Catatan untuk Puisi Chairil Anwar


Oleh Eko Prasetyo


Artikel saya yang bertajuk Karya Plagiat Paling Legendaris di Indonesia menuai berbagai respons dan komentar di Kompasiana. Ada yang menilai bahwa judul itu terlalu provokatif. Mungkin, karena faktor itu pula, artikel tersebut menjadi headline di Kompasiana pada Jumat malam (3/9/2010).
Bahkan, ada Kompasianer yang menilai saya telah menyebarkan fitnah karena menyebut Chairil Anwar menjiplak dalam puisinya, Krawang-Bekasi. Untuk itu, saya mencoba menguraikan data-data berdasar literatur sastra dan mengimbangkannya dengan uraian tokoh sastra.
Dalam buku Chairil Anwar Pelopor ’45 (CAP, 1968), H.B. Jassin mengategorikan sajak-sajak Chairil ke dalam sajak asli, sajak saduran, sajak terjemahan, dan sajak yang menerima pengaruh (Edisi Kritis Puisi Chairil Anwar, Dian Pustaka: 1996). Dalam CAP III, disebutkan ada 12 sajak terjemahan karya Chairil.
Di antaranya, Hari Akhir Olanda di Jawa dari Max Havelaar karya Multatuli, Somewhere dari De Brug-Djambatan karya E. Du Perron, Jenak Berbenar dari Ausgewahlte Gedichte karya R.M. Rilke, dan Datang Dara Hilang Dara dari karya Hsu Chih-Mo dari Tiongkok.
Namun, ada pendapat berbeda dari Asrul Sani, sahabat dekat Chairil Anwar. Menurut Asrul Sani yang termasuk trio “Tiga Menguak Takdir” bersama Chairil dan Rivai Apin sekaligus sesama pelopor Angkatan ’45, sebagai sastrawan wajar bila Chairil membaca karya orang lain. Dijelaskan Asrul, sebagai penyair yang punya kepekaan ungkapan-ungkapan puisi, wajar pula bila Chairil terpukau oleh karya orang lain.
Dikutip dari majalah Tempo (1990:47), Asrul Sani mengatakan sebagai berikut. ”Dia (Chairil Anwar, Red) cepat sekali menghafal sajak. Seperti karet busa. Cuma beberapa menit baca, langsung hafal. Jadi, kalau dalam puisinya kita temui unsur-unsur puisi lain, tidak kita katakana, dengan sadar dia mengambilnya. Sebab, dia itu ibarat kutu buku yang kena racun.”
Namun, pembelaan Sani menuai tanggapan dari berbagai pelaku seni dan penikmat sastra. Beberapa pihak bahkan mencurigai bahwa puisi-puisi Chairil Anwar merupakan saduran. Hal ini lantas mendapatkan perhatian dari H.B. Jassin yang dikenal sebagai kawan karib Chairil.
Dalam CAP (1968), H.B. Jassin mendaftarkan sepuluh sajak Chairil yang mengandung unsur pengaruh dari beberapa pihak yang memberitahukan. Atas tanggapan itu, Jassin memberikan dua macam tanggapan: setuju dan tidak setuju. Di luar informasi Jassin, di majalah Horison pada 1967, J.E. Tatengkeng menunjukkan adanya unsur saduran dalam sajak Chairil yang bertajuk Di Mesjid dan Taman.
Lima di antara sepuluh sajak yang diduga menyadur dikuatkan H.B. Jassin. Tiga di antara lima sajak tersebut ditunjukkan oleh Slamet Muljana. Misalnya, Kepada Kawan dari dua penyair Belanda, yakni In Memoriam Minjzelf karya Marsman dan De Hand van den Dichter karya Slauerhoff.
Menilik itu, pada masa 1960-an, banyak pengamat sastra yang menanyakan kesahihan puisi-puisi Chairil Anwar. Karena itu, H.B. Jassin sebagai kawan dekat Chairil (mereka berkenalan sejak pendudukan Jepang) merasa perlu mengeluarkan pembelaan dengan caranya sendiri (Sapardi Djoko Damono, Tempo, April 2010).
Kata saduran sendiri juga menuai kontorversi di berbagai kalangan pencinta sastra. Sebagian pihak menilai, H.B. Jassin membela puisi-puisi Chairil Anwar dengan menyebut kata ”menyadur” (CAP, 1968). Sebagian lain tak sepakat dengan pendapat tersebut.
Pendapat lain disampaikan penyair Sapardi Djoko Damono. Dia memberikan paparan sebagai berikut. ”Ia (Chairil) mengarahkan pandangannya ke Barat; di sana ditemukannya Lorca, Du Perron, Marsman, Rilke, dan Eliot. Dalam sajak-sajak karya para penyair itulah ia menemukan apa yang dicarinya. Ia pun menerjemahkan, menyadur, dan mencurinya. Proses itulah ternyata yang telah memberinya jalan untuk menciptakan gaya baru pada bahasa Indonesia. Pengalaman dan emosi yang ada dalam sajak-sajak asing itu dipindahkan ke habitatnya yang baru, bahasa Indonesia.” (Tempo, 24/4/10).
Kata sadur dan jiplak memang memiliki makna yang berbeda (Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI). Namun, dalam bahasa sastra, dua kata tersebut sangat mungkin bisa dikaitkan satu sama lain. Dalam hal ini H.B. Jassin pernah membela habis-habisan Chairil tentang tuduhan banyak orang yang menyatakan dan membuktikan bahwa karya penyair itu adalah plagiat. (baca: http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/message/88813). Pembelaan itu dituangkan dalam buku Chairil Anwar Pelopor 45.
Atas tuduhan semacam itu, Jassin membelokkan perkara dari masalah moral kepada masalah sastra. Yakni, kredibilitas Chairil Anwar sebagai penyair ditentukan oleh kreativitas sastranya, bukan pertimbangan moralnya ketika melakukan tindakan yang membuat sebagian karyanya disebut plagiat.
Mengikuti logika Jassin, moralitas adalah urusan manusia dengan hati nuraninya sendiri, tetapi pekerjaan sastra Chairil adalah urusan kritikus sastra untuk menunjukkan duduk perkaranya sebagai perkara sastra. (baca: http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/message/88813).
Ia wafat lebih dulu sebelum sempat memberikan tanggapan atas munculnya kontroversi tentang karya-karyanya. Meski demikian, persoalan karya orisinalitas belum begitu terekspos pada zaman itu seperti sekarang. Terlepas dari segala kontroversi itu, Chairil Anwar tetap menjadi salah satu ikon sastra Indonesia. Indonesia patut bangga memiliki penyair nasionalis yang hebat seperti dia. Charil adalah sejarah puisi Indonesia. Sebagaimana dikatakan sastrawan Sapardi Djoko Damono, bahasa puisi Chairil Anwar tetap menjadi masa depan bagi penyair Indonesia.

Graha Pena, 4 Agustus 2010

Sumber bacaan:
Ilham, Zaenal. 1996. Edisi Kritis Puisi Chairil Anwar. Jakarta: Dian Rakyat.
Jassin, H.B. 1968 (cetakan III). Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Jakarta: Gunung Agung.
Kratz, Ernst Ulrich. Bibliografi Karya Sastra Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sumber internet:

Tidak ada komentar: