Yang Tak Terganti


Oleh Eko Prasetyo

Perkembangan teknologi seolah berkejar-kejaran dengan waktu. Cepat. Tak bisa dimungkiri, kemajuan teknologi membawa manfaat yang tak sedikit bagi peradaban abad ini. Namun, bagi saya, ada yang tidak bisa terganti oleh teknologi. Salah satunya, kartu ucapan Lebaran.
Itu adalah satu-satunya kartu Lebaran yang mampir ke kediaman saya. Sebab, ucapan selamat ber-Idul Fitri kebanyakan saya terima lewat pesan pendek (SMS) dan e-mail. Di tengah era digital seperti sekarang, kartu Lebaran seakan terlupakan. Ia dianggap tak praktis dan tak secepat pengiriman pesan pendek via ponsel. Tergerus.
Kartu Lebaran tersebut betul-betul terasa istimewa bagi saya. Sebab, ia dikirim oleh teman dari Ponorogo, Jawa Timur. Sejatinya, dia tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan saya. Namun, saking dekatnya, dia seperti saudara kandung saya. Kadang, orang lain memang bisa menjadi saudara, sedangkan saudara bisa seperti orang lain.
Dia adalah rekan saya saat kami masih sama-sama membuka kedai kopi di Surabaya. Dia hanya tamatan madrasah tsanawiyah (MTs). Namun, keramahan, kecekatan, dan kerja kerasnya membuat kami langsung cocok. Ada sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Itu terjadi ketika kami dikejar-kejar petugas satpol pamong praja (PP) karena dianggap berjualan di pinggir jalan protokol. Kami bisa menyelamatkan gerobak, tapi ember dan kompornya tertinggal. Sejak itu, kami tak berani berjualan di tepian jalan protokol.
***
Suatu malam, rekan saya tersebut ditelepon oleh kerabatnya. Dia mendapatkan kabar bahwa pamannya dirawat inap di RSUD dr Soetomo Surabaya. Sang paman barusan dirujuk dari RSUD dr Soedono Madiun. Ada benjolan besar di lehernya sehingga harus dioperasi. Karena itu, ia dirujuk ke rumah sakit milik Pemprov Jatim tersebut.
Saya buru-buru menyarankan kepada rekan saya itu untuk langsung menjenguk sang paman. ”Warungnya ditutup ae,” tegas saya. Meski agak berat, dia akhirnya mengiyakan saran saya. Dengan sepeda motor butut saya (Honda Supercup keluaran 1981), kami bergegas ke RSUD dr Soetomo. Sesampai di sana, ternyata sang paman hanya sendirian. Tidak ada kerabat yang mengantarnya. Malam itu, kami menjaganya. Empat hari setelahnya, sang paman wafat. Benjolan itu ternyata kanker. Setelah itu, teman saya tersebut pulang ke Ponorogo. Kedai kopi tersebut pun tinggal memori.
***
Lebih dari tujuh tahun sejak peristiwa itu, saya belum pernah bersua lagi. Selama ini kami hanya menjalin komunikasi lewat ponsel. Dia kini telah menjadi pengusaha sayur sukses di desanya. Sedangkan saya masih tetap berkutat dengan sapu dan pel. Kendati begitu, saya bersyukur karena ia masih mau berkawan dengan saya hingga saat ini.  
Lebaran tahun ini benar-benar berbeda. Dia tidak berkirim ucapan Idul Fitri via SMS sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, melainkan kartu Lebaran. Yang istimewa, dia menyertakan pula potret keluarga kecilnya. Di balik kartu itu, dia menggoreskan janji untuk berkunjung ke kediaman saya di Surabaya. Kartu tersebut mampu membangkitkan kembali kenangan kami dulu. Posisinya mungkin kini tak bisa terganti oleh pesan singkat sekalipun.

Tidak ada komentar: