Fullday School


Oleh Eko Prasetyo

Saya memintai pendapat orang tua murid dan praktisi pendidikan tentang fullday school. Ini terkait dengan masih adanya pro kontra soal konsep fullday. Yang kontra menyebut bahwa fullday school memenjara siswa. Sedangkan yang pro lebih memandang bahwa siswa banyak mendapatkan manfaat di sekolah berkonsep fullday, tentu dengan pembelajaran yang menyenangkan. Berikut kutipan komentar sebagaimana dikutip dari akun Facebook saya.

Fullday benar-benar bisa mencetak anak menjadi anak yang mandiri, pandai bersosialisasi, hebat dalam agama, dan lebih menguasai pelajaran.”
Saptari Winedar, orang tua siswa dan pendidik

”Dua anak saya (kelas 3 SD dan 5 SD) ikut full day school. Yang kelas 1 nanti naik kelas 2 SD juga full day dan itu bagus-bagus saja.”
Mohammad Ihsan, Sekjen Ikatan Guru Indonesia (IGI)

”It’s ok Mas Eko, as long as the school can manage the activities to become the excited ones instead to fatigue them all...”
Nina Feyruzi, guru kelas super SMAN 3 Jakarta

“Anak juga perlu belajar bersosialisasi dengan lingkungan. Mereka perlu mendapat pelajaran bertetangga yang baik, memilih lingkungan yang baik, mengendalikan emosi dalam dunia luar yang heterogen, dsb. Saya rasa, pendidikan seperti itu sulit didapat di sekolah yang sekolah yang cenderung homogen.”
Asep Suhendar, guru SMPN 3 Langkaplancar, Ciamis

Fullday bisa menjadi menjenuhkan/membosankan bagi guru dan siswa kalau guru kurang bervariasi dalam mengajar dan mendidik siswa. Walaupun sekolah kami fullday, tidak melulu pelajaran di bangku kelas terus dari pagi sampai sore. Pagi sampai siang pelajaran reguler seperti sekolah umumnya dan siangnya kegiatan ekstrakurikuler/pelajaran yang santai dan menyenangkan.
Yusuf Mansur, Wakasek SMPIT Nur Hidayah Solo

****

Saat ini, cukup banyak –dan mudah ditemui– pasangan suami istri yang bekerja di kantor. Sedangkan putra-putri mereka ditinggal di rumah. Anak-anak bersekolah mulai pagi hingga siang. Setelah itu, mereka berada di rumah sampai sore tanpa mendapatkan  bimbingan dan pengawasan yang memadai.
Nah, yang membimbing dan mengawasi anak-anak tersebut adalah pembantu rumah tangga. Di sisi lain, tugas mengantar dan menjemput biasanya diserahkan kepada tukang becak langganan. Namun, bagi keluarga yang tidak berpunya dan tidak ada pembantu di rumah, otomatis sepulang  sekolah anak-anak itu terjun bebas ke lingkungan sekitar. Mereka bertemu dengan teman sebaya, bermain di sungai, atau bermain PlayStation (PS). Atau, kalau tidak, mereka akan menghabiskan waktu di depan televisi.
Dengan demikian, dampak negatif yang bakal menimpa perkembangan mental mereka dapat dikalkulasi. Dari kondisi  itu, ditemukan tiga unsur yang ”mendidik” mereka sepulang sekolah sampai orang tua mereka pulang ke rumah. Tiga unsur  tersebut adalah pembantu  rumah tangga, televisi, dan tetangga atau lingkungan. 
Pertanyaannya, sudah layakkah tiga unsur itu diserahi proyek bimbingan dan pengawasan  anak? Apakah para pembantu itu sudah memiliki kualitas sebagai seorang pembimbing yang bagus. Sudahkah mereka dibekali ilmu pendidikan dan  psikologis? Apakah acara  televisi juga aman seratus persen bagi anak-anak kita? Bagaimana pula kualitas lingkungan sekitar.
Jawaban  atas pertanyaan-pertanyaan itu dapat dipastikan mayoritas negatif. Hanya  masyarakat di daerah tertentu yang memiliki tingkat responsif tinggi. Namun, untuk kebanyakan daerah di Indonesia, kondisinya masih sama: tidak kondusif bagi pendidikan anak. Bahkan, kecenderungannya bisa lebih buruk.
Jika demikian, kebutuhan akan sekolah-sekolah yang menyelenggarakan proses belajar mengajar (PBM) sampai sore hari adalah mutlak. Masyarakat mengenalnya sekolah sehari penuh atau fullday school. Dengan sekolah model fullday, pengawasan  dan pembimbingan anak berada di tangan para guru yang secara umum lebih terdidik daripada pembantu rumah tangga. Rata-rata pendidikan para guru sekarang S-1, bahkan tak sedikit yang sudah mengenyam S-2 (pascasarjana).
Menurut praktisi pendidikan A. Munir, jangan sekali-sekali memahami makna fullday semata-mata sebagai risiko penambahan materi pelajaran waktu akibat dari penambahan  materi pelajaran. Karena jumlah mata pelajaran yang lebih banyak daripada sekolah umum, waktu belajarnya ditambah. Jika ini yang dipahami, fullday school akan menjadi beban berat bagi siswa. Mereka akan berada di kelas mulai pagi hingga sore hari. Ini tentu tidak menguntungkan.
Dengan lamanya anak-anak berada di sekolah, para guru bisa mendampingi mereka salat berjamaah, makan siang, bermain, dan aktivitas lainnya sebagaimana kegiatan yang mereka lakukan di rumah. Tentu saja semua aktivitas itu diarahkan pada nilai-nilai pendidikan. ”Belajar sambil bermain” atau “belajar dengan berbuat dan melakukan”-lah yang lebih ditonjolkan.
Selain para guru dan pengelola sekolah, para orang tua adalah pihak berikutnya yang harus dipahamkan soal ini. Jika tidak, mereka akan banyak melakukan protes. Jangan sampai orang tua memasukkan anak mereka ke fullday school karena menginginkan si anak mendapatkan porsi belajar lebih banyak sehingga si anak lebih pintar dibandingkan anak yang belajar di sekolah biasa. 
Pemberian materi pelajaran lebih banyak boleh diberikan, asal dibarengi dengan pembelajaran yang baik dan variatif serta lingkungan sekolah yang kondusif untuk perkembangan sosial emosional anak. Sebab,  anak-anak bukanlah kerangjang sampah.

Graha Pena, 1 September 2010


Tidak ada komentar: