Tragedi 29 September 1980

Oleh Eko Prasetyo

”Jimmy is 8 years old and a third-generation heroin addict, a precocious little boy with sandy hair, velvety brown eyes and needle marks freckling the baby-smooth skin of his thin brown arms.”
 (Jimmy adalah pecandu heroin generasi ketiga. Seorang anak kecil yang dewasa sebelum waktunya dengan rambut berpasir, dan bermata cokelat. Di lengannya yang masih halus seperti kulit bayi penuh dengan bekas tusukan jarum suntik).
Itulah paragraf pembuka dalam salah satu reportase di Washington Post pada 29 September 1980. Laporan tersebut ditulis oleh wartawan Janet Leslie Cooke.
Karya jurnalistik yang berjudul Jimmy’s World (Dunia Jimmy) itu akhirnya mendapatkan penghargaan bergengsi Pulitzer pada 13 April 1981.
Jimmy diceritakan sebagai bocah laki-laki yang besar di lingkungan kumuh di Kota Washington DC. Dia dilaporkan telah menjadi pecandu narkoba sejak dikenalkan oleh pacar ibunya.
Tak pelak, reportase itu mengundang simpati masyarakat Washington. Tak terkecuali sang wali kota. Redaksi Washington Post menerima banyak telepon dari pembaca. Intinya, mereka meminta surat kabar terkemuka di  Washington DC itu untuk membuka jati diri Jimmy.
Bahkan, wali kota meminta pihak kepolisian setempat untuk menjemput Jimmy dan kemudian hendak dibawa ke panti rehabilitasi. Namun, polisi gagal menemukannya. Tentu saja lha wong Jimmy itu hanya tokoh rekaan Cooke.
Hal itu menimbulkan dugaan di tengah masyarakat bahwa tulisan tersebut fiktif. Namun, Washington Post berusaha membela Cooke. Akhirnya, para redaktur media itu mendesak Cooke untuk membuka “tabir” Jimmy.
Karena tersudut, Cooke mengakui bahwa laporan tentang Jimmy’s World adalah fiksi belaka. Itu terjadi tepat sehari setelah wartawan berkulit hitam tersebut menerima Pulitzer 1981.
Kontan, terkuaknya kebohongan itu menjadi skandal besar di dunia jurnalistik. Washington Post lantas meminta maaf kepada publik atas laporan fiktif Cooke tersebut. Hadiah Pulitzer kemudian dikembalikan tepat dua hari setelah Cooke menerimanya. Sang reporter pun mengakui bahwa Jimmy hanya tokoh rekaan dan dia meminta maaf.  Selanjutnya, Cooke menghindari publikasi atas skandal yang mencoreng dunia wartawan tersebut.
Artikel lengkap tentang Jimmy’s World bisa dibaca di

*****
Kejadian itu lantas diingat sebagai tragedi 29 September 1980 (kisah ini mirip dengan kejadian di Jawa Pos pada 2005 tentang wawancara fiktif dengan istri Dr Azahari). Para calon wartawan pasti mendapatkan menu cerita tentang skandal heboh itu. Tujuannya, menjunjung tinggi kejujuran dengan menuliskan berita sesuai dengan fakta, bukan mereka-reka.
Ada pelajaran lain yang bisa dipetik dari kisah Cooke tersebut. Yakni, betapa pun kebohongan itu dikemas sedemikian rupa, pada akhirnya terkuak juga. Bau busuk pasti tetap tercium meski disemprot parfum yang paling mahal sekalipun.
Dalam dunia jurnalistik dan dunia kepenulisan, kejujuran juga mesti diletakkan pada tempat yang tertinggi. Bukan menyalahinya dengan tindakan tidak sportif seperti copy paste tulisan, yang kadarnya sama seperti membohongi pembaca.
Agaknya, kita perlu meresapi kembali sebuah pepatah lama. Yakni, kejujuran adalah mata uang yang laku di mana pun kita berada.

Surabaya, 6 Feb 2011

Tidak ada komentar: