodoh mengarah kepada saya. Sesekali ada umpatan di situ. Saya tak menggubris atau berusaha mengelak. Diam saja.

Mereka adalah teman-teman saya. Saat itu, kami berkumpul bersama di kantin. Di sela-sela itu, saya bercerita telah menemukan sebuah tas kecil pagi sebelumnya. Saya menemukannya di pelataran parkir mobil dekat kantor.

Semula, saya berpikir untuk melaporkannya ke petugas parkir. Namun, saat itu suasana sedang ramai di halaman depan gedung. Sebab, ada kegiatan pelatihan memadamkan kebakaran. Pesertanya adalah petugas sekuriti, office boy, termasuk petugas parkir. Pantas jika saat itu saya tak menjumpai seorang petugas pun di dekat area parkir mobil.

Saya bawa saja tas hitam tersebut ke kantor. Kemudian saya beranikan diri untuk membuka dan mencari tahu kartu identitas si pemilik. Tas itu berisi dompet, alat rias, dan kosmetika. Di dalam dompet, saya menemukan apa yang saya cari, yaitu kartu identitas si pemilik. Seorang perempuan keturunan Tionghoa. Terdapat beberapa kartu kredit di sana serta lembaran uang senilai total Rp 2,3 juta.

Setelah mengetahui alamat si pemilik, saya berusaha menghubunginya lewat telepon. Si pemiliknya yang menerima langsung. Dengan suara ramah, dia menanyakan keperluan dan nama saya. Saya lalu menjelaskan penemuan tas dan dompet itu. Di seberang suaranya tampak gembira. ’Ibu bisa mengambil di kantor saya,” ujar saya.

Begitu bertemu, dia mengambil tasnya dan bermaksud memberi saya uang terima kasih. Saya menolaknya. Dia memaksa dan saya tetap menolaknya. Namun, karena terus dipaksa, saya akhirnya menerimanya. Nominalnya cukup lumayan untuk ukuran karyawan rendahan seperti saya. Uang itu akhirnya saya masukkan ke kotak amal di musala kantor.  

Selesai bercerita tentang kejadian tersebut, teman-teman masih mencibir tindakan saya. Mereka menyayangkan sikap saya yang membuang peluang ”emas” itu. Ya, saya bisa saja mengambil barang berharga di dalam tas itu, lalu ngeloyor pergi dan meninggalkannya. Apalagi, si pemilik adalah warga keturunan dan tidak seiman.

Selain yakin bahwa Allah melihat kejadian pagi itu, saya berusaha memosisikan diri sebagai perempuan Tionghoa tersebut. Entah bagaimana perasaan saya jika kehilangan surat-surat berharga atau catatan utang. Apalagi, utang sampai mati pun tetap akan dicatat oleh-Nya.

Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kau dustakan?” (QS Ar Rahman)

Surabaya, 13 Oktober 2010


Gola Gong


Oleh Eko Prasetyo
 
”Kalau ingin menjadi pengarang, pergilah ke tempat yang jauh atau merantaulah ke negeri orang, lalu tulislah pengalaman-pengalaman yang didapat.”
(W. Somerset Maugham)
***
Saya bersyukur punya banyak teman yang memiliki hobi unik dan menginspirasi. Seperti kawan yang satu ini. Dia seorang ilustrator di sebuah surat kabar nasional. Waktu senggang dia manfaatkan untuk membaca komik dan majalah. Koleksi komiknya bejibun, bukan main banyaknya. Mulai yang lawas hingga terbaru, mulai yang lokal hingga komik buatan luar negeri.
Dia menjuluki dirinya si pemburu. Hobinya memang berburu komik dan majalah bekas ke mana pun. Dia juga tak jarang memanfaatkan forum online untuk mendapatkan barang yang dicari.
Suatu sore, dia membawa tas cangklong hitam yang tampak penuh. Dia memperlihatkan isinya kepada saya. Yakni, bundel majalah Hai! Ada sekitar lima bundel yang dia pamerkan, semuanya terbitan lawas, 1980-an. Dia mengaku, majalah jadul tersebut lebih inspiring ketimbang yang terbitan sekarang. Saya tak menampik hal itu.
Kemudian, dia memperlihatkan buku lain yang bersampul merah dengan ilustrasi seorang pemuda. Judulnya Balada Si Roy. Tertarik, saya meminjamnya karena belum pernah membaca novel jadul seperti itu. Ternyata, kata si teman tersebut, novel itu sangat booming pada 1990-an. ”Nyaingin figur Boy (Catatan Si Boy, Red) dan Lupus,” sebutnya. Memang, saya tidak familier sebelumnya dengan Balada Si Roy ini.
Saya tak sempat membaca sampai habis, tapi dua jempol saya berikan untuk si pengarangnya. Sebab, ia memberikan pesan moral yang baik dalam buku tersebut. Berbeda dengan Boy (tokoh rekaan Zara Zetira yang awalnya dikemas di Prambors FM), Roy adalah pemuda asli kampung. Bila Boy dan Lupus mengambil setting Jakarta sebagai latar cerita, tokoh Roy dikisahkan di daerah Serang, Banten, yang identik dengan debus (RumahDunia.net). Etos kerja yang baik serta cinta kampung sangat lekat pada si Roy. Ia diceritakan doyan bersepeda onthel. Menu makan dan minumnya pun sederhana seperti nasi uduk, bandrek, dan kelapa degan. Intinya: spirit hidup dalam membangun kampung!
Ada sepuluh jilid buku Balada Si Roy (kali pertama diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama dan dicetak ulang pada 2004 oleh Beranda Hikmah). Saking bagusnya, saya penasaran dengan si pengarang tokoh fiksi Roy ini: Gola Gong.
Lewat internet, akhirnya saya dapatkan informasi bejibun tentang penulis satu ini. Gola Gong adalah nama pena Hari Hendrayana Harris. Lebih dari 25 novel telah ia hasilkan. Selain Balada Si Roy, ada Kupu-Kupu Pelangi, Kepada-Mu Aku Bersimpuh, Lewat Tengah Malam, Biarkan Aku Jadi Milikmu, dan lain-lain.
Pria kelahiran 15 Agustus 1963 itu berjanji mendedikasikan hidup untuk memberikan manfaat kepada sesama. Jalur pendidikan pun dipilih. Bersama teman-temannya di jurusan Sastra Indonesia Unpad Bandung, Gola Gong mendirikan komunitas Rumah Dunia di rumahnya, Serang, Banten. Perhatiannya dicurahkan kepada anak-anak sekitar dengan memberikan bimbingan menulis, menggambar, mendongeng, dan bermain teater. Salah satu disiplin yang ia pupuk kepada anak asuhnya adalah membaca.
Yang menginspirasi, Gola Gong adalah penyandang cacat. Sebelah tangannya buntung. Ceritanya, pada usia sepuluh tahun ia bermain bersama rekan-rekannya. Siapa yang paling hebat akan dinobatkan sebagai Jenderal Kancil. Mereka berlomba memanjat pohon, kemudian terjun bebas. Karena tidak ingin kalah, Gola Gong naik hingga di ketinggian tiga meter. Nahas, bukan kakinya yang lebih dulu mencium tanah, melainkan bahu. Akibatnya, tangan kirinya patah dan harus diamputasi.
Sang ayah selalu memberikan motivasi dan membesarkan hati Gola Gong. Sadar bahwa orang cacat sulit diterima bekerja di instasi pemerintah, Gola Gong memilih jadi penulis sebagai jalan hidup. Berbekal mesin tik (yang menurut pengakuan Gola Gong masih ada hingga kini), dia mulai menulis cerpen dan novel.
Gola Gong membuktikan bahwa cacat fisik bukan halangan dalam berkarya. Dia terus menulis, menulis, dan menulis. Hingga akhirnya dia terjun ke dalam komunitas yang peduli terhadap budaya membaca dan menulis, yakni Rumah Dunia.
Indonesia memiliki banyak penulis hebat yang berasal dari kalangan penyandang cacat fisik dan kelainan karena penyakit. Selain Gola Gong, ada Ratna Indraswari Ibrahim (penulis, novelis yang menderita radang tulang) dan Pipiet Senja (novelis yang menyandang kelainan darah).
Terhadap dedikasinya di Rumah Dunia, Gola Gong menyampaikan bahwa kunci semua itu adalah ikhlas dan semangat berbagi dengan sesama. ”Langkah itu kami mulai dari lingkungan masyarakat di sekitar rumah, bukan dari menyodorkan proposal minta dana,” tuturnya sebagaimana dikutip RumahDunia.net.
Sungguh, saya betul-betul serasa dicambuk oleh motivasi dahsyat itu. Gola Gong yang hanya punya satu tangan saja bisa berkarya dan memberikan sumbangsih berarti bagi anak negeri. Maka, tak ada alasan bagi kita yang memiliki tubuh sempurna dan sehat untuk tidak berkarya.

Surabaya, 16 September 2010




Sumber bacaan:
1.      Balada Si Roy
2.      Jawa Pos (arsip dan perpustakaan)
3.      Kompas
4.      Majalah Hai (bundel 1985–1990)
5.      Majalah Tempo

Sumber online:

The Big Issue dan Kegigihan


Oleh Eko Prasetyo


Dan kau harus mencintai Tuhan, Tuhanmu
Dengan sepenuh hatimu, dengan sepenuh jiwamu, dan
dengan semua kekuatanmu.
Dan kata-kata ini yang aku perintahkan kepadamu hari ini
Harus tetap berada dalam hatimu.
(The Last Secret of The Temple, Jejak Perebutan Tanah Suci Tiga Agama
: hal 559)

Novel karya Paul Sussman ini benar-benar membuat saya takjub. Sebagai buku fiksi sejarah, Sussman mampu menghadirkan alur cerita yang kuat dan menyentuh lewat kisah perjuangan di Timur Tengah. Hingga tak terasa, dua jam saya habiskan untuk melahap buku setebal 569 halaman tersebut.
Tak salah bila novel The Last Secret of The Temple ini menuai banyak pujian. Bahkan, James Rollins –penulis karya best seller versi New Times– mengatakan bahwa novel Paul Susman tersebut lebih hebat dibandingkan karya Dan Brown sekalipun. Pujian serupa datang dari Raymond Khoury, penulis buku The Last Templar. ”Novel yang kaya observasi,” tulis Khoury.
Independent bahkan menurunkan tajuk bahwa The Last Secret of The Temple merupakan bacaan cerdas yang menandingi Da Vinci Code. Namun, saya tidak hendak mengupas isi novel Sussman itu. Benak saya justru menaruh penasaran terhadap penulis yang satu ini. Dalam biografinya tertulis bahwa Sussman pernah bekerja sebagai penggali kuburan, tukang bangunan, dan penjaja detergen.
Ternyata, dia merupakan salah seorang pendiri The Big Issue, majalah sosial yang fokus mengentaskan tunawisma. Sussman bersama John Bird dan Gordon Roddick mendirikan majalah tersebut di London, Inggris, pada 1991. Sejak itulah, Sussman menekuni dunia kewartawanan. Dia pernah menjadi kontributor di The Daily Telegraph, The Daily Express, dan The Sunday Herarld. Kini Sussman rutin menulis di CNN.com biro Eropa.
Perhatian saya lantas tertuju pada The Big Issue. Dulu seorang teman pernah membawakannya ketika pulang bertugas dari Australia. Komentarnya pendek, ”Menarik”. Saya tak sempat melihat isinya sehingga tak bisa menerka apa yang dimaksud menarik itu.
Rasa penasaran tersebut terbayar ketika melihat liputan khusus tentang The Big Issue di London melalui sebuah stasiun televisi swasta. Mulanya, ditayangkan tentang cara penjualannya yang tak lazim. Majalah tersebut tidak diperjualbelikan di toko atau kios buku. Ia hanya dijajakan oleh orang yang berpenampilan sangat sederhana (untuk tidak menyebut di bawah standar penampilan warga setempat). Si penjaja majalah menawarkannya kepada para pejalan kaki dengan mengangkat majalah itu tinggi-tinggi. Pasif, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut si penjual.
Dikutip dari Google, The Big Issue merupakan badan internasional yang bekerja sama dengan para tuna wisma (homeless people) di seluruh dunia. Mulai Inggris, Asia, Australia, sampai Afrika. Perusahaan tersebut juga bertujuan untuk mempromosikan dirinya bahwa sebuah usaha sosial bisa menjadi solusi bagi homelessness dan social exclusion.
Di Jepang, seorang tunawisma akan diberi sepuluh majalah Big Issue seharga 140 yen dan dijual ke pembeli 300 yen. Untungnya separo lebih. Hal serupa bisa ditemui di kota-kota di Inggris seperti London, Sunderland, dan Birmingham. Beberapa penjual majalah Big Issue (tentu saja tunawisma) yang ditemui BBC Indonesia mengaku menjual Big Issue mencegah mereka terjerumus ke masalah dan membuat tetap sibuk sepanjang hari.
Kepada pembaca, manajemen Big Issue menegaskan bahwa para penjualnya bekerja, bukan mengemis. Salah satu keuntungan bagi tunawisma penjual Big Issue adalah tak ada target penjualan. Pengelola majalah Big Issue memang menyatakan diri sebagai usaha sosial guna mendorong tunawisma yang tidur di emperan toko, taman umum, atau rumah penampungan sementara untuk bangkit kembali ke kehidupan yang layak (BBC Indonesia, 10/3/2010).
Ternyata, menulis (lebih tepatnya sarana media) bisa solusi bagi suatu masalah sosial. Paul Sussman, John Bird, dkk telah membuktikannya lewat The Big Issue. Sebuah dorongan bertahan hidup dengan cara yang lebih terhormat (ketimbang mengemis). Tertarik menulis dan membuat media seperti Big Issue di Indonesia?

Sumber bacaan:
BBC Indonesia
Google
The Big Issue
The Last Secret of The Temple

Graha Pena, 15 Agustus 2010

Ketika Artikel Tidak Dimuat


Oleh Eko Prasetyo

”Syarat untuk menjadi penulis ada tiga. Yaitu, menulis, menulis, menulis.”
~Kuntowijoyo~
***
Seorang kawan begitu bersemangat menulis artikel opini di koran. Sedemikian antusiasnya, sampai-sampai dia rela berlangganan dua koran nasional sekaligus.
Kawan tersebut berprofesi sebagai guru. Dia getol belajar dan membuat artikel opini setelah melihat tulisan temannya sesama guru dimuat di koran. Inilah yang melecut spiritnya dalam menulis. Tak mau kalah. Tujuan lainnya, lolos sertifikasi. Ini wajar. Sebab, dalam syarat portofolio, ada poin tertentu untuk tiap artikel yang dimuat koran. Salah satunya didasarkan pada pemuatan di koran level nasional atau lokal.
Namun, belakangan ia mengeluh lesu darah alias tak bersemangat lagi untuk menulis. Ternyata, itu dipicu oleh tidak dimuatnya beberapa artikel guru tersebut. Dia mengaku enggan mengirimkan tulisan lagi ke media massa. Pengalamannya mungkin juga dialami banyak penulis lainnya. Terutama, mereka yang berniat mengirimkan tulisan ke media massa. Sungguh disayangkan apabila harus putus asa karena tulisan tidak dimuat.
Lantas, apa yang mesti dilakukan? Budayawan Sapardi Djoko Damono pernah mengilustrasikan pengalamannya saat mengirimkan tulisan ke media. Itu terjadi puluhan tahun silam, pada 1970-an. Dia bercerita bahwa sudah puluhan kali menulis, tapi belum kunjung dimuat. Namun, Sapardi tetap menulis. Dalam proses ”gagal” itu (karena belum bisa dimuat), seseorang diajak mengoreksi apa saja yang masih sehingga tulisannya belum bisa dimuat.
Berpikir positif perlu ditanamkan. Memang, persaingan ketat bakal ditemui manakala kita mengirimkan artikel ke media. Apalagi, sangat mungkin banyak penulis dari kalangan pejabat, akademisi, ulama, dan praktisi ahli yang juga menulis. Ini terutama terjadi di media massa nasional. Setidaknya, ada prioritas bagi penulis yang sudah punya nama. Wajar jika para penulis pemula seperti guru tadi mengalami kesulitan untuk menembus media massa.
Sekadar berbagai pengalaman pribadi, saya pernah mengalami hal seperti guru itu. Saya kerap menulis dan kerap pula ditolak alias tidak dimuat. Sempat sih minder dan nyaris putus asa. Namun, itu tidak sampai memupuskan semangat saya untuk tetap menulis. Saya melakukan introspeksi terhadap artikel-artikel yang tidak termuat itu. Mencari apa saja yang menjadi kekurangannya untuk bisa saya perbaiki di kemudian hari ketika menulis lagi. Misalnya, faktor aktualitas, data pendukung, dan bahasa. Semuanya saya pelajari dan berusaha untuk saya perbaiki.
Belum atau tidak termuat belum berarti akhir dari proses belajar. Justru hal itulah yang menjadi pelecut untuk menghasilkan karya-karya lain. Intinya, jangan berhenti menulis, meski tulisan itu belum bisa dimuat. Lihat dan baca ulang tulisan Anda, apakah sudah betul-betul layak untuk dipublikasikan. Bila perlu, berkonsultasilah kepada pakar atau orang yang lebih berpengalaman. So, jangan putus asa ketika artikel kita gagal menembus media massa. Jika orang lain bisa melakukannya, kita pun punya peluang yang sama.

Komunitas Guru Menulis


Oleh Eko Prasetyo


”Apa pun kurikulumnya, mutu guru kuncinya!”
~Satria Dharma~
ketua umum Ikatan Guru Indonesia (IGI)
***
 Pada 26 Mei 2010, harian Kompas menurunkan berita tentang penghitungan ganda jumlah guru di Indonesia. Sebagaimana dikutip dari Kompas, Direktur Ketenagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Muchlas Samani menerangkan bahwa jumlah guru saat ini sekitar 2,4 juta.
Seiring diterapkannya Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, seluruh tenaga pendidik harus bersertifikat demi menjamin kualitas pendidikan. Sertifikasi guru tersebut merupakan bagian dari standardisasi kompetensi guru.
Salah satu kompetensi tersebut ialah membuat karya tulis ilmiah. Nah, jamak diketahui bahwa menulis belum begitu membudaya di kalangan guru. Indikasinya adalah kasus karya tulis ilmiah ”jahitan” alias copy paste. Memprihatinkan. Karena itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional saat ini getol menyuarakan budaya menulis di kalangan guru.
Selain alasan penunjang kompetensi, dengan menulis guru diharapkan bisa berbagi ide dan pengalaman kepada anak didik, masyarakat, maupun rekan sejawat. Alasan yang lebih gamblang diutarakan Henry Guntur Tarigan (1982: 4). Dia menyebutkan, keterampilan menulis sangat dibutuhkan dan mutlak dilakukan demi mencapai kemajuan pendidikan.
Keterampilan menulis merupakan suatu ciri orang atau bangsa yang terpelajar. Menulis dipergunakan oleh orang terpelajar untuk mencatat atau merekam, meyakinkan, memberitahukan, dan memengaruhi. Nah, tujuan tersebut hanya dapat dicapai dengan baik jika seseorang dapat menyusun pikiran dan mengutarakannya dengan jelas. Kejelasan itu tergantung pada pikiran, organisasi, pemakaian kata-kata, serta struktur kalimat yang baik dan teratur (Diyono Adhi: 2010).
Namun, sejauh ini imbauan tersebut masih jauh api dari panggang. Menulis masih dianggap momok. Akibatnya, ketika muncul sertifikasi, kasus demi kasus karya tulis ilmiah jiplakan merebak. Hal ini melahirkan keprihatinan sekaligus pekerjaan rumah besar bagi semua. Jika tak mau menjadi bangsa yang tertinggal, budaya membaca dan menulis mesti terus didengungkan.
Menilik hal itu, Ketua Umum IGI Satria Dharma melontarkan gagasan pembentukan Komunitas Guru Menulis di IGI. Lewat komunitas itu nanti, Satria ingin mengajak para guru untuk mulai menulis dan terbiasa menulis. ”Setiap hari minimal guru menulis satu paragraf dan seminggu satu artikel,” tegasnya di mailing list IGI. Gagasan praktisi pendidikan asal Balikpapan itu mendapatkan respons positif Hernowo Hasyim, pakar dunia tulis-menulis dari penerbit Mizan.
Di luar itu, pemerintah diharapkan bisa mendukung penuh langkah pembentukan Komunitas Guru Menulis. Sebab, bagaimanapun guru merupakan salah satu pilar penentu kemajuan bangsa lewat pendidikan. Melalui komunitas tersebut, setidaknya para guru bisa berbagi/bertukar pengalaman dan pengetahuan selain meningkatkan kompetensi lewat menulis. Sebuah gagasan yang menantang dan urgen! So, mari kita dukung pembentukan Komunitas Guru Menulis.

Graha Pena, 13 Agustus 2010

Yang Tak Terganti


Oleh Eko Prasetyo

Perkembangan teknologi seolah berkejar-kejaran dengan waktu. Cepat. Tak bisa dimungkiri, kemajuan teknologi membawa manfaat yang tak sedikit bagi peradaban abad ini. Namun, bagi saya, ada yang tidak bisa terganti oleh teknologi. Salah satunya, kartu ucapan Lebaran.
Itu adalah satu-satunya kartu Lebaran yang mampir ke kediaman saya. Sebab, ucapan selamat ber-Idul Fitri kebanyakan saya terima lewat pesan pendek (SMS) dan e-mail. Di tengah era digital seperti sekarang, kartu Lebaran seakan terlupakan. Ia dianggap tak praktis dan tak secepat pengiriman pesan pendek via ponsel. Tergerus.
Kartu Lebaran tersebut betul-betul terasa istimewa bagi saya. Sebab, ia dikirim oleh teman dari Ponorogo, Jawa Timur. Sejatinya, dia tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan saya. Namun, saking dekatnya, dia seperti saudara kandung saya. Kadang, orang lain memang bisa menjadi saudara, sedangkan saudara bisa seperti orang lain.
Dia adalah rekan saya saat kami masih sama-sama membuka kedai kopi di Surabaya. Dia hanya tamatan madrasah tsanawiyah (MTs). Namun, keramahan, kecekatan, dan kerja kerasnya membuat kami langsung cocok. Ada sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Itu terjadi ketika kami dikejar-kejar petugas satpol pamong praja (PP) karena dianggap berjualan di pinggir jalan protokol. Kami bisa menyelamatkan gerobak, tapi ember dan kompornya tertinggal. Sejak itu, kami tak berani berjualan di tepian jalan protokol.
***
Suatu malam, rekan saya tersebut ditelepon oleh kerabatnya. Dia mendapatkan kabar bahwa pamannya dirawat inap di RSUD dr Soetomo Surabaya. Sang paman barusan dirujuk dari RSUD dr Soedono Madiun. Ada benjolan besar di lehernya sehingga harus dioperasi. Karena itu, ia dirujuk ke rumah sakit milik Pemprov Jatim tersebut.
Saya buru-buru menyarankan kepada rekan saya itu untuk langsung menjenguk sang paman. ”Warungnya ditutup ae,” tegas saya. Meski agak berat, dia akhirnya mengiyakan saran saya. Dengan sepeda motor butut saya (Honda Supercup keluaran 1981), kami bergegas ke RSUD dr Soetomo. Sesampai di sana, ternyata sang paman hanya sendirian. Tidak ada kerabat yang mengantarnya. Malam itu, kami menjaganya. Empat hari setelahnya, sang paman wafat. Benjolan itu ternyata kanker. Setelah itu, teman saya tersebut pulang ke Ponorogo. Kedai kopi tersebut pun tinggal memori.
***
Lebih dari tujuh tahun sejak peristiwa itu, saya belum pernah bersua lagi. Selama ini kami hanya menjalin komunikasi lewat ponsel. Dia kini telah menjadi pengusaha sayur sukses di desanya. Sedangkan saya masih tetap berkutat dengan sapu dan pel. Kendati begitu, saya bersyukur karena ia masih mau berkawan dengan saya hingga saat ini.  
Lebaran tahun ini benar-benar berbeda. Dia tidak berkirim ucapan Idul Fitri via SMS sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, melainkan kartu Lebaran. Yang istimewa, dia menyertakan pula potret keluarga kecilnya. Di balik kartu itu, dia menggoreskan janji untuk berkunjung ke kediaman saya di Surabaya. Kartu tersebut mampu membangkitkan kembali kenangan kami dulu. Posisinya mungkin kini tak bisa terganti oleh pesan singkat sekalipun.

Abang Becak yang Banting Setir Jadi Penulis


Oleh Eko Prasetyo

Salah satu sikap yang harus dimiliki seorang penulis adalah percaya diri. Ya, seorang penulis tidak boleh minder. Hal ini biasanya jamak dialami oleh penulis pemula yang berniat memublikasikan karyanya. Sikap minder itu lahir karena mereka harus bersaing dengan para penulis yang sudah punya nama. Inilah yang membuat penulis pemula terkadang belum siap menghadapinya. Ibarat kalah sebelum perang, hal inilah yang mesti dihindari oleh seorang penulis.
”Saya kan cuma lulusan SMA? Mana mungkin saya bisa bersaing dengan penulis terkenal dari kalangan yang berpendidikan lebih tinggi?” Keminderan seperti inilah yang mesti dibuang jauh-jauh bila seseorang hendak berniat memublikasikan karyanya.
Dalam Solilokui (1983), sastrawan Budi Dharma menekankan pentingnya sikap percaya diri dalam jiwa seorang penulis. Bahkan, dia menyebut penulis yang tak berusaha memublikasikan karyanya sama dengan (maaf) bermasturbasi. Ia hanya menulis dan menyunting naskahnya tanpa pernah berupaya untuk ”membagikannya” kepada pembaca lain.
Nah, minder adalah salah satu hambatan yang mesti dienyahkan manakala kita hendak memulai menulis dan memublikasikannya. Soal dimuat atau tidak karya tersebut, itu masalah belakangan. Yang penting, kita mengetahui dan mengalami proses tersebut secara langsung. Tidak dimuat bukan berarti kiamat bagi penulis.
Tak ada salahnya kita belajar pada Joni Ariadinata. Bagi penikmat sastra, nama tersebut tidak asing lagi. Dia kawan karib Agus Noor, cerpenis produktif asal Jogjakarta. Nama Joni melambung saat cerpennya yang berjudul Lampor menjadi cerpen terbaik Kompas pada 1994.
Joni merupakan salah satu figur sukses abang becak. Apa? Abang becak? Ya, sebelum menjadi penyair dan cerpenis terkenal, Joni pernah menekuni pekerjaan sebagai pengayuh moda transportasi tradisional beroda tiga itu.
Penyair Joko Pinurbo menggambarkan sosok si tukang becak tersebut dalam puisinya yang berjudul Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibarang Sarung.

Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibarang Sarung
...........
sampai di kuburan aku berseru bangun dong pak,
tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas tidurnya.
aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan
di atas makam nenek moyangku atau di atas jenazah
bang becak yang kesepian itu.

(Joko Pinurbo-GPU, 2002)

Agaknya, Joni perlu berterima kasih kepada Agus Noor. Sebab, dia sering ”memanas-manasi” lewat cerpen-cerpennya yang kerap nongol di koran dan majalah. Gara-gara itu pula, dua sahabat kental tersebut terlibat persaingan sehat: kompetisi berkarya! Joni tidak mau kalah dengan Agus Noor.
Tekat mau belajar dan tidak minder menyulut api kreativitas Joni. Bagi dia, kreativitas seorang penulis tidak boleh terdegradasi. Nyala kreativitas itulah yang terus diasah Joni. Hingga akhirnya, cerpen Lampor menjadi titik kulminasi kesuksesan si abang becak tersebut.
Semangat dan kesuksesan Joni menginspirasi banyak penulis. Salah satunya adalah Afifah Afra. Penulis buku remaja, novel, dan aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) itu mengungkapkan pengakuannya dalam buku How to be a Smart Writer (Afra Publishing). Perempuan bernama asli Yeni Mulyati itu cukup termotivasi oleh kisah sukses Joni Ariadinata hingga menelurkan puluhan buku dan banyak artikel di berbagai majalah. Afifah merupakan potret kecil yang memantulkan cahaya sukses Joni.
Sebuah pesan diberikan Joni dalam suatu pelatihan menulis. Dia menegaskan, para penulis muda harus terus bekerja keras dalam mengasah karya mereka. Sebab, jika sudah terbiasa menulis, feelling akan muncul dan suatu saat pasti akan lahir karya-karya terbaik.
Joni memang tidak lama bergelut dengan becak. Sukses keburu menjemputnya berkat tekat mau belajar dan sikap tak mau menyerah. Redaktur majalah Horison tersebut menginspirasi saya: berkali-kali. Dulu, saat masih berjualan kopi di sebuah jalan protokol di Surabaya, saya sempat membaca majalah sastra Horison yang saya beli dalam kondisi bekas di Jalan Semarang.
Kegiatan tersebut saya lakukan di sela-sela menunggu pelanggan yang hendak mampir untuk sekadar minum kopi di kedai kopi kami. Majalah itu masih ada hingga kini di sudut almari buku saya. Kala itu saya bergumam, kelak bakul kopi ini ingin bisa seperti Joni, mantan abang becak tersebut.  

Graha Pena, 12 Agustus 2010

Sumber bacaan:
1. Antologi Empati Jogja
2. Antologi Mahabah (Eko Prasetyo)
3. How to be a Smart Writer (Afifah Afra)
4. Penumpang Terakhir (Joko Pinurbo)
5. Solilokui (Budi Dharma)
6. Lampor (Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 1994)
7. Surat Kabar Riau Pos (kutipan liputan tentang Joni Ariadinata)
8. Surat Kabar Jawa Pos (arsip-arsip penulis sastra)

Sumber Online:

Dan Pelacur pun Menulis


Oleh Eko Prasetyo

Setiap kali ditanya soal pekerjaan oleh orang yang baru kenal, saya enggan berterus terang. Biasanya, saya berkelit dan mengalihkan pembicaraan. Saya malu jika sampai lawan bicara tahu bahwa saya cuma kuli serabutan. Kadang saya berdagang, tak jarang pula saya menulis demi sesuap nasi.
Menulis demi sesuap nasi? Ini bukan omong kosong. Kendati tidak mengeyam pendidikan tinggi, saya sadar bahwa menulis merupakan lahan yang potensial untuk digarap. Lebih dari itu, menulis tidak harus identik dengan pendidikan tinggi, bukan?
Sirikit Syah, pengamat media dan pendiri Media Watch, mengatakan bahwa menulis itu membebaskan. Saya setuju seratus persen dengan pendapat tersebut. Nyata-nyata saya belajar banyak dari mantan wartawan senior yang artikel-artikelnya kerap mewarnai berbagai media massa nasional tersebut.
Suatu ketika, saya berkunjung ke kediaman Sirikit di kawasan Rungkut Asri, Surabaya. Setiba di rumahnya yang sejuk, beliau menjamu dengan sangat ramah. Saya ingat betul bahwa jamuan pertama yang saya dapatkan adalah buku! Ya, saya dipersilakan membaca buku-buku yang tergeletak di atas sofa dan meja ruang tamu. Di sela-sela perbincangan, saya diperlihatkan perpustakaan pribadi Sirikit Syah. Mengesankan.
Tidak ada yang lebih berkesan dari ilmu yang saya dapatkan dalam kunjungan itu. Sirikit adalah sedikit di antara banyak orang yang mendapatkan penghasilan dari menulis. Namun, Sirikit mengaku menulis bukan untuk mencari materi. Bagi Sirikit, yang terutama adalah menulis untuk menyampaikan kebaikan. Dakwah. Ah, saya benar-benar beruntung bisa sowan ke wanita hebat itu.
Dari situ, saya berjanji untuk belajar menulis secara baik. Saya mulai mengumpulkan modal utamanya: membaca. Sebab, bagaimanapun menulis tanpa membaca dan sebaliknya akan terasa hambar. Buku apa saja saya baca. Kalaupun tidak bisa membelinya karena tongpes, saya mendatangi perpustakaan daerah di dekat kampus Stiesia Surabaya. Buku-buku sejarah di tempat kerja saya pun tak luput dari buruan saya.
Sebuah motivasi menulis saya dapatkan dari pengalaman seorang pelacur. Yakni, Carla van Raay. Wanita asal Tilburg, Belanda, tersebut menuturkan kisah hidupnya yang berliku-liku hingga terdampar sebagai wanita penghibur yang tidur dari pelukan lelaki ke lelaki lain. Hal tersebut dimulai saat dia memutuskan hijrah ke Australia. Itu terjadi setelah usia 12 tahun, sesudah dia ”dijamah” oleh ayah kandungnya.
Sebagai penganut Katolik, sejak usia 18 tahun Carla memutuskan menjadi biarawati. Hingga akhirnya, pada usia 31 tahun, dia memilih ”bebas.” Namun, kebahagiaan seolah menjauh dari Carla. Bahtera rumah tangganya dengan James, si tukang listrik, kandas. Hingga akhirnya, Carla berlabuh di sebuah rumah bordil yang berkedok agen pelayanan jasa.
Cerita-cerita yang mengharukan mengalir deras dalam buku yang berjudul Sang Pelacur Tuhan (God’s Callgirl) terbitan Voila Books (2004) itu. Pada ujung cerita, si pelacur memaafkan tindakan bejat sang ayah pada masa lalu. Ini dilakukan manakala dia ”terjebak” dalam lumpur gelap bernama prostitusi. Sikap terpuji dan terhormat tersebut diungkapkannya dengan tegas.
”Kau kini mati. Tak mengapa. Tak mengapa kau mencintai sebaik yang kau ketahui dan tak bisa memenuhi harapanku. Tak apa-apa. Kini kau adalah malaikat istimewaku. Aku haturkan terima kasihku padamu, papa tercinta” (halaman 585).
Sungguh, saya belajar banyak pada Carla, ”Sang Pelacur Tuhan”. Belajar jujur, terbuka, dan berani. Dia bangun kehormatan kembali dengan menuliskan kisahnya secara jujur dan apa adanya. Keberaniannya menuangkan setiap kisah pahit membuka hikmah bahwa setiap orang tidak boleh menyerah pada cobaan. Dan itu diungkapkannya lewat tinta pena yang terapung di atas ratusan lembar kertas yang tengah saya baca. Sebuah cermin dan motivasi.  

365 Hari = 1 Buku


Oleh Eko Prasetyo


Menulis buku sulit? Mulai sekarang enyahkan stigma itu. Sebab, dari hal yang sederhana dan pengalaman pribadi saja bisa dijadikan sebuah buku. Syaratnya: mau dan mampu. Mau dalam arti punya kemauan keras untuk belajar, kemauan menghadapi segala tantangan dan hambatan, serta kemauan menjadi lebih baik. Jika semua itu sudah dilalui, niscaya kemampuan akan mengiringi.
Tapi, menulis buku itu kan sulit, apalagi jika nggak nemu-nemu inspirasi. Ya, dalam kondisi tertentu, menggaet inspirasi memang tidak mudah. Karena itu, seorang penulis butuh berkontemplasi: merenung serta menenangkan hati dan pikiran.
Tak bisa dimungkiri, kontemplasi bisa menjadi pengusir kepenatan sejenak. Sebab, otak bakal sulit diajak berkompromi bila berada dalam kondisi kelelahan. Bisa saja mengetik berjam-jam tapi tulisan yang dikehendaki tak kunjung rampung. Jika kelelahan, tak perlu memaksakan diri untuk menulis.
Dalam masa perenungan tersebut, kita berusaha mengembalikan kejenuhan hingga mencapai titik nol. Setelah tubuh dan otak segar kembali, kita dapat melanjutkan aktivitas menulis. Lantas, apa saja yang mesti dilalui ketika hendak menulis buku?  
Siapa pun bisa menulis. Tapi, untuk menulis bagus, belum tentu tiap orang dapat melakukannya. Karena itu, tahapan menulis tersebut perlu dilalui. Tahapan pertama tentu saja melalui hal yang dianggap paling mudah. Menuangkan atau menuliskan pengalaman dan perasaan termasuk dalam kategori ini. Misalnya, artikel refleksi dan kisah nyata si penulis atau orang lain. Biasanya, bahasa yang digunakan di sini tidak terlalu kaku, cair, dan lugas. Bahkan, si pengarang dapat menulis dengan menggunakan bahasa cakapan atau gaul.
Tahapan selanjutnya adalah menulis artikel yang lebih ilmiah. Sudah tentu tahapan ini lebih sulit. Sebab, si penulis dituntut untuk memiliki data yang faktual, analisis yang mendalam, dan bahasa ilmiah populer. Soal tahapan ini tidak akan dibahas panjang lebar di sini.
Kembali ke tahapan yang termudah, banyak kok penulis atau bloger yang menuai sukses sebagai penulis buku melalui tahapan itu. Umumnya, mereka menuliskan pengalaman yang unik, aneh, lucu, mengharukan, dan sebagainya. Bahkan, kadang tema yang diangkat mungkin terkesan remeh-temeh bagi orang lain. Contohnya, Raditya Dika (penulis buku Kambing Jantan), Ahmad Fuadi (Negeri 5 Menara), Asma Nadia (Catatan Hati Seorang Istri), Ria Fariana (Be A Smart Girl), dan banyak lagi.
Beberapa kalangan menyebut, saat ini merupakan era kebangkitan buku. Benar atau tidak data tersebut, setidaknya banyak penulis baru yang hadir memberikan sinyal positif bagi dunia buku di Indonesia.  
Menulis buku pun tidak lagi dipandang sebagai sebuah sambilan. Seorang sahabat saya, Ria Fariana, penulis dan aktivis Forum Lingkar Pena (FLP), bahkan rela keluar dari pekerjaan yang menjajikan penghasilan tetap dan mapan. Dia lebih memilih menjadi penulis buku. Menulis dijadikannya sebuah profesi. Kiranya, banyak orang yang sejalan dengan pemikiran Ria.
Satu tahun terdiri atas 365 hari. Seandainya kita menulis satu lembar saja sehari, dalam setahun akan terkumpul 365 lembar. Dan itu sudah bisa dijadikan buku. Ya, satu hari satu lembar tulisan. Silakan tuliskan apa saja, bisa unek-unek atau bahkan curahan hati. Buatlah alur sedemikian rupa agar menjadikannya sebuah cerita yang menarik dan menggugah. Terlalu lama menunggu 365 hari? Jawabnya: itu tergantung pada sebesar apa kemauan dan usaha Anda. Bisa saja 365 lembar rampung dalam waktu tiga bulan, dua bulan, atau bisa saja cuma dua minggu. Satu hal yang pasti: sukses itu tidak instan.

Graha Pena, 6 Agustus 2010

Karya ”Tulis” TKW Indonesia di Hong Kong


Oleh Eko Prasetyo

Pada 18 Agustus 2010, saya dihubungi seorang kawan perempuan yang bekerja di Hong Kong. Dia pemimpin redaksi (pemred) sebuah majalah Islami yang terbit di sana.
Setelah ngobrol singkat via chat, pemred majalah Nur Muslimah itu bermaksud meminta saya untuk menyumbangkan tulisan. Temanya tentang Lebaran dan refleksi pasca-Ramadan. Saya menyanggupinya.
Setelah saya kirim artikel itu lewat e-mail, saya mendapatkan balasan berupa file PDF majalah tersebut. Saya diminta untuk memberikan masukan seputar bentuk, isi, dan kiat untuk mempertahankan eksistensi majalah tersebut. Kami bertukar pendapat dan berdiskusi cukup lama. Mulai membahas fisik majalah, rubrik yang cocok untuk segmen pembaca di Hong Kong, hingga strategi menggaet iklan.
Saya memuji adanya Nur Muslimah di Hong Kong. Meski pangsa pasarnya baru mencakup para tenaga kerja wanita asal Indonesia yang bekerja di sana, Nur Muslimah bisa menjadi oase bagi mereka. Apalagi, rubrik-rubriknya cukup bagus. Karena itu, saya tidak menampik tawaran untuk menulis di majalah tersebut.
Pujian pantas saya sematkan kepada awak redaksi Nur Muslimah. Betapa tidak, mereka rata-rata adalah TKW juga. Bahkan, kegiatan mengelola majalah bulanan itu dilakukan setelah mereka bekerja. ”Kami ini cuma babu,” ujar sang pemred merendah.
”Tidak, tidak. Anda sangat hebat. Me-manage waktu seperti itu tidak mudah. Pagi bekerja ikut majikan, sore menulis dan menyiapkan rubrikasi serta mengelola redaksi. Itu sangat tidak mudah. Tapi, Anda berhasil melakukannya,” kata saya meneguhkan semangatnya.
Kami sebenarnya kenal cukup lama. Awalnya, dia memperkenalkan diri sebagai pembaca sebuah media online Islam. Dia mengaku sering membaca tulisan-tulisan saya di salah satu rubrik pada salah satu media online Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Dari situ, kami mulai akrab dan beberapa kali berdiskusi soal dunia tulis-menulis. Berdasar keterangannya, cukup banyak TKW di Hong Kong yang rajin menulis. Mereka rata-rata memiliki kemampuan bahasa Inggris yang cukup baik. Di sela-sela rutinitas pekerjaan sebagai pekerja swalayan, pembantu rumah tangga, dan lain-lain, mereka masih menyempatkan diri untuk membaca. Kini salah satu komunitas menulis telah didirikan di sana. Yakni, Forum Lingkar Pena cabang Hong Kong.
Rubrik demi rubrik dari majalah itu saya lahap cepat. Di sela-sela membaca tersebut, saya masih menyimpan kekaguman terhadap kawan tadi. Mereka mengaku memulai dari  nol. Mulai belajar komputer, berselancar di dunia maya, dan belajar me-lay out majalah. Mereka juga mengisi beberapa rubrik. Dunia menulis pun kian akrab dengan mereka. Pahlawan devisa itu seolah membuktikan bahwa mereka tak pantas diremehkan. Menulis membuat mereka terhormat. Salut!

Graha Pena, 6 September 2010



Honor Nulis Cuma Rp 100 Ribu, Mau?


Oleh Eko Prasetyo

Menulis artikel ilmiah alias opini di media massa memiliki beberapa keuntungan. Yang utama tentu saja dapat honor dari tulisan yang dimuat. Manfaat lainnya, nama kita akan nongol dan otomatis itu menguntungkan dari sisi popularitas. Selain itu, kita bisa menambah banyak teman atau relasi apabila tulisan kita dibaca banyak orang dan dikomentari. Menulis di koran juga merupakan lahan untuk mengasah kemampuan berpikir kritis terhadap suatu masalah yang aktual dan memberikan solusinya.
Namun, tak mudah menembus media massa. Ibarat kompetisi, persaingan agar tulisan bisa dimuat sangat ketat. Jika mengirimkannya ke surat kabar atau majalah, kita akan bersaing dengan kaum intelektual seperti akademisi dan pengamat ahli. Banyak pula penulis ternama dari kalangan ulama, anggota dewan, serta pakar ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Karena itu, dibutuhkan kiat khusus untuk menembus surat kabar.
Ada saran bagi penulis pemula yang akan mengirimkan karyanya ke sebuah media, terutama koran. Yakni, kirimkan karya tulis tersebut ke koran lokal dulu, jangan buru-buru mengirimkannya ke koran nasional. Mengapa? Ada beberapa alasan.
Pertama, peluang dimuatnya di koran lokal lebih tinggi ketimbang koran nasional.
Kedua, koran nasional bakal memprioritaskan penulis ternama atau yang familier di kalangan masyarakat pembaca. Peluang dimuat untuk penulis pemula sih tetap ada, tapi proses seleksinya bakal sangat ketat.
Ketiga, biasanya koran lokal lebih memberikan kesempatan bagi penulis baru. Ini celah yang semestinya dimanfaatkan oleh penulis pemula yang ingin menembus surat kabar.
Keempat, isu lokal tentu saja bisa dimanfaatkan sebagai jembatan bagi penulis pemula sebelum melangkah ke isu nasional. Umumnya, isu nasional yang aktual lebih banyak diangkat oleh penulis. Karena itu, persaingan tentu sangat ketat selain adanya prioritas untuk penulis yang sudah punya nama.
Berdasar pengalaman saya, menulis di surat kabar lokal tak kalah menjanjikan. Namun, jangan berharap tinggi untuk urusan honor jika tulisan Anda dimuat di koran lokal. Sebab, ada surat kabar lokal yang masih memberikan honor Rp 100 ribu untuk tulisan opini yang dimuat. Itu masih mending. Kadang ada penulis yang mesti menarik urat leher alias ngejar-ngejar ke redaksi sebuah koran lokal demi mendapatkan honor. Itu terjadi setelah lebih dari sepuluh hari honor tulisannya tidak ditransfer.
Bagi saya, tak masalah jika hanya mendapatkan honor Rp 100 ribu. Sebab, toh dengan dimuatnya tulisan saya, saya mendapatkan banyak manfaat. Paling tidak, saya bisa membuktikan eksistensi di dunia kepenulisan.
Menulis bukan melulu soal honor. Lebih dari itu, saya mendapatkan kepuasan lebih dari honor Rp 100 ribu untuk tiap artikel saya yang dimuat di koran lokal. Setidaknya, orang bisa membaca gagasan-gagasan saya. Otomatis, hal tersebut bisa memengaruhi publik tentang isu yang kita angkat dalam artikel opini.
Mungkin, saya tidak akan bisa kaya hanya dengan Rp 100 ribu itu. Namun, upaya untuk memberikan manfaat kepada orang lain lewat tulisan bisa menepis hal tersebut. Berbuat baik bisa dilakukan lewat media apa saja, termasuk tulisan. Mau?

Graha Pena, 6 Agustus 2010