Karya Plagiat Paling Legendaris di Indonesia


Oleh Eko Prasetyo

Jiplak menjiplak bukan kasus baru di Indonesia. Hal ini bahkan dianggap sebagai sebuah seni, trik, atau kebiasaan untuk mencapai suatu tujuan. Umumnya, kasus jiplakan atau plagiat sering menerpa di dunia pendidikan.
Kita tentu masih ingat dengan kasus plagiarisme yang melibatkan Profesor Anak Agung Banyu Perwita PhD, dosen Universitas Parahyangan Bandung. Kasus ini merebak setelah surat kabar The Jakarta Post memasang pengumuman bahwa artikel Prof Banyu menjiplak.
Tulisannya yang berjudul ”RI as a New Middle Power?” dimuat The Jakarta Post pada 16 November 2009. Namun, setelah diusut redaktur koran itu, tulisan Prof Banyu ternyata menjiplak karya tulis ilmiah milik Carl Ungerer, ”The Middle Power Concept in Australian Foreign Policy”. Artikel tersebut diterbitkan Australian Journal of Politics and History: Volume 53, Number 4, pada 2007.
Tak pelak, berita ini menghebohkan dunia pendidikan Indonesia. Apalagi, Universitas Parahyangan menemukan fakta bahwa Prof Banyu empat kali menjiplak (Detik.com, 9/2/2010). Busyet!
Belum reda kasus tersebut, alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) tersangkut kasus serupa. Empat warga ITB itu dilaporkan IEEE Xplore menjiplak paper berjudul ”3D Topological Relations for 3D Spatial Analysis” karya Siyka Zlatanova (Kompas, April 2010). Empat orang tersebut adalah Mochammad Zuliansyah, Suhono Harso Supangkat, Yoga Priyana, dan Carmadi Machbub. ITB berang bukan main dan merasa dibohongi. Sebagai sanksi, gelar doktor Zuliansyah dicabut.
Sebelumnya, pada Januari 2010, di Riau pangkat sekitar 1.700 guru golongan 3B diturunkan menjadi 3A karena terbukti menjiplak karya tulis ilmiah (JPNN, 31/1/2010). Kasus serupa yang terkait dengan sertifikasi terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Plagiator Legendaris
Namun, kasus-kasus plagiarisme semacam itu bukan baru-baru ini terjadi. Jauh pada masa mempertahankan kemerdekaan RI, kasus plagiat telah terjadi. Yang heboh, kasus ini melibatkan salah seorang penyair ternama Indonesia, Chairil Anwar.
Dugaan plagiat itu terjadi pada puisi berjudul Karawang-Bekasi. Puisi legendaris yang ditulis Chairil tersebut dituding menjiplak karya Archibald Mac Leish. Puisi Mac Leish itu berjudul The Young Dead Soldiers Do Not Speak.
Siapa sih yang tak kenal Chairil Anwar? Sang maestro puisi angkatan ’45 itu wafat dalam usia 27 tahun. Penyair kelahiran Medan, 26 Juli 1922 tersebut menghabiskan tujuh tahun untuk berkarya.
Menurut H.B. Jassin, dalam jangka waktu tujuh tahun masa berkarya tersebut, Chairil menghasilkan sekitar 94 karya. H.B. Jassin mengategorikannya dalam tiga jenis karya. Yakni, karya saduran (4 sajak), karya terjemahan (10 sajak, 4 prosa), dan karya asli (70 sajak, 6 prosa).
Salah satu karya plagiat Chairil yang paling legendaris adalah puisi Karawang-Bekasi. Ada beberapa bait yang mirip (saduran) dengan puisi The Young Dead Soldiers. Berikut beberapa bait yang mirip itu.

(-) Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami?
(+) Nevertheless they are heard in the still houses: who has not heard them?

(-) Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
(+) They have a silence that speaks for them at night and when the clock counts.

(-) Kami mati muda.Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami.
(+) They say, We were young. We have died. Remember us.

(-) Kami sudah coba apa yang kami bisa
(+) They say, We have done what we could but until it is finished it is not done.

(-)  Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
(+) They say, We have given our lives but until it is finished no one can know what our lives gave.

Kendati ada karyanya yang saduran, Indonesia berterima kasih kepada Chairil Anwar. Dia dinilai mampu menggelorakan semangat juang mempertahankan kemerdekaan RI lewat puisi-puisinya yang bergelora. Meski demikian, perlu ditanamkan pula kepada generasi muda saat ini bahwa tindakan menyadur dan menjiplak bisa merugikan, bahkan mencederai suatu institusi atau bangsa.

Kita tentu tak mau disebut sebagai kreator yang cuma bisa menjiplak. Kalaupun ingin mengutip, ada cara yang lebih elegan. Yakni, menyebutkan sumbernya. Kita bangsa yang beretika. Salah satunya, etika dalam menghargai karya diri sendiri dan orang lain. Apa artinya karya kita dipuji orang lain kalau itu merupakan hasil menjiplak.

Graha Pena, 3 Agustus 2010


===================

KARAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi
siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Chairil Anwar (1948)
Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957

THE YOUNG DEAD SOLDIERS DO NOT SPEAK

Nevertheless they are heard in the still houses:
who has not heard them?
They have a silence that speaks for them at night and when the clock counts.

They say, we were young. We have died. Remember us.
They say, we have done what we could but until it is finished it is not done.
They say, we have given our lives but until it is finished no one can know what our lives gave.

They say, our deaths are not ours: they are yours: they will mean what you make them.
They say, whether our lives and our deaths were for peace and a new hope or for nothing we cannot say: it is you who must say this.

They say, we leave you our deaths:
give them their meaning:
give them an end to the war and a true peace:
give them a victory that ends the war and a peace afterwards:
give them their meaning.

We were young, they say.
We have died. Remember us.

Archibald MacLeish  (1941)

Tidak ada komentar: