Puasanya Bapak


Catatan Eko Prasetyo
 
Gambar: Google
Sungguh orang ini baik betul. Baik perangai maupun tutur katanya. Tipikalnya suka memberikan nasihat kepada para pemuda setempat. Kebapakan. Saya tak tahu namanya. Saya mengenalnya sebagai pemilik warung kopi yang kerap saya singgahi ketika menunggu waktu menjemput istri pulang mengajar.

Kendati belum tahu namanya, kami seolah akrab sekali seperti bapak dan anak sendiri. Dari istrinya, saya tahu bahwa lelaki tua ini menderita sakit ginjal. Dalam sebulan sekali, ia dengan diantar istrinya check up rutin ke RSUD dr Soetomo, Surabaya. Jarak yang ditempuh cukup jauh, dari Sidoarjo ke Surabaya. Kendati demikian, itu tetap dijalani mengingat peralatan di RSUD dr Soetomo sudah memadai.

Pesan di Jumat Terakhir Ramadan


Catatan Eko Prasetyo


Gambar: Google
Siang di perempatan dekat pos polisi Sepanjang, Kecamatan Taman, Sidoarjo. Masih pagi, sekitar pukul 06.00. Motor yang saya naiki bersama istri berhenti saat lampu merah menyala. Kami baru belanja dari Pasar Sepanjang dan bermaksud pulang ke arah Sukodono.

Saat lampu hijau menyala, bersamaan dengan itu dari arah timur sebuah bus jurusan Jogja melaju dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba sebuah motor yang dikendari seorang perempuan menyenggol badan kiri bus itu. Lajunya lumayan kencang. Alhasil, dia terpental jatuh dari motornya.

Jatah Sahur dari Office Boy

Catatan Eko Prasetyo
editor Jawa Pos

Gambar: Google
Tak bisa dimungkiri, sifat serakah sangat lekat dengan manusia. Inilah yang sering saya alami sendiri. Secara sadar atau tidak, saya kadang bersikap serakah. Misalnya, ikut berebutan hadiah makanan bersama teman-teman. Gropyokan rame-rame.

Saya kadang bisa dapat banyak makanan. Padahal, satu saja bisa bikin perut kenyang. Ah, getun dan malu rasanya.

Kali ini saya seolah mendapat peringatan dari-Nya. Sebuah pelajaran yang diberikan oleh seorang petugas kebersihan (office boy) di kantor tempat saya bekerja.

Lebaran tahun ini saya kebagian bertugas. Artinya, saya tidak bisa mudik ke Pekalongan, rumah mertua. Istri saya sudah mudik lebih awal, seminggu sebelum Lebaran, dengan menumpang kereta api. Menghindari lonjakan penumpang yang biasanya terjadi pada hari-hari mendekati Lebaran. Itu juga berarti saya sendirian di rumah.

Air Mata yang Indah


Oleh Eko Prasetyo

 
Sumber Gambar: Google
Alhamdulillah, Allah memberi saya kesempatan untuk melihat air mata yang indah, yang tidak dieksploitasi layaknya adegan-adegan sedih di tayangan televisi. Dan kesempatan itu saya dapatkan dua kali. Salah satunya terjadi pada saat Ramadan.

Sepuluh malam terakhir Ramadan, lazim kita lihat hal yang kontradiktif. Di satu sisi, sebagian orang memilih beriktikaf di rumah-rumah Allah. Sebagian yang lain justru meramaikan pusat perbelanjaan, berburu barang untuk persiapan Lebaran. Yang pasti: pada sepuluh malam terakhir, jemaah masjid, musala, ataupun surau dipastikan kian berkurang. Tidak seperti awal Ramadan. Masjid full!

Ke Baitullah Modal Doa Doang

Oleh Eko Prasetyo



”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat...”

QS Al Baqarah: 186.



***

Masjidil Haram (sumber foto: Google)
Kawan ikhwan yang satu ini begitu bahagia. Wajahnya sangat semringah. Cerah sekali. Rupanya, itu tak lepas dari keinginannya yang terkabul. Yakni, bisa berlibur ke luar negeri.

”Saya bener-bener nggak nyangka,” ujarnya. Sebab, kata dia, sebagai pegawai rendahan, dirinya tak pernah bermimpi untuk bisa pergi ke luar negeri. Suatu saat seusai salat, dia memohon kepada Allah untuk bisa pergi ke luar negeri.

Mengapa sih ngebet pengen ke luar negeri? Dia mengaku sangat ingin membuka wawasannya tentang negara lain. Dalam soal apa pun sebagai perbandingan dengan Indonesia.

Doa bapak satu anak ini benar-benar diijabah. Bagaimana bisa? Pada Maret 2011, kantor tempatnya bekerja mengadakan gathering selama empat hari. Bukan gathering biasa. Acara tersebut diadakan di dua negara sekaligus: Malaysia dan Singapura. Masing-masing dua hari di sana. Nah, kawan saya ini kebetulan turut diundang dalam acara tersebut. Senang bukan kepalang.

”Alhamdulillah, doa saya terkabul!” tulisnya dalam akun Facebook miliknya.

Akhirnya Mereka Dikaruniai Anak

Catatan Eko Prasetyo


Kejadian ini sudah berlangsung cukup lama, sekitar 2006. Sore itu saya berada di kantin dekat kantor English First (EF) di Jalan Kayoon, Surabaya. Biasanya, pada hari tertentu tiap sore, tempat tersebut selalu ramai. Penuh dengan anak-anak, remaja, ataupun mahasiswa yang hendak les bahasa Inggris di tempat itu.
Saya sendiri waktu itu sedang menunggu waktu pulang kerja. Setelah pekerjaan rampung, mampir ke kantin tersebut. Kantor saya kala itu memang berdekatan dengan kantor EF. 

Ode Siswa Miskin

Sumber foto: inilah.com


pendidikan kini tak lagi berpihak pada kami
di saat urusan perut menempati tempat teratas di kamus kami,
pendidikan justru tidak terjangkau oleh kami

bahkan, pendidikan kini belum tentu berpihak pada siswa berotak cemerlang
karena itu, kami tak berani bermimpi-
bisa mengenyam pendidikan dengan baik
ketika dana BOS saja masih disunat
ketika anggaran untuk siswa miskin tidak sepenuhnya bisa kami nikmati
ketika biaya untuk sekolah bisa terbang setinggi layang-layang

bagaimana bisa?
bagaimana mungkin?

kami tidak menyalahkan mengapa bapak ibu kami miskin
sama sekali tidak
kami tidak mengeluh meski lekat dengan:
kumuh
jorok
bau limbah
sungai kotor
rumah reyot

maka, sesak dada kami menahan sedih
ketika menatap anak-anak sebaya yang bisa mengenakan seragam sekolah
ketika pendidikan gratis hanya bisa kami baca di koran bekas yang terbuang
lantas, haruskan kami bernasib sama seperti orang tua kami
jika pendidikan gratis hanya sebatas mimpi?


Surabaya, 18 Juli 2011
Eko Prasetyo

Mengapa Mesti Bohong?

Catatan Eko Prasetyo
editor Jawa Pos

“Pangkal dari dosa adalah bohong.”
Nasihat tersebut saya kutip ulang dari sebuah akun Facebook milik teman yang menjadi pemred di sebuah media di Jawa Timur. Dia memang gemar menuliskan kalimat-kalimat bernada nasihat, pepatah, dan petuah. Bukan tanpa alasan jika saya mengutip kalimat itu. Sebab, ada pengalaman pribadi yang bersinggungan dengan petuah tersebut, termasuk kasus-kasus yang saat ini tengah hangat di masyarakat.
Pada medio 2009, saya diamanahi uang Rp 15 juta untuk salah satu kegiatan di kantor. Diberikan cash oleh bendaharanya. Jujur, saya semula ragu. Karena itu amanah dari atasan, saya menerima.

Foto Diri ketika Tidur

Catatan Eko Prasetyo

Sore itu saya capek bukan main. Bersih-bersih rumah, menata ulang barang-barang dan merapikannya kembali. Kegiatan itu saya lakukan agar rumah terasa lebih lapang dan nyaman. Pasalnya, orang tua dan mertua saya berencana datang ke rumah. Menginap.
Selepas azan asar, saya bergegas mandi, kemudian wudu untuk salat. Selesai, saya ”terkapar” di lantai kamar belakang. Ketiduran.
Di rumah saat itu, ada istri dan adik perempuan saya. Bunyi pesan singkat di ponsel tiba-tiba membangunkan saya. Dari bapak. Beliau minta dijemput.
Malamnya, keluarga besar berkumpul di kediaman saya. Ramai, tapi menyenangkan karena lama tidak bertemu orang-orang yang kami cintai tersebut.
Ketika senggang, adik saya menunjukkan foto saya yang ia jepret dengan kamera ponsel ketika saya tertidur siang sebelumnya. Nggak istimewa sih, seperti umumnya foto orang yang tidur. Pasrah.

Dahsyatnya Doa Ibu

Catatan Eko Prasetyo
editor Jawa Pos


Kejadian Pertama
Hari itu, 31 Desember 1998, tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Malam menjelang tahun baru, saya masih berada di rumah. Ibu dengan dibantu beberapa ibu-ibu tetangga sedang memasak menu untuk acara syukuran di kompleks perumahan kami. Tri, kawan sepermainan saya, memanggil-manggil saya untuk ikut keluar. Keluyuran, menikmati suasana malam menjelang tahun baru.
Sebelumnya, ibu tidak mengizinkan saya. Saya diminta di rumah dan membantu beliau. Namun, saya tidak mengindahkan. Kata bapak, waktu itu ibu sempat mengatakan, ”Awas kalau ada apa-apa nanti di jalan.” Namun, saya tidak mendengarnya. Keburu keluar bersama kawan saya.

Tragedi 29 September 1980

Oleh Eko Prasetyo

”Jimmy is 8 years old and a third-generation heroin addict, a precocious little boy with sandy hair, velvety brown eyes and needle marks freckling the baby-smooth skin of his thin brown arms.”
 (Jimmy adalah pecandu heroin generasi ketiga. Seorang anak kecil yang dewasa sebelum waktunya dengan rambut berpasir, dan bermata cokelat. Di lengannya yang masih halus seperti kulit bayi penuh dengan bekas tusukan jarum suntik).
Itulah paragraf pembuka dalam salah satu reportase di Washington Post pada 29 September 1980. Laporan tersebut ditulis oleh wartawan Janet Leslie Cooke.

Untung, Naskah Saya Ditolak

Oleh Eko Prasetyo

Ndableg. Ya, menurut saya, seorang penulis harus punya sifat dan sikap tersebut.  Namun, jangan keburu menilai ndableg dalam arti yang negatif. ndableg yang saya maksud adalah ngotot dan tidak lekas berputus asa.
Saat memutuskan untuk menulis dan mengirimkannya ke sebuah media atau penerbit, salah satu konsekuensi yang dihadapi adalah penolakan. Ini pula yang sering saya alami.
Tak kurang, beberapa penerbit terkenal menolak naskah saya. Misalnya, Bentang (Jogja), Pro-U Media (Jogja), Gema Insani Press (Jakarta), Masmedia (Sidoarjo), FLP Publishing (Jakarta), dan lain-lain. Semua e-mail penolakannya masih saya simpan dan saya print. Kendati kecewa karena naskah ditolak, saya tetap berupaya memperbaiki naskah dan mengirimkannya ke penerbit lain. Saya tidak pernah merasa gagal. Sebab, merasa gagal adalah awal dari sebuah kegagalan.  

Menularkan Baca

Setiap setelah salat Magrib, istri saya membaca Alquran. Biasanya, saya ikut mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Alquran yang dibacanya.
Suatu ketika saya bertanya kepadanya.
Kok saya ndak pernah diajak sih?” tanya saya.
”Diajak apa?” Dia balik bertanya.
”Baca Alquran,” ujar saya.
Lho, saya kan selalu mengajak?” kata dia serius.
”Kapan?” tanya saya.

Ke Gereja


”Saya telepon berkali-kali kok nggak diangkat, Mas?” tanya salah seorang teman kepada saya.
”Maaf tadi saya ke gereja,” jawab saya.
”Lho, sampeyan kan muslim?” tanya dia.
Mimik mukanya menandakan rasa tidak senang.
Saya lantas ”dikuliahi” (untuk tidak menyebut ditegur). Saya mendengarkannya sampai dia selesai berceramah.
Setelah itu, saya mengatakan dua hal yang ia abaikan.