Karya ”Tulis” TKW Indonesia di Hong Kong


Oleh Eko Prasetyo

Pada 18 Agustus 2010, saya dihubungi seorang kawan perempuan yang bekerja di Hong Kong. Dia pemimpin redaksi (pemred) sebuah majalah Islami yang terbit di sana.
Setelah ngobrol singkat via chat, pemred majalah Nur Muslimah itu bermaksud meminta saya untuk menyumbangkan tulisan. Temanya tentang Lebaran dan refleksi pasca-Ramadan. Saya menyanggupinya.
Setelah saya kirim artikel itu lewat e-mail, saya mendapatkan balasan berupa file PDF majalah tersebut. Saya diminta untuk memberikan masukan seputar bentuk, isi, dan kiat untuk mempertahankan eksistensi majalah tersebut. Kami bertukar pendapat dan berdiskusi cukup lama. Mulai membahas fisik majalah, rubrik yang cocok untuk segmen pembaca di Hong Kong, hingga strategi menggaet iklan.
Saya memuji adanya Nur Muslimah di Hong Kong. Meski pangsa pasarnya baru mencakup para tenaga kerja wanita asal Indonesia yang bekerja di sana, Nur Muslimah bisa menjadi oase bagi mereka. Apalagi, rubrik-rubriknya cukup bagus. Karena itu, saya tidak menampik tawaran untuk menulis di majalah tersebut.
Pujian pantas saya sematkan kepada awak redaksi Nur Muslimah. Betapa tidak, mereka rata-rata adalah TKW juga. Bahkan, kegiatan mengelola majalah bulanan itu dilakukan setelah mereka bekerja. ”Kami ini cuma babu,” ujar sang pemred merendah.
”Tidak, tidak. Anda sangat hebat. Me-manage waktu seperti itu tidak mudah. Pagi bekerja ikut majikan, sore menulis dan menyiapkan rubrikasi serta mengelola redaksi. Itu sangat tidak mudah. Tapi, Anda berhasil melakukannya,” kata saya meneguhkan semangatnya.
Kami sebenarnya kenal cukup lama. Awalnya, dia memperkenalkan diri sebagai pembaca sebuah media online Islam. Dia mengaku sering membaca tulisan-tulisan saya di salah satu rubrik pada salah satu media online Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Dari situ, kami mulai akrab dan beberapa kali berdiskusi soal dunia tulis-menulis. Berdasar keterangannya, cukup banyak TKW di Hong Kong yang rajin menulis. Mereka rata-rata memiliki kemampuan bahasa Inggris yang cukup baik. Di sela-sela rutinitas pekerjaan sebagai pekerja swalayan, pembantu rumah tangga, dan lain-lain, mereka masih menyempatkan diri untuk membaca. Kini salah satu komunitas menulis telah didirikan di sana. Yakni, Forum Lingkar Pena cabang Hong Kong.
Rubrik demi rubrik dari majalah itu saya lahap cepat. Di sela-sela membaca tersebut, saya masih menyimpan kekaguman terhadap kawan tadi. Mereka mengaku memulai dari  nol. Mulai belajar komputer, berselancar di dunia maya, dan belajar me-lay out majalah. Mereka juga mengisi beberapa rubrik. Dunia menulis pun kian akrab dengan mereka. Pahlawan devisa itu seolah membuktikan bahwa mereka tak pantas diremehkan. Menulis membuat mereka terhormat. Salut!

Graha Pena, 6 September 2010



Tidak ada komentar: