Tak Sekadar Pesta Bakar Sate



Oleh: Eko Prasetyo

Di beberapa sudut Kota Surabaya, jika Idul Adha atau Idul Kurban tiba, banyak warga yang berbondong-bondong antre di beberapa tempat tertentu untuk mendapatkan daging kurban. Tahun lalu, saya merekam beberapa kejadian pada hari raya yang mulia tersebut.

Kebetulan saya tinggal di kawasan Surabaya Pusat. Seusai salat Id, seperti Idul Kurban pada tahun-tahun sebelumnya, ada beberapa perkantoran yang menyediakan hewan kurban untuk dibagikan kepada para warga duafa. Meski demikian, kenyataan di lapangan adalah tidak sedikit warga yang sebenarnya mampu juga ikut antre untuk mendapatkan sekitar seperempat atau setengah kilo daging sapi atau kambing. Sebelumnya, mereka terlebih dulu mendapatkan kupon untuk bisa mendapatkan daging tersebut.

Biasanya, baru selepas waktu zuhur, daging itu diberikan setelah melalui beberapa proses. Cuaca yang kadang terik tak menyurutkan semangat para warga yang kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak itu untuk antre berdesak-desakkan.

Tak jarang, di antara mereka terlibat adu mulut karena merasa diserobot. Padahal, Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba li akhiihi maa yuhibbu linafsihi.” (Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sebelum dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri).

Sebagaimana potret keseharian masyarakat kita saat ini, ada yang lebih memilih berkelahi demi masalah yang sepele. Kadang, ada orang yang tak rela memberikan tempat duduknya di bus untuk seseorang yang tua. Cuek is the best seolah menjadi slogan yang manjur sebagai pembenar tak kala seseorang dihadapkan pada keikhlasan.

Maka, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menyimak kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, yang menjadi awal diturunkannya perintah untuk kurban. Sudah sepatutnya kita merenungkan kembali keagungan dari pengorbanan luar biasa dua nabi tersebut sambil membandingkan kesiapan berkorban diri sendiri.

Bagi kebanyakan orang, kehilangan anak menjadi sebuah musibah besar, apalagi jika harus menghilangkan nyawa anak. Nah, hikmah dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah keikhlasan berkorban demi kekasih yang maha agung, Allah.

Wujud sebuah ketulusan luar biasa ditunjukkan pula oleh Nabi Ismail. Keduanya membuktikan cinta paling mulia dan pengorbanan yang amat agung. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim ketika diperintahkan untuk mengorbankan putra tercintanya, Nabi Ismail. Demikian pula sang anak dan belahan jiwa (soulmate), rela menyerahkan nyawa sendiri demi Allah yang maha besar. Subhanallah.

Sesungguhnya, salatku, ibadahku, hidupku, matiku, semata-mata milik Allah Tuhan sekalian alam. Tak ada seorang pun yang ikut bersama-Nya memiliki. Untuk itulah aku diperintahkan dan aku adalah orang pertama yang menerima, yang pasrah, yang Islam!

Cinta dan keikhlasan Nabi Ibrahim serta Nabi Ismail dicatat sebagai sejarah emas yang membingkai betapa indahnya sebuah ketulusan. Cinta itu hadir bersatu dalam keimanan, bukan sekadar pemanis bibir atau omong kosong. Aplikasi cinta yang agung tersebut kian tergerus seiring dengan majunya teknologi seperti saat ini.

Karena itu, Idul Kurban membawa kesejukan bagi tiap orang yang mau mengimplementasikannya, tak sekadar mengetahui.

Jamak diketahui, jika mampu, orang lebih suka berkurban dengan membeli kambing yang murah ataupun kurus. Bila salat Jumat, orang membuka dompet untuk mencari nominal terkecil. Memang, itu bisa disebut beramal, tapi bagaimana dengan konteks keikhlasannya? Dalam kondisi seperti itu, berkorban terasa amat berat. Sungguh, ikhlas memang sulit diaplikasikan bila kita masih menyandarkan diri pada hukum untung rugi dan timbal balik.

Apabila tiba hari raya Idul Kurban, banyak orang yang bersyukur. Sebagian besar bersuka cita menyambutnya karena bisa antre daging untuk disate. Di sudut kampung-kampung, di halaman belakang rumah, di pasar, kepulan asap panggangan sate mengepul. ”Bisa bikin sate kayak gini kan cuma setahun sekali,” begitu alasan yang kerap kita dengar.

Angin musim ini kadang cukup kencang berembus karena hujan kerap menyapa. Telah habis gelas ketiga, saya habiskan air putih. Mata ini sudah terasa lelah ketika jam sudah menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Mungkin aroma sate bisa membangkitkan kembali lelah itu. Tapi, kali ini saya tak berniat untuk membakar sate sendiri, apalagi jika harus antre berdesakan demi setengah kilo daging kurban. Sebab, ada orang lain yang lebih berhak mendapatkannya. Lagi pula, perut ini tak meronta meminta aroma sate itu segera meski pesta bakar sate tersebut hampir tiba.

Castralokananta, dini hari 5 Desember 2008

Publikasi: eramuslim.com (10 Desember 2008)

Romantisme Jurnalis



Oleh: Eko Prasetyo

"Jika seseorang berteman dengan tukang minyak wangi, dia akan tertular wanginya."

Di zaman yang serbamahal dan labilnya situasi ekonomi seperti sekarang, masyarakat kita belum beranjak aspek dari kemiskinan dan pengangguran. Tak jarang, banyak orang yang putus asa, bahkan ada yang sampai bunuh diri karena tak tahan menanggung beban ekonomi. Yang ironis, gaya hidup hedonis dan konsumtif masih melekat di masyarakat. Katanya, hidup harus hemat, tapi malah belanja barang yang tak urgen dibeli. Katanya, hidup jangan berfoya-foya, tapi justru doyan ke diskotek. Masya Allah. Masyarakat kita tengah menghadapi sindrom putus asa.

Salah seorang rekan wartawan, sebut saja Aga, pernah menuliskan kegelisahannya saat kali pertama bekerja sebagai jurnalis. Kebetulan, kami satu almamater di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya.

Dia mengisahkan betapa tidak mudahnya menjadi seorang jurnalis. Kebanggaan berkalung kartu pers merupakan bagian dari romantisme wartawan. "Namun, kenyataan memang terkadang tak seindah harapan," ulasnya.

Saya tak berhenti menyimak detail kisah yang dia paparkan sambil menikmati malam dan berteman secangkir kopi. Penampilan pemuda asal Lamongan itu memang terkesan biasa saja, tak ada yang istimewa. Namun, di balik itu dia menyimpan banyak amunisi potensi. Tak salah bila beberapa rekan wartawan seangkatannya menjuluki dia "Pak Lurah".

"Dunia wartawan seringkali menguji mental para pekerjanya. Belum lagi tekanan atas-bawah yang saling menimpali," paparnya. Jelas, lanjut dia, dunia wartawan tak seromantis bayangan para mantan aktivis kampus seperti dirinya. Misalnya, membawa kamera atau menyodorkan perekam dan pertanyaan kritis kepada narasumber.

Suatu ketika, saya pernah mendapati Aga bermuram durja. Entah apakah dia tengah bingung menentukan tulisan untuk esok harinya ataukah justru berkontemplasi mencari inspirasi. Barangkali, dua dugaan saya itu keliru.

Saat produktivitas kian menurun, malam bisa menjelma malaikat maut yang membuat seorang jurnalis menjadi gelisah luar biasa. Saat itu tekanan terasa amat berat. benar-benar malam yang jahanam. Wartawan yang tak kuat "iman" bisa saja langsung ngacir tanpa say good bye.

Dalam hening, saya tak menangkap suara derik jengkerik di kejauhan. Namun, desau napas malam yang resah seolah menyiratkan kegelisahan Aga. Saya berusaha peka dengan menjabat logika dan menalar dengan akal sehat.

Namun, jauhnya bintang di malam kelam tetap saja bisa dilihat. Ya, saya mulai merasakan bahwa bintang-gemintang mulai bersinar terang tak kala Aga
dapat menguasai dirinya untuk berani menyambut segala tantangan di depannya. Itu tampak dari ide-ide dan ulasannya ketika menyusun sebuah feature atau tulisan boks di surat kabar tempat kami berpayung. Runut, kohern, dan mengalir apa adanya.

Kini rekan reporter seangkatan Aga hanya tinggal beberapa orang, mungkin karena mereka sadar bahwa dekat api itu panas. Mungkin juga itu disebabkan mereka enggan naik ke atas sebuah pohon karena tahu bahwa semakin tinggi pohon kian kencang angin menerpa.

Seperti halnya saya belajar di kampus kehidupan dari seorang kuli pasar atau kuli bangunan, saya mencerna banyak asupan menu berbeda dari para kuli tinta. Dunia mereka adalah dunia realita penuh tantangan yang menguji mental dan adrenalin.
”Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ”Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan secara sempurna dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ” (Al-Baqarah: 155-157).

Aga, seorang sahabat dan adik bagi saya, ibarat penjual minyak wangi di mata saya. Keteguhan dan semangatnya dalam menghadapi tantangan tak ubahnya telah mencipratkan harumnya wewangian parfum tersebut lewat sikap pantang berputus asa. Meski sedikit, satu tetes sekalipun, aromanya tetap akan tercium.


Graha Pena, dini hari 4 Desember 2008
Eko Prasetyo
(kutelan keresahan, kureguk kegelisahan pada hening malam di sujud terakhir: rindu)

Publikasi: eramuslim.com (5 Desember 2008)

Guru Sampah

Oleh: Eko Prasetyo

"Anda Eko Prasetyo dari Resists Book itu?" Pertanyaan ini sering masuk di e-mail saya.
"Bukan. Hanya kebetulan nama kami sama," jawab saya singkat.
"Tapi, saya sering membaca tulisan Anda di eramuslim dan beberapa situs lain," ucapnya.
"Itu hanya kebetulan, Pak," ujar saya meyakinkan.

Salah seorang di antara sekian penanya tersebut adalah seorang guru. Tak butuh waktu lama, kami lantas akrab meski hanya bertukar kabar lewat e-mail. Beliau menanyakan apakah saya menulis buku seperti halnya Eko Prasetyo dari Resist Book itu. Saya menjawab iya.
"Hanya kami berbeda mahzab meski sama-sama aktif di kegiatan kependidikan," jawab saya.

Guru tersebut kemudian memaparkan pengalamannya sebagai guru honorer di Kabupaten Madiun. Usianya sekitar 35 tahun, jauh di atas saya.

"Jika tak sedang mengajar, saya memungut sampah plastik bekas air mineral, Mas," tuturnya.
Saya terdiam sejenak, lalu melanjutkan membaca kisahnya tersebut.
"Lumayan hasilnya bisa buat nambah beli keperluan rumah," lanjut dia.

Bukan kali ini saja saya dicurhati oleh orang lain. Namun, saya justru kian tertarik menyimak pengalaman beliau yang luar biasa tersebut.

Dia menceritakan bahwa niatnya untuk menjadi guru tetap masih tinggi meski dirinya nyaris putus asa dengan keadaan yang sekarang.

Sebagai guru tidak tetap di sebuah SD, beliau menerima upah tak sampai Rp 500 ribu. "Justru hasil dari menjual sampah plastik lebih besar dari itu," ucapnya dengan nada berbesar hati.

Dia mengisahkan, hasil dari memulung plastik air mineral kadang berpihak pada nasib dirinya ketimbang pemerintah yang belum mengoptimalkan kuota tenaga honorer dalam pengangkatan guru PNS di daerah setempat. Betapapun, keluarganya merasa tertolong karena dapur mereka bisa tetap mengepul berkat hasil memulung sampah plastik.

"Yah, ibaratnya saya ini bisa disebut guru sampah," ucapnya setengah berkelakar.

Mungkin, perkataan jujur yang terlontar dari beliau adalah upaya menghibur diri sejenak di tengah impitan kesulitan ekonomi yang memang dirasakan oleh banyak guru senasib.

Kami tetap intens berkomunikasi meski hanya bersua lewat dunia maya. Saya pun mengajak beliau untuk ikut serta dalam Klub Guru Indonesia untuk berbagai pengalaman luar biasanya.

A good teacher mixes with people of noble character. He strives for people's benefits and seeks to protect them from harm.
Kiranya, saya menaruh respek yang tinggi atas perjuangan seorang guru. Dia harus menunaikan tanggung jawabnya yang mulia untuk kelangsungan pendidikan para muridnya. Guru tersebut mengajarkan kepada saya banyak hal, termasuk menghadapi tantangan hidup dan bertahan hidup.

Persoalan perut kadang dapat membuat orang bisa melakukan apa saja, tak peduli bahwa dia adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Cuaca Surabaya di antara kering dan basah, tapi tak sebasah hujan menabur kasih di tengah riamnya krisis moral di negeri ini. Semoga Allah selalu memudahkan hamba-hamba-Nya yang mau berusaha dan bekerja keras, amiin Ya Mujibasailin.


Castralokananta, 29 November 2008
Publikasi: eramuslim.com (1 Desember 2008)

Warung Kehidupan sebagai Pendidikan Antikorupsi

oleh: Eko Prasetyo

Kejujuran kini ibarat barang langka. Terbukti, krisis finansial global sama sekali tidak membuat para "pembohong" panik. Orang mudah memanipulasi apa saja, di mana saja, serta kapan saja, tanpa tersekat ruang dan waktu. Bohong dapat dilakukan oleh siapa pun. Bisa guru yang berbohong kepada kepala sekolah, murid kepada gurunya, bawahan kepada atasan, ataupun pejabat kepada rakyat.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada orang yang setia bersahabat dengan kejujuran. Alhamdulillah, "kesetiaan" itu kini diwujudkan pada menjamurnya kantin kejujuran di beberapa sekolah, termasuk sekolah di Surabaya. Paling tidak, pendidikan antikorupsi dapat diperkenalkan sekaligus diaplikasikan sejak dini kepada para siswa.

Tak bisa dimungkiri, menghapus korupsi (hasil ketidakjujuran) sama sekali adalah hal yang musykil dilakukan sampai hari kiamat tiba sekalipun. Namun, setidaknya, menahan nafsu ingin memiliki dapat menjadi penetrasi di tengah tinggi budaya konsumtif masyarakat saat ini. Angka si miskin dan si kaya di Indonesia begitu njomplang. Yang kaya raya kadang alpa mengeluarkan sedekah dan zakatnya. Sedangkan yang miskin kadang mudah putus asa, hanya berpangku iba, tanpa mau berusaha.

Karena itu, warung kejujuran paling tidak bisa menjadi media pembelajaran yang baik untuk mengasah rasa tanggung jawab dan memupuk kepekaan sosial siswa. Siswa dapat membeli barang kebutuhannya di warung kejujuran secara swadaya. Artinya, mereka menjadi pelayan bagi diri mereka ketika membeli atau mengambil uang kembalian. Jika nanti ada kekurangan dari hasil jualan, hal itu dapat segera diketahui lewat neraca keuangan yang dikelola pihak sekolah. Sungguh, elemen sekolah sejatinya telah menerapkan model manajemen terapan berupa disiplin. Ini sangat penting!

Sebenarnya berkata atau berbuat jujur itu mudah, tapi juga tak gampang. Lho kok bisa? Ya, coba saja Anda terapkan pada orang-orang terdekat di sekitar Anda. Misalnya, seorang istri bertanya kepada suaminya ketika baru memakai baju baru.
"Bagus nggak, Pak? Ibu cantik nggak kalau pakai baju yang ini?"
Pasti, 99 persen bakal menjawab, "Iya," Padahal, bisa jadi sang istri tidak terlalu cantik atau bajunya mungkin kurang bagus menurut penilaian si suami.

Berkata jujur sesuai hati nurani di saat seperti itu mungkin sulit dilakukan.
Tentunya banyak alasan yang mendasarinya. Di antaranya, mencoba menghargai perasaan seseorang meski kita tak sejalan atau tak suka dengan sesuatu yang dia pakai.
Berbohong untuk kebaikan memang diperbolehkan. Tapi, berkata jujur akan lebih terhormat. Meski, terkadang jujur itu terasa menyakitkan.
Tanpa disadari, kita kadang suka memuji orang lain setinggi langit, tapi tak bisa menghargai diri sendiri. Kadang, kita doyan mencibir kekurangan orang lain, tapi sesungguhnya kita pun gemar menertawakan kelemahan diri sendiri.

Karena itu, bentuk aplikasi pendidikan antikorupsi lewat warung kejujuran patut diapresiasi dan dikembangkan melalui inovasi-inovasi lain. Tiada lain, itu bertujuan mengembangkan jiwa sosial dan rasa tanggung jawab dalam menjaga amanah.

Akhirnya, kita perlu merenungkan kembali sabda Rasululah SAW bahwa salah satu ciri orang munafik adalah berdusta. Maka, sudah seharusnya kita membiasakan diri berbuat dan berkata jujur dalam segala hal. Sebab, semua akan kita pertanggungjawabkan di mahkamah akhirat nanti. Wallahu ’alam.

Dipublikasi: Eramuslim, 25 November 2008

Membaca Adalah Kebutuhan, Bukan Selingan

Oleh: Eko Prasetyo

”Buku adalah teman bicara yang tidak mendahuluimu. Ia teman bicara yang tidak memanggilmu ketika kamu bekerja. Ia teman bicara yang tidak memaksamu berdandan ketika menghadapinya. Ia teman hidup yang tidak menyanjungmu. Ia kawan yang tidak membosankan. Ia adalah penasihat yang tidak mencari-cari kesalahan.” (Ahmad bin Ismail)
Kiranya, tak ada sedikit pun yang bisa saya sangkal dari goresan mutiara di atas. Nyatanya, buku memang sumber ilmu, guru yang tak akan pernah berharap pamrih.

Dulu, saya pernah ditanyai oleh salah seorang redaktur, “Sudah berapa buku yang Anda baca hari ini?” Pertanyaan tersebut saya tafsirkan sebagai suatu perintah agar saya tidak meremehkan salah satu aktivitas ringan tapi penting, yakni membaca.

Memang, saya tak pernah merasa rugi ketika beradaptasi dengan lingkungan membaca. Yang lebih penting, saat kita malu atau enggan bertanya tentang sesuatu yang kita tidak tahu kepada seseorang, kita bisa mendapatkan jawabannya lewat membaca buku.

Di saat banyak orang sibuk ngerumpi sana-sini, bergosip ini-itu, membahas kapan gaji naik atau kapan tunjangan cair, membicarakan keburukan atau kekurangan orang lain, serta menggunjing hal-hal tak terpuji, kegiatan membaca menjadi suatu hiburan lain yang mampu menetralkan suasana. Membaca apa pun, mulai kitab suci, buku, koran, hingga majalah. Membaca adalah media komunikasi antara kita dan diri kita. Jika perut lapar, kita penuhi keinginannya dengan asupan makanan. Kalau tubuh lelah, kita penuhi ia dengan mengistiratkannya. Namun, bila hati kita beku, membaca adalah salah satu solusi untuk menetralkan. “Bacalah dengan nama Tuhanmu. Bacalah dengan nama yang menciptakanmu.” (QS: Al-Alaq, 1-2).

Alkisah, ada seorang tukang becak. Dia tak bisa baca tulis alias buta huruf. Puluhan tahun dia menghidupi istri dan anak-anaknya dari hasil mengayuh becak. Meski demikian, salah seorang putranya ternyata mampu melanjutkan pendidikan tinggi setelah diterima di Akademi Militer di Magelang. Yang membanggakan, sang putra berhasil menyabet bintang Adhi Makayasa sebagai lulusan terbaik di kawah candradimuka para calon perwira itu.

Saat ditanya dari mana dia membiayai anaknya tersebut? “Bagaimana mungkin saya punya uang untuk menyekolahkannya? Wong saat anak saya masuk SMP saya bingung cari uang,” paparnya.

“Saya cuma berdoa memohon sama Gusti Allah agar kami sekeluarga diberi kemudahan dan ridha. Cuma itu thok karena saya nggak bisa doa panjang-panjang,” lanjutnya. Subhanallah. Saya tak melihat batas yang terbuka lebar antara doa dan membaca. Sebab, dalam doa terkandung permohonan yang diucapkan secara sungguh-sungguh.

Tukang becak itu mampu menerjemahkan bacaan tanpa teori meski dia tak mengenal aksara dengan doa. Dia percaya dengan kekuatan doa, kekuatan yang mengantarkan anaknya menjadi perwira muda. Meski bertahun-tahun hidup miskin dari hasil mengayuh becak, tak terhitung berapa kilometer yang dia kayuh, si tukang becak tersebut tak pernah lupa dengan sang Pencipta. Tiada lain, dia memfasilitasi kekurangannya dengan giat bekerja dan berdoa.

Bisa dibayangkan bagaimana raut tukang becak itu ketika melihat putranya dikalungi penghargaan tertinggi di Akademi Militer. Namun, dia ternyata tak berubah, tetap sama, masih bersahaja.

Suatu malam, ibu menelepon saya. Beliau menanyakan kabar saya karena lama tak bersua. Sembari menyelesaikan pekerjaan, saya berbincang ringan dengan beliau. Di akhir perbincangan kami, ibu sempat mengingatkan saya untuk selalu menjaga shalat. Tak lupa beliau minta dibelikan buku masakan. Saya langsung menyanggupinya. Sebuah permintaan yang wajar. Sebab, beliau sehari-hari berjualan kue dan makanan yang dititipkan di warung-warung dan kantin sekolah. Di usia setengah abad, tubuh ibu kian kurus karena menderita diabetes. Meski demikian, semangat beliau dalam bekerja membantu keuangan keluarga kian menumpukkan rasa hormat saya. Lima buku masakan sekaligus saya paketkan ke rumah untuk ibu. Jika ibu saja masih mau membaca, tak ada alasan bagi saya untuk malas membaca.

Pernah sang pujaan hati merenggut memendam kekecewaan yang dalam. Ternyata, dia kecewa karena saya hanya memberi dia kado buku di hari ulang tahunnya yang ke-26. Rasa kecewa itu dia wujudkan dengan tidak membalas SMS saya.
Tak kurang akal, saya mengirimkan pesan pendek ke ponselnya dan menulis beberapa kalimat maaf untuk dia. ”When you feel alone, just look at the spaces between your fingers. Remember that in those spaces you can see my fingers locked with yours forever. I miss you bad, sweetheart. -Maafin saya.” Beberapa saat kemudian, ponsel saya berdering ada SMS masuk. Pesan itu berbunyi, “Met kerja Mas. Pulang kerja ati-ati ya.”
Nah, membaca yang begituan itu membuat semangat kerja jadi berlipat. Seperti menimba air untuk mandi dan mencuci, membaca menjadi suatu kebutuhan, bukan lagi selingan.

Graha Pena, 21 Nov 2008
Eko Prasetyo
(asmara, ku pijak bara nafsu, ku regut aroma anyelir dari keringatmu, memelas mengajakku: bercinta)

Dipublikasikan: Eramuslim, 23 Nov 2008

Tetes Air Mata di Sela Hafalan

Oleh: Eko Prasetyo

Sudah beberapa hari belakangan, saya menghafalkan surat Al-Mulk dan masih belum hafal juga. Sehabis deadline, saya coba untuk mengulang lagi dan terus mengulang. Ternyata, belajar memang butuh semangat. Lima menit menghafal, lima menit membaca terjemahannya. Isi surat Al-Mulk memang begitu dalam karena mengingatkan akan kebesaran Allah dan azab-Nya yang pedih.

Selepas malam itu, gemuruh hujan yang membasahi Surabaya tampak di balik kaca
kantor. Suasana tersebut membuat saya enggan untuk segera pulang meski jam kerja sudah lewat. Dingin dan hening. Dari balik kaca lantai empat kantor, sejenak saya menatap hujan di luar sana. Tampak dari kejauhan kubah dan menara Masjid Al-Akbar di arah selatan yang hijau dengan cahaya yang dirambati tetes hujan. Subhanallah, indah sekali.

Di meja kerja hanya tersisa dua potong roti dan sebotol air mineral yang sengaja saya siapkan sore sebelumnya untuk santap sahur. Malam itu, saya terpaksa menginap di kantor. Sebenarnya, jikalau hujan segera reda, saya berniat beli nasi bungkus untuk kawan bersantap sahur. Namun, hingga menjelang subuh, hujan tak juga menampakkan tanda-tanda segera reda. Meski demikian, dua potong roti saya rasa cukuplah untuk sahur.

Selepas salat lail, mata ini saya paksa untuk tak sampai terpejam meski mengantuk. Sebab, takut kebablasan jika sudah benar-benar tertidur. Dan ini masih sering saya alami. Jika sudah begitu, ya wedang kopi jadi sahabat karib dan tetap melanjutkan menghafal surat Al-Mulk sembari menunggu waktu sahur ataupun azan subuh.

Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, mata ini mulai merah dan beberapa kali harus cuci muka agar tak ketiduran. Tiba saatnya untuk sahur. Meski tak cukup kenyang dengan dua potong roti, makan sahur terasa nikmat.

***

Saya selalu teringat suara anak-anak yang mengaji di musala kampung kami selepas asar. Anak-anak begitu bersemangat menghafal iqra dan membaca Alquran dari guru ngaji mereka. Ya Allah, malu rasanya hati ini jika kalah semangat dengan anak-anak itu dalam hal belajar dan menghafal ayat-ayat Allah.

Memang, tanpa disadari, kita terkadang menikmati membaca buku, novel, atau koran hingga lama ataupun berjam-jam. Tapi, saat membaca Alquran, kita enggan untuk membuka bahkan menghafal beberapa ayat. Terkadang menghafal lirik lagu saja kita bisa bersemangat dan berusaha sampai hafal. Namun, ketika menghafal beberapa Alquran saja kita merasa jemu.

Tak terbayang, jikalau Alquran bisa bicara, tentulah ia akan menangis karena sering menjadi sarang debu saat hanya dijadikan pajangan di meja atau lemari. Runtuh rasanya hati ini bila memikirkan hal tersebut. Padahal, itu adalah kalam Allah, Tuhan semesta alam.

Menjelang azan maghrib, ingin sekali saya menangis takkala membuka lembaran mushaf Alquran untuk menghafal kembali surat Al-Mulk. Sebanyak 30 ayat saya hafal dengan gemetar. Bukan karena menahan lapar, tapi gemetar karena malu. Ke mana hendak kusembunyikan tetes air mata yang terjatuh tanpa sengaja saat menghafal Al-Mulk? Sungguh, betapa kufurnya diri ini ketika malas belajar Alquran mendominasi hari-hari.

Sore merambat menjemput petang. Azan maghrib sudah berkumandang. Tiba saat berbuka. Dalam lapar, semangat untuk menghafal 30 ayat itu t’lah terpatri. Rabbizidni ilman warzuqni fahman..

Graha Pena, Mei 2008

Publikasi: Eramuslim 11 Mei 2008

Seutas Harapan Korban Lapindo



Oleh: Eko Prasetyo

Saat hendak berkunjung ke rumah salah seorang famili di Buduran, Sidoarjo, pagi itu terasa ada yang aneh. Jalanan, yang biasanya lancar jika Minggu, terasa padat dan macet mulai daerah Waru. Tampaknya, pintu tol ke arah Porong yang menghubungkan arah Malang dan Pasuruan kembali ditutup pagi itu. Padahal, jam belum menunjukkan pukul sebelas. Cuaca yang agak terik membuat kemacetan panjang tersebut terasa melelahkan.

Persis memasuki kawasan Gedangan, salah seorang warga setempat memberitahukan bahwa hari itu ada unjuk rasa korban lumpur Lapindo. Mereka memblokir jalan masuk ke arah Surabaya dan memusatkan aksinya di kawasan tol Porong. Sehingga, aksi itu mengakibatkan akses jalan Surabaya-Sidoarjo macet. Bahkan, arah ke Mojokerto pun terlihat sangat padat.

Setelah sampai di tempat tujuan, lega sekali rasanya. Perjalanan, yang biasanya bisa ditempuh sekitar 30 menit, molor sampai 1 jam lebih karena macet. Lewat berita di televisi, saya bisa mafhum karena kemacetan tadi disebabkan demo korban lumpur Lapindo.

Memang, tidak pernah disangka, dulu semburan kecil akibat semburan lumpur di areal eksplorasi salah satu sumur milik PT Lapindo Brantas, di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, pada 29 Mei 2006 masih menjadi tontonan. Hal tersebut berlangsung hingga sekitar tiga bulan. Material yang awalnya berupa zat cair itu lama-kelamaan menggenang, bercampur lumpur pekat, dan berbau gas. Itulah awal musibah yang menjadi derita berkepanjangan para warga yang terdampak lumpur tersebut.

Ribuan hektare areal sawah penduduk, ratusan dusun, perumahan, pabrik, hingga bangunan sekolah ikut tenggelam setelah terendam lumpur yang saat ini tingginya mencapai sekitar 12 meter. Tak ada yang tahu sampai kapan musibah yang konon disebabkan kelalaian dalam melaksanakan prosedur tersebut akan berakhir. Adakah ini sebuah peringatan dari Allah?

***

Selain melumpuhkan akses industri di Sidoarjo yang juga berdampak di beberapa wilayah di Jawa Timur, para anak-anak usia sekolah turut merasakan getirnya hidup di pengungsian. Mereka terpaksa belajar seadanya karena gedung sekolahnya tinggal terlihat atapnya saja.

Saat berkunjung ke daerah terdampak lumpur, hati ini semakin tak tega melihat para warga yang kebanyakan terdiri atas ibu-ibu dan anak-anak kecil itu berebut makanan. Terkadang, nasi bungkus yang mereka terima sudah basi. Mereka benar-benar kehilangan keceriaan yang terkubur bersama dengan tenggelamnya rumah mereka. Yang ada hanya wajah-wajah kosong, berusaha memperjuangkan kembali hak ganti rugi atas tanah atau rumah mereka. Juga, hak mendapat pendidikan buat anak-anak mereka yang tidak lagi bisa mengenyam pelajaran di gedung sekolah.

Yang sangat mengetuk nurani, puluhan pengungsi di Pasar Porong Baru saat ini mulai mengemis masal. Itu bisa dilihat di sepanjang jalur Porong-Sidoarjo. Mereka berjajar sambil membawa kardus dan poster meminta-minta kepada supir truk dan kendaraan yang melintas di jalan tersebut. Mereka mengaku terpaksa mengemis untuk makan. Salah seorang di antara warga itu mengatakan, ”Hanya uang dari ngemis ini kekayaan kami.”

Degup hati ini berdesir kencang membayangkan andai saya atau keluarga saya mengalami hal seperti mereka. Sungguh, ujian tersebut sangat berat. Namun, Allah tidaklah menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya. Tubuh ini merinding rasanya menyaksikan saudara-saudara saya tersebut mengemis sembari menengadahkan kardus-kardus yang mereka bawa, berharap ada makanan atau uang dari pengendara yang melintas.

Ya Allah, ya Rabb.. ketuklah jiwaku, buncahkan kasihku, bukalah mata hatiku atas penderitaan mereka yang aku sendiri belum tentu sanggup menerima cobaan seperti mereka. Semoga Allah melimpahkan kekuatan dan kesabaran kepada korban lumpur Lapindo.

Graha Pena, Mei 2008

Publikasi: Eramuslim 10 September 2008

Cerita di Atas Angkot Surabaya-Sidoarjo

Oleh: Eko Prasetyo

Perayaan hari lahir atau biasa disebut ulang tahun (ultah) sering kita jumpai di mana saja. Entah itu hari lahir negara atau HUT kemerdekaan maupun ultah seseorang. Bagi kalangan tertentu atau menengah –bahkan ada pula menengah bawah– merayakan ultah bisa dengan hura-hura dan pesta. Cara pandang seperti itu seakan sudah jadi tradisi di masyarakat awam kita.

Ada orang tua yang merayakan ultah anaknya dengan mengundang teman-teman anaknya. Tidak sedikit pula remaja yang merayakan ultahnya dengan party atau pesta dengan amat meriah. Namun, ada juga yang merayakan ultah bersama anak-anak di yayasan yatim piatu. Beragam jenis perayaan ultah menjadi pemandangan yang mudah dijumpai.

Di saat negara mengalami krisis ekonomi panjang seperti sekarang, tidaklah pantas kita merayakan ultah dengan meriah. Apalagi, merayakan ultah adalah budaya Barat yang telanjur diadopsi oleh kebanyakan masyarakat kita. Padahal, tambah umur berarti kita harus bijak. Sebab, bertambahnya usia adalah indikasi kontrak hidup kita di dunia akan semakin berkurang. Karena itu, sudah seharusnya manusia membiasakan dzikir maut atau mengingat kematian agar lebih giat beribadah. Bukan malah umur bertambah, tapi kelakuan semakin jauh dari tuntunan agama.

Ada pemandangan yang kerap saya ingat ketika ada rekan yang merayakan ultah di kantor kami. Ketika kue ultah sudah dipersiapkan, prosesi tiup lilin dilakukan. Setelah itu, para rekan-rekan lain beramai-ramai menyerbu kue tersebut secara berebutan. Hal itu sering saya saksikan. Terkadang, saya bertanya dalam hati, ”Apakah saya bisa ikut bergembira berebut kue, sementara di suatu waktu saya kerap menyaksikan orang miskin makan nasi basi yang dikeringkan?” Batin saya bergolak melihat ketimpangan-ketimpangan yang sering terjadi di lingkungan sekitar.

***

Bekerja pada malam adalah aktivitas yang rutin saya lakukan. Saya tak berani mengeluh pada diri sendiri. Sebab, tidak jarang, ada rekan kerja yang harus pulang pergi Surabaya-Malang dari kantor sehabis deadline. Ada pula kawan yang pulang pergi ke kantor dari Surabaya-Surabaya. Kalau mereka tidak pernah mengeluh, lantas kenapa saya mesti mengeluh? Alhamdulillah atas segala nikmat yang Allah berikan. Memang, hidup ini kita harus pandai-pandai bersyukur terhadap nikmat dari Allah SWT.

Suatu ketika, ada seorang rekan yang bercerita kepada saya saat dia pulang kerja ke Sidoarjo. Sehabis deadline, ada acara ultah rekan lain di kantor. Sedangkan kawan saya tersebut pada saat yang sama bergegas pulang. Karena tak bawa kendaraan, dia harus pulang naik angkot dari Surabaya menuju Sidoarjo. Jika dini hari, memang sulit angkot dijumpai. Kalaupun ada, menunggunya pun lama. Namun, kawan saya tersebut beruntung bisa cepat dapat angkot sehingga tidak perlu menunggu lama di pinggir jalan.

Dalam perjalanan itu, angkot tersebut tidak terisi penuh karena memang sepi penumpang. Saat berhenti sejenak di daerah Gedangan, Sidoarjo, ada seorang penumpang yang naik. Dia membawa beberapa lukisan kaligrafi berukuran sedang. Ternyata, penumpang tersebut adalah penjual lukisan kaligrafi. Kawan saya lantas bertanya kepada orang tersebut, ”Sudah berapa yang laku?” Pedagang kaligrafi itu menjawab bahwa seharian itu tidak ada lukisan kaligrafinya yang terjual sama sekali. Kawan saya tersebut sempat terhenyak sejenak dan merasa iba kepada penjual kaligrafi itu.

Setidaknya, saya mencoba mengambil hikmah di balik cerita sederhana dari kawan saya tadi. Kisah di angkot menuju Sidoarjo tersebut seolah menjadi reminder bagi saya. Betapa kita harus bersyukur terhadap anugerah dan nikmat Allah. Saya jadi sedih manakala teringat di ruang kantor ada suasana gembira hura-hura dalam cara ultah, sedangkan di saat yang sama ada penjual kaligrafi yang dagangannya belum laku sama sekali. Saya berpikir, bagaimana pedagang tersebut bisa makan padahal dia belum mendapatkan penghasilan pada saat itu.

Saat ini, kesenjangan sosial begitu nyata. Yang kaya makin kaya, yang duafa dan miskin makin terimpit. Bagi orang yang ekonominya mapan, terpaan krisis tak akan terasa pengaruhnya. Namun, bagi rakyat jelata, bisa makan sehari satu kali adalah anugerah yang amat besar. Subhanallah. Betapa saya tak bisa membayangkan jika perayaan ultah semakin membudaya. Pesta makan-makan begitu meriah dengan uang yang dikeluarkan tentunya tidak sedikit.

Apakah kesenjangan sosial itu kita biarkan saja? Apakah mata hati kita harus tertutup melihat ketimpangan-ketimpangan yang terjadi? Haruskah kepekaan sosial itu sekadar angin lalu? Mudah-mudahan pada usia ke-26 ini saya tak ikut tergiur dengan perayaan-perayaan semacam itu. Sebab, di kala hati resah, ketika pikiran gundah, hanya Allah lah tempat berserah dan mencurahkan hati yang sempurna.

Terbit: Eramuslim, 11 Juli 2008

Antara Teman dan Sahabat


SENJA: Aku (berkaus biru muda) berharap amal kan jadi sahabat sejatiku.

Oleh: Eko Prasetyo

Harga sebuah persahabatan sangat mahal. Sebab, sahabat sejati yang siap hadir di kala kita senang dan di saat kita membutuhkannya sangat sulit dijumpai. Apalagi di zaman serba digital dan pesatnya teknologi seperti sekarang. Nilai sebuah pertemanan dan jabat erat banyak dilihat dari kedudukan serta materi seseorang.

Kawan akan ada ketika kita mengundangnya di sebuah perjamuan atau pesta. Di saat uang kita berlimpah, dia siap menemani dan menebar tawa canda bersama. Namun, kala sakit mendera dan susah menyapa, tak satu pun di antara mereka yang menengok dan membesarkan hati. Marah? Itu hal yang sia-sia.

Maka, dalam memilih seseorang untuk dijadikan sahabat, kita sudah selayaknya untuk selektif. Sahabat sejati adalah sosok yang selalu mengingatkan akan kebaikan. Dia ada di sisi kita, baik ketika senang maupun di kala sedih. Persahabatan tidak kenal dengan kata putus. Dalam hal mengingatkan kesabaran dan kebaikan, nilai persahabatan ada sampai maut memisahkan raga dari jasad. Bahkan, saat kita sudah mati pun, sahabat siap menyalatkan dan mendoakan layaknya keluarga.

Namun, tak sedikit yang tergelincir karena teman. Ada seseorang yang awalnya baik, ketika berteman dengan pemabuk atau tukang judi, saat terpengaruh dan tak kuat iman, dia pun bisa berubah menjadi tidak baik. Bahkan, di antara masyarakat sekarang pun, banyak yang salah dalam pergaulan. Akibatnya, banyak remaja putri yang hamil di luar nikah, tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan lain-lain. Semua itu bukan saja disebabkan lemah iman, tapi juga cara yang salah dalam bergaul. Gaya hidup hedonisme dan bebas ala Barat mulai diterjemahkan sebagai sesuatu yang baik untuk diadopsi. Bahkan, pacaran di tempat umum seolah dianggap sesuatu yang biasa. Efeknya, timbul zina. Naudzubillahi mindzaalik.

***


Ji, demikian saya biasa menyebut salah seorang sahabat saya yang bernama Darmaji. Dia bukan rekan sekantor. Juga bukan orang yang suka berpenampilan rapi. Dia cuma tukang bakso keliling yang sudah menjadi langganan saya di kampung. Namun, banyak hal yang membuat saya angkat topi dan bersyukur mengenalnya.

Suatu sore, saya hanya menjumpai rombong (gerobak) baksonya saja, sedangkan yang jualan entah ke mana. Sekitar tujuh menit menunggu, akhirnya Ji muncul. ”Nang endi ae (ke mana saja)?” tegur saya. ”Sik Asharan Mas. Sampeyan wis sholat ta (Baru salat Ashar. Mas sudah salat)?” jawabnya. Seketika kejengkelan saya karena menunggu berubah mendengar jawaban Ji. Saya malu karena sudah su’udzan kepadanya, apalagi saya sendiri juga belum salat Ashar. Astaghfirullah. Saya bergegas ke musala untuk salat dahulu dan memesan semangkuk bakso kepada Ji.

Usai salat, saya kemudian kembali bertanya ke Ji, apakah dia tidak takut kehilangan uang setoran bila rombong (gerobak)nya ditinggal agak lama. ”Rezeki wis ono sing ngatur, Mas,” jawabnya polos. Dia hanya tukang bakso yang SD saja tidak lulus. Tapi, keyakinannya dan tak alpa untuk salat meski bekerja berkeliling jualan bakso membuat saya kagum. Kerja tetap kerja, namun jika sudah waktu salat, ya harus melaksanakannya. Bukankah memang rezeki telah Allah atur sesuai dengan ketetapan-Nya? Subhanallah.

Karena pengetahuan Ji tentang Islam cukup baik, saya tak jarang bertanya seputar agama yang saya sebelumnya tidak tahu. Alhamdulillah, dari Ji, saya banyak mengambil hikmah dan ilmu. Keakraban kami sebagai sahabat tidak terbatas pada saat bersua saja. Ketika saya jatuh sakit, sebuah sms dari Ji masuk dan mendoakan agar saya lekas sembuh. Subhanallah walhamdulillah, perhatian dari seorang sahabat mampu membuat semangat saya tumbuh kembali.

Rasulullah SAW bersabda: ”Seorang muslim itu adalah saudara muslim lainnya. Dia tidak boleh menzaliminya dan menghinakannya. Barang siapa yang membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan memenuhi keperluannya. Barang siapa yang melapangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan satu kesusahan di antara
kesusahan-kesusahan hari kiamat nanti. Dan barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” (Shahih Muslim).

Suatu ketika, Ji mengabarkan kepada saya bahwa istrinya di desa telah melahirkan putra pertama mereka. Tentu saja, saya ikut senang mendengar kabar bahagia tersebut. Tak lupa, saya mengucapkan selamat karena dia telah menjadi bapak. Tiada henti Ji berucap hamdalallah dan senyum syukur. Rendah hati dan menunjukkan sikap sebagai ikhwan yang sederhana. Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya mengingatkan seperti ”wis sholat ta? masih dia lontarkan ketika kami bertemu atau saat saya membeli baksonya.

Alhamdulillah, nikmatnya bersahabat jika saling mengingatkan tentang berbuat kebaikan. Bahwa persahabatan itu tidak memandang kasta dan kedudukan seseorang. Islam selalu mengajarkan kita untuk pandai bersyukur atas nikmat Allah. Seperti firman Allah: ”Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152).

Jatuhan daun dari pohon trembesi yang menguning di beberapa sudut jalan terhampar seperti musim semi. Beberapa di antara jalan itu sering kami lalui bersama. Ji menyusuri jalan itu dengan berjalan kaki dan mendorong rombongnya, sedangkan saya melewati jalan tersebut dengan kendaraan pribadi. Namun, ikatan persahabatan menjadikan kami lebih dari sekadar saudara. Dari hadis riwayat Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kamu saling membenci, saling mendengki dan saling bermusuhan, tetapi jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal seorang muslim mendiamkan (tidak menyapa) saudaranya lebih dari tiga hari. (Shahih Muslim). Wallahu ‘alam bishshawab.

dimuat: Eramuslim 5 Mei 2008

Shalat sebelum Dishalati




Oleh: Eko Prasetyo

Dini hari itu, ruang kerja kami sudah lengang. Hanya tertinggal saya dan beberapa rekan saja yang masih berada di kantor. Seusai deadline, biasanya hal yang sangat saya sukai adalah memandang keluar dari balik kaca kantor. Ditemani secangkir kopi, saya berkontemplasi dan mencatat dalam memori apa-apa saja yang akan saya evaluasi. Saya tertegun sejenak saat membaca buku tentang shalat. Betapa selama ini banyak orang mengerjakan shalat, tapi belum sepenuhnya paham esensi salah satu rukun Islam tersebut.

Jika ditelaah, shalat adalah ibadah yang menyehatkan. Shalat membawa banyak manfaat yang luar biasa. Salah satu manfaatnya, shalat bisa memperlancar peredaran darah. Maka, sudah semestinya kita bersyukur karena Allah mewajibkan setiap muslim untuk shalat. Tidak lain, hal tersebut bertujuan demi kebaikan hamba itu sendiri.

Zaman semakin modern, semakin banyak pula orang mengesampingkan ibadah shalat. Ada saja alasan untuk tidak shalat. Pekerjaan yang menyita perhatian, pikiran, dan tenaga dijadikan alasan melalaikan shalat. Masya Allah.

Banyak orang mengaku muslim, tapi rukun Islam tentang shalat sering diabaikan dan tidak dikerjakan. Saya pernah mendengar ada orang yang mengatakan bahwa tidak shalat tidak apa-apa yang penting beramal baik. Astaghfirulah, dari mana pemahaman seperti itu?

Allah berfirman: ”Apakah yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) saqar ini?. (Mereka menjawab) kami dahulu termasuk orang-orang yang tidak menunaikan shalat.” (Al-Mudatsir 42–43).

Sudah pasti bahwa siksa Allah itu pedih. Meninggalkan shalat dengan sengaja pun termasuk dosa besar. Tidak ada pengecualian untuk meninggalkan shalat kecuali tiga hal. Yakni, anak kecil hingga baligh, tertidur hingga bangun, orang gila hingga sembuh atau orang yang sudah meninggal. Nah, jelaslah bahwa shalat itu tidak boleh ditinggalkan dengan alasan apa pun. Maka, takutlah jika kita meninggalkan shalat.

Rasulullah SAW bersabda: ”Seringan-ringannya siksa pada hari kiamat ialah orang yang padanya diletakkan dua batu bara api neraka di bawah tumitnya yang mampu mendidihkan otaknya. Pada saat itu, dia merasa bahwa tidak seorang pun yang lebih kuat siksaan yang diterimanya dibandingkan orang lain. Padahal, sesungguhnya itulah siksaan yang seringan-ringannya (HR Bukhari dan Muslim).

***

Dalam suatu perjalanan ke masjid untuk shalat Jumat, saya tertegun karena di jalan masih begitu ramai. Aktivitas orang-orang pun masih berlanjut. Saat azan diperdengarkan, masih banyak orang yang nongkrong di warteg. Masih banyak orang yang sibuk belanja di mal atau pusat perbelanjaan. Tidak sedikit pula orang yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Suara panggilan shalat ternyata masih banyak direspons secara cuek. Padahal, mereka sadar bahwa shalat adalah kewajiban. Shalat juga merupakan tiang agama. Siapa yang menunaikan shalat, dia telah menegakkan tiang agama. Dan siapa yang meninggalkan shalat, dia telah merobohkan tiang agama.

Dalam suatu kesempatan lain, saya menghadiri pemakaman tetangga kampung kami. Tampak, beberapa anggota keluarga si jenazah larut dalam kesedihan. Setelah dimandikan dan dishalati, kami mengantarkan almarhum sampai di makam. Kami ikut memanjatkan doa dan setelah itu kembali lagi ke rumah.

Saya tertegun dan berpikir, ”Inilah (kuburan) rumahku kelak.” Orang kalau sudah mati tidak akan bisa apa-apa. Dia tidak membawa apa-apa, kecuali kain kafan. Putus sudah semua amalan di dunia jika maut telah menjemput. Yang tertinggal hanya tiga perkara. Yakni, amal saleh (jariyah), ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.

Malam-malam di kantor, saya kembali merenung, betapa banyak dosa yang telah saya perbuat. Betapa dhaif dan lemahnya manusia sebagai hamba ALlah. Sebab, tiadalah manusia bisa berbuat apa-apa selain karena pertolongan Allah Yang Maha Perkasa. Dalam qiyamul lail, tak sengaja mata saya basah. ”Bisa apa aku kelak sesudah mati?. Sebab, semua ini hanyalah titipan-Mu ya Allah..”

Fajar hampir menjelang di balik kaca kantor. Dingin dan sepi. Lidah ini seakan beku tak tahu harus berucap syukur apa lagi. Dua rakaat Subuh begitu terasa damai dan nikmat. Lalu, mengapa masih banyak kaum di antara kita meninggalkan shalat dengan sengaja? Betapa sebenarnya Allah itu benar-benar maha pengasih dan penyayang. Namun, kebanyakan hamba-hamba-Nya lupa akan segala curahan nikmat dan anugerah-Nya. Padahal, jika mati, kita tidak akan membawa jabatan, keluarga, apalagi harta.

Jangan sampai kita menyesal di kampung akhirat nanti hanya karena terus memikirkan duniawai. Sebab, dunia hanya persinggahan sejenak dan penuh senda gurau. Allah SWT berfirman: ”Sesungguhnya, Kami telah memperingatkan kepadamu akan (terjadinya) azab yang dekat pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya. Dan orang kafir berkata: ”Aduhai! Sekiranya aku menjadi tanah!” (An-Naba’: 40).


dimuat: Eramuslim 8 Juli 2008

Kabar dari Meulaboh



Oleh: Eko Prasetyo

Dini hari selepas kerja, saya sempatkan kembali membuka e-mail. Ingatan ini tak sengaja terbawa pada curahan hati seorang sahabat seusai bertugas di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sekian tahun silam. Dia bukan orang asli Aceh, hanya seorang sukarelawan dari sebuah LSM di Surabaya yang pernah dikirim ke sana selama beberapa bulan pasca musibah tsunami 2004. Memang, tragedi tersebut sempat membuka mata dunia serta menjadi headline di media cetak/elektronik nasional dan internasional selama beberapa bulan. Aceh berduka.

Tepat pada 26 Desember 2004, terjadi bencana dahsyat yang juga merupakan tragedi internasional waktu itu. Gempa bawah laut yang mengakibatkan tsunami mengguncang Bumi Serambi Makkah. Episenter atau pusat gempa terjadi di sebelah utara Pulau Simelue. Tak terbayangkan, tak sampai sekian jam, hampir separo Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilanda air bah yang menewaskan ratusan ribu penduduk tersebut.

Patahan bumi yang menjadi sumber gempa di Samudera Hindia, lepas pantai barat Aceh, mengakibatkan kerusakan luar biasa. Tak hanya tanah rencong yang dataran rendahnya tenggelam, tapi beberapa negara juga ikut terkena dampaknya seperti Malaysia, Thailand, Srilanka, Pakistan, India, Bangladesh, hingga Maladewa.

Tak pelak, tangisan pilu, rintihan korban yang sekarat, mayat yang bergelimpangan di mana-mana, tanah yang rata dengan tanah dan porak poranda menjadi pemandangan yang menyayat hati. Jika Allah berkehendak atas segala sesuatu, maka apa yang Dia kehendaki pasti terjadi. Allahu akbar..

Kini, peristiwa itu telah berlalu. Perbaikan infrastruktur telah dilakukan di Bumi Serambi Makkah. Namun, kepiluan dari bencana itu masih menyisakan kenangan pahit yang cukup dalam terhadap korban selamat, termasuk para relawan yang dikirim ke sana.

***

Sahabat saya mengisahkan sebuah pengalaman yang tak bisa dia lupakan seumur hidup saat bertugas ke Aceh pascabencana tsunami. Kebetulan, dia dan beberapa relawan lainnya berada di Kota Meulaboh yang sekitar 80 persen infrastrukturnya hancur.

Allah menampakkan kebesaran dan keagungan-Nya. Terbukti, meski kondisi sebagian besar rumah di tanah rencong rata dengan tanah, bangunan Masjid Rahmatullah yang berada di Kampung Lhoknga, Kecamatan Aceh Besar, selamat dan berdiri kukuh. Masjid dengan tiga kubah yang didirikan pada 12 September 1997 itu mampu bertahan meski sudah digelontor amukan gelombang tsunami yang amat dahsyat. Karena letaknya di tengah lembah dan di kala seluruh bangunan di sekitarnya rebah, masjid bercat putih tersebut bila dipandang dari kejauhan tampak mengapung ke udara. Subhanallah.

Seusai bertugas, sahabat saya tersebut masih sering mengisahkan pengalamannya lewat e-mail. Sahabat kami tersebut menuturkan betapa trauma sangat memengaruhi warga yang selamat. Rasa ngeri melihat jasad-jasad yang terkadang sudah tak utuh lagi sangat menguji batas toleransi keberanian. Rasa sosial dan nurani seorang sukarelawan diuji manakala harus mengevakuasi mayat-mayat korban.

Perasaan jijik dan mual saat memindahkan jenazah untuk dikubur secara masal seolah tak lagi menemani sahabat tersebut. Dia seakan telah terbiasa dengan hal itu setelah berhari-berhari menghabiskan waktu di sana.

Pernah, dia bertemu dengan seorang korban selamat di Meulaboh. Sang korban yang masih remaja itu tak henti berteriak dan menangis karena mengalami trauma hebat. Dia tak hanya mengalami luka hebat pada kakinya akibat tsunami. Tapi, dia juga harus kehilangan kedua orang tua dan saudaranya yang tewas diterjang air bah. Remaja itu seraya menangis meminta sahabat saya dan beberapa relawan lain yang ada di situ untuk membunuhnya saja karena merasa telah kehilangan segalanya dan tak mampu menanggung beban penderitaan tersebut. Tentu saja, hati manusia mana yang tak tersentuh dengan kejadian yang menimpa remaja tersebut. Pastilah, banyak korban-korban lain yang bernasib sama seperti yang dia alami. Subhanallah.

***

Gelombang dahsyat yang menyapu bumi Aceh pada 2004 meninggalkan duka mendalam bagi bangsa Indonesia. Bantuan logistik, obat-obatan, medis, serta dukungan moral tak cukup untuk memulihkan trauma para korban selamat yang kehilangan sanak famili mereka.

Namun, Allah adalah sebaik-baik tempat kita kembali. Allah Yang Mahagagah Perkasa jauh lebih berhak menentukan atas nasib kita, hamba-hamba-Nya yang dhaif.

Kita kadang terlampau angkuh berjalan di atas bumi Allah. Kita alpa bersyukur dan memelihara bumi dengan sebaik-baiknya. Saat senang, kita lupa pada Ilahi. Tapi, ketika ditimpa musibah kita baru memohon ampun dan mengucap istighfar. Segala nikmat lewat akal dan hati yang diberikan Ar Rahman rupanya tak cukup menggerakkan kalbu kita untuk mengucap syukur dan ampunan.

Lantas, pantaskah kita menyalahkan bahwa Allah tidak adil ketika musibah melanda negeri kita bertubi-tubi, baik yang disebabkan oleh alam maupun kelalaian manusia? Sungguh, kitalah sebenarnya yang terkadang kerap memperlakukan Allah tidak adil.

Cinta sejati lahirnya dari dalam hati yang bersih. Yang datang saat kedua tangan menengadah bermunajat berharap ampunan. Air mata yang jatuh karena mengingat dosa dalam keheningan malam menjadi untaian kasih mesra. Cinta sejati bukannya tak ada. Sebab, Ia begitu dekat, sangat dekat...saat kita bersujud.

Semoga bencana tsunami beberapa tahum silam dan musibah-musibah lainnya yang melanda negeri ini membuat kita sadar bahwa diri kita kecil, bukan apa-apa. Apa yang kita punya tak lebih dari sekadar debu titipan yang akan diminta kembali kelak saat tiba masanya. Mati pun manusia hanya berkawan kain kafan. Hanya kerendahan hati dan setangkup cinta kepada Allah lah yang mampu menyelamatkan kita dari penyakit menghamba duniawi.

Yaa Hayyu, Yaa Qayyum..
diri ini tak luput dari noda dosa
ampunilah kami yang khilaf dan kufur atas segala nikmat-Mu
selamatkanlah kami dari segala marabahaya dan bencana, amiin..


Graha Pena, Mei 2008

dimuat: Eramuslim, 5 Mei 2008

Di Sudut Terminal Bungurasih



Oleh: Eko Prasetyo

Cukup mengharukan perkenalan saya dengan salah seorang pengamen cilik di Terminal Bungurasih, Surabaya. Saat itu, saya hendak pergi ke Malang. Sengaja tidak memakai kendaraan pribadi, saya ingin berangkat ke sana naik angkutan umum saja waktu itu.

Hidup di terminal seperti hidup di ibu kota. Itulah yang saya tangkap dari kisah seorang pengamen cilik tersebut. Awalnya, saya yang masih di luar terminal ingin mencari makan di sebuah warung. Menu rawon akhirnya menjadi pilihan saya siang itu. Sedang asyik menikmati santap siang, ada bocah laki-laki sekitar tujuh tahun ngamen di warung itu.

Berbekal suara fals dan alat musik bikinan sendiri (dari tutup botol dan kayu kecil), dia mulai beraksi. Alat musik itu biasa saya sebut ecrek-ecrek karena bunyinya memang mirip begitu. Meski demikian, tidak ada yang peduli dengan nyanyian bocah itu. Namun, tampangnya yang agak dekil dan masih memakai celana sekolah membuat saya iba.

Salah seorang pengunjung yang juga makan di warung itu nyeletuk kepada bocah tersebut, ”Sing liyane ae, prei disik (Yang lain aja, lewatin dulu).” Tapi, pengamen cilik itu masih tetap berdiri. Sejenak, dia tidak bernyanyi, tapi melihat orang-orang yang makan di situ, termasuk saya. Tentu saja, saya jadi perasaan karena dilihat oleh anak kecil yang mungkin belum makan. Selang beberapa lama, saya memberi dia uang 500 perak. Kemudian, dia ngeloyor pergi.

Tidak ingin menjadi perhatian orang sekitar, saya juga pesan nasi campur yang dibungkus plus es teh. Bocah itu masih tampak mengamen di warung nasi lainnya. Setelah menunggu dia selesai ngamen beberapa saat, saya memanggil bocah itu. Saya kemudian menyerahkan bungkusan nasi tersebut kepadanya. Dia agak takut melihat karena saya mungkin masih asing bagi dia.

Suasana di antara kami pun jadi gayeng (akrab). Singkatnya, bocah itu mengatakan tinggal di kawasan Medaeng, Sidoarjo. Dia mengaku, sepulang sekolah biasanya langsung mengamen di Terminal Bungurasih.

”Kenapa ora ngamen nang kampung?” tanya saya kepadanya.
”Emoh Mas. Wonge pelit-pelit (Orangnya pelit),” jawabnya.
”Buat apa kamu ngamen?” tanya saya lagi.
”Buat jajan Mas,” ujarnya.

Saya lantas tersenyum mendengar jawaban polos dari anak laki-laki itu. Tak berapa lama kemudian, saya menuju bus jurusan Surabaya-Malang. Di bus, saya mencatat di jurnal pribadi tentang kisah perjalanan saat itu. Tentang kehidupan pengamen di kota, mereka sama seperti kita, mencari makan meski dengan jalan mengamen. Ada pula pengamen yang nyambi jadi copet. Namun, tak sedikit pula yang benar-benar mengamen hanya untuk mencari uang. Sering, para pengamen itu menghadapi ujian mental. Misalnya, tuan rumah menutup pintu erat-erat meski tahu ada pengamen di luar. Kadang, di bus, orang pura-pura tertidur saat ada pengamen yang menyodorkan bungkusan tempat uang.

***

Sebelum berpisah, pengamen kecil tadi sempat mengatakan bahwa dia ingin seperti bocah-bocah sebayanya tanpa harus mengamen di jalanan atau terminal. Dia menuturkan sangat ingin bisa makan di warung seperti pengujung lainnya. Namun, dia hanya bisa terus menyanyi dan menatap kosong para pengunjung yang lahap dengan makanan mereka. Mendengar itu, hati saya tersentuh.

Saya berpikir, mungkin banyak anak-anak seperti dia. Mereka pun membutuhkan uluran tangan kita dan perhatian dari pemerintah. Pendidikan yang semakin mahal dan sulit terjangkau bagi mereka adalah tugas kita untuk ikut membantu meringankan beban mereka. Sebab, para pengamen cilik itu juga merupakan tunas bangsa. Karena itu, mari kita budayakan zakat dan infaq untuk merajut kasih dengan Allah SWT. Ini semua perlu kita lakukan demi meringankan beban saudara-saudara kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Wallahu ’alam bishshawab.

dimuat: Eramuslim, 3 Agustus 2008

Selembar Kertas Kontrak

Oleh: Eko Prasetyo

Betapa sulit mencari kerja sekarang. Sempitnya lapangan kerja menambah deret angka pengangguran. Apalagi, tingkat persaingan semakin tinggi dengan bertambahnya lulusan sekolah menengah atas ataupun perguruan tinggi yang mencari kerja. Itu masih ditambah dengan belum stabilnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Tak heran banyak pengangguran intelektual (sarjana) di negeri ini. Jika sarjana di negeri ini masih banyak yang menganggur, bagaimana dengan mereka yang berpendidikan rendah?

Kadang, tak jarang kita jumpai bahwa banyak warga Indonesia yang terpaksa merantau ke negeri orang untuk mencari sesuap nasi. Mereka bekerja sebagai pembantu ataupun buruh di negara tetangga karena merasa sudah mentok mencari kerja di negeri sendiri. Para pahlawan devisa itu tak jarang pula mendapatkan aniaya dari majikan yang kadang bisa saja merengut nyawa mereka. Meski, tak sedikit di antara mereka yang sukses membawa hasil keringat saat pulang ke tanah air.

Di saat lapangan kerja semakin sulit didapat, tak jarang ketika sudah bekerja pun hak-hak pekerja atau karyawan kurang diperhatikan karena terbentur birokrasi perusahaan. Pernah, saat kebetulan melintas di suatu kawasan industri di Sidoarjo, saya melihat sekelompok buruh berdemo. Pemandangan seperti itu sering saya lihat, baik di televisi ataupun melihat secara langsung. Para buruh pabrik tersebut tidak hendak mengancam perusahaan atau sengaja membuat macet jalan. Mereka hanya memperjuangkan hak-hak mereka ketika perusahaan kurang memperhatikan kesejahteraan pegawainya.

Sekarang ini, di setiap perusahaan banyak menerapkan sistem kontrak kerja kepada para karyawannya. Ada karyawan yang dikontrak cuma setahun, ada pula yang dikontrak selama dua tahun. Ada juga buruh yang hanya dikontrak selama enam bulan. Bahkan, tidak sedikit perusahaan yang menerima karyawan lewat perusahaan outsourch. Bisa dipahami jika banyak sekali buruh yang merasa waswas, bekerja tidak tenang, dan bingung ketika menjelang kontrak kerjanya habis.

Pernah, saya terenyuh mendengar kisah tetangga saya. Dia mendatangi saya dan menceritakan bahwa dia baru saja mengalami pemutusan kontrak kerja. Sebagai buruh pabrik yang berpendapatan kurang dari Rp 800 ribu, dia merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, dia harus menghidupi istri dan seorang anaknya. Dalam keadaan bingung dan kalut, dia meminta tolong kepada saya untuk membantu mencarikan lowongan kerja. ”Kerjo opo ae aku gelem Mas (Kerja apa saja saya mau Mas),” tuturnya. Saya sempat terdiam dan tak tahu harus menjawab apa kepada tetangga saya tersebut. Saya termenung sejenak karena berpikir bahwa wong saya ini juga buruh. ”Insya Allah Pak. Saya usahakan membantu mencarikan info kerja. Tapi, saya ndak janji bisa mendapatkan secepatnya buat sampeyan,” jawab saya.

Mungkin, tidak sedikit orang yang mengalami hal seperti tetangga saya tadi. Saya semakin prihatin manakala membaca berita ada seorang buruh pabrik wanita yang menangis karena dikeluarkan. Bahkan, dia mengatakan telah memberi uang kepada salah seorang staf agar tidak dikeluarkan dari perusahaan itu. Dia mengaku berbuat demikian demi bisa diperpanjang kontraknya. Ketika uang sudah diserahkan, janji untuk diperpanjang tak terealisasi. Rasa sedih, kecewa, dan kalut bercampur jadi satu di hati wanita tersebut. Masya Allah. Betapa susahnya mencari sesuap nasi hingga persaingan pun menimbulkan iklim tidak sehat di dunia kerja. Seolah-olah, rezeki dan nasib seseorang itu bisa ditentukan oleh selembar kertas kontrak kerja. Astaghfirullah.

Bekerja adalah ibadah. Namun, banyak orang yang memaknai esensi kerja hanya untuk kebutuhan dapur dan perut belaka. Sehingga, banyak dijumpai orang yang putus asa karena masalah kerja. Padahal, masih banyak jalan jikalau kita mau berusaha. Masih banyak cara untuk mencari rezeki di bumi ini. Allah berfirman: ”Kami telah menjadikan untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan. Tetapi, sedikit sekali kamu berterima kasih.” (QS Al-A’raf: 10). ”Maka menyebarlah di bumi dan carilah rezeki dari keutamaan Allah.” (QS Al-Jum’ah: 10).

Keterpurukan ekonomi negeri ini disebabkan oleh semakin merajalelanya para koruptor. Utang negara semakin menumpuk, ditambah semakin lunturnya moralitas sebagian pemimpin. Negeri yang kaya sumber daya alam ini ternyata tak mampu menghidupi penduduknya karena dirusak dan dikeruk habis-habisan tanpa usaha diperbarui. Tak salah, kelaparan dan kemiskinan di negara ini semakin menjadi-jadi. Pembenahan moral bangsa dan etos kerja yang baik harus segera dilakukan agar negeri ini tidak dijajah oleh pemimpin korup. Jangan lagi menambah rakyat kita menderita karena sulitnya mencari sesuap nasi. Di luar sana, banyak wajah muram para buruh dan pencari kerja. Mereka tak berharap apa-apa, kecuali merindukan hidup di negeri yang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.


Graha Pena, Juli 2008
(di tengah kesendirianku menikmati hangatnya cahaya rembulan)
dimuat: Eramuslim (17 Juli 2008)

Dengan Jilbab, Cantik di Dunia dan Akhirat



Oleh: Eko Prasetyo

Berkah terbesar dari Allah SWT adalah iman dan hidayah. Salah satu di antaranya adalah hijab. Tidak ada anugerah dan pertolongan terhadap seorang perempuan yang lebih besar daripada petunjuk dan hijab. Allah SWT berfirman: ”Janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang nampak daripadanya” (QS An-Nur: 31).

Betapa indah Islam mengatur segala sesuatu bagi kemaslahatan umat manusia. Jikalau mau disadari dan dipahami, peraturan dan perintah Allah itu diberikan untuk kebaikan hamba-Nya sendiri. Tak terkecuali, perempuan. Diperintahkan, seorang muslimah harus menghijab dirinya dengan sempurna. Karena itu, berjilbab menjadi wajib hukumnya bagi setiap akhwat atau perempuan muslim.

****

Akhir 2007 membawa kenangan tersendiri bagi saya pribadi. Ketika itu, di beberapa wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah dilanda banjir hebat. Penyebabnya, Sungai Bengawan Solo meluap. Memang, meluapnya sungai tersebut disebabkan hujan yang tak kunjung reda hingga berhari-hari waktu itu. Tak pelak, wilayah sekitar sungai tersebut bisa dipastikan terendam banjir.

Hanya ada satu pintu air untuk Bengawan Solo, yakni di Jawa Tengah. Karena itu, beberapa daerah di Jatim yang dialiri sungai tersebut kena dampak banjir yang merupakan bencana akhir tahun itu. Selain Solo, Blora, dan Cepu, beberapa kota di Jatim seperti Ponorogo, Ngawi, Magetan, Madiun, Trenggalek, Tuban, dan Lamongan dilanda banjir besar. Namun, yang tak bisa saya lupakan hingga sekarang adalah banjir di Bojonegoro.

Bantuan makanan dan obat-obatan dari para donator segera dikerahkan di wilayah-wilayah tersebut. Sayang, saya tak bisa menjangkau ke Kota Bojonegoro yang dua pertiga wilayahnya kena banjir paling parah. Pasalnya, akses masuk ke kota itu sulit karena jalan masuk ke sana di Lamongan dan Tuban juga dilanda banjir parah.

Evakuasi terhadap warga yang menjadi korban banjir intens dilakukan. Di daerah yang sulit terjangkau tim relawan dari sipil dan militer, beberapa warga terpaksa mengevakuasi anggota keluarga mereka sendiri. Hujan yang turun berhari-hari, ditambah meluapnya Bengawan Solo, membuat rumah-rumah warga korban banjir hanya terlihat gentingnya.

Banjir luapan Bengawan Solo menyisakan kisah mengharukan. Seorang rekan wartawan merekam kisah seorang korban. Yati, seorang ibu asal Cepu, berhasil menyelamatkan dua anaknya dengan menumpang perahu milik tetangganya. Selain kedua anaknya, dia sempat membawa seekor kambingnya. Nahas, perahu yang mereka tumpangi diterjang arus deras dan terbalik ke sungai. Bisa menguasai diri, Yati berupaya mengejar kedua anaknya yang terbawa arus sungai. ”Saya teriak-teriak minta tolong dan terus menyebut asma Allah, tapi tidak ada yang menolong. Saat itu sekitar pukul 23.30,” tuturnya.
Beruntung, lanjut Yati, anaknya tersangkut di tanaman yang dia sendiri tidak tahu apa namanya sehingga dapat dia gapai. Sedangkan kambingnya terus meluncur bersama derasnya air dan hanyut ke Bengawan Solo.

Bencana banjir akibat luapan Bengawan Solo akhir tahun lalu benar-benar dahsyat. Namun, di Bojonegoro itulah saya tak henti mengucapkan tasbih. Seorang ibu paro baya yang terjebak di area banjir berhasil menyelamatkan diri setelah bergantung di potongan kayu. Ketika bisa diselamatkan oleh warga, sang ibu itu tak membawa apa-apa kecuali Alquran kecil dengan tetap memakai jilbab besar meski basah kuyup. ”Saya sudah pasrah ketika itu,” akunya.

Subhanallah, berjuang saat menghadapi maut, ibu itu masih sempat menyelamatkan Alqurannya. Dalam kondisi bertaruh nyawa, beliau pun mampu bertahan dengan kehormatannya sebagai muslimah: memakai jilbab. Kejadian-kejadian tersebut tidaklah kecil dan sederhana jikalau kita menangkapnya sebagai sebuah pertanda kebesaran Allah.

***

Dalam berbagai kesempatan, entah di kampung, mal, pasar, kampus, ataupun kantor, saya banyak mencatat hal yang kontradiktif di sekitar. Hal tersebut adalah masalah jilbab. Di negara yang mayoritas warganya adalah muslim ini, jilbab masih dipandang sebagai pelengkap atau aksesori dalam berbusana bagi perempuan. Gaya hidup glamor ala Barat ditambah pemahaman terhadap agama yang kurang membuat sebagian masyarakat memandang sebelah mata masalah jilbab. Tak heran, masih banyak perempuan muslim mengenakan jilbab, tapi lekuk tubuhnya masih terlihat. Masya Allah.

Saya sangat tidak sependapat bahwa busana muslimah itu harus fashionable atau mengikuti mode. Sebab, hal ini bisa mengaburkan esensi kewajiban berjilbab. Bila ini terjadi, perempuan bisa mengenakan jilbab sambil memakai kaus dan celana ketat. Astagfirullah. Ini sudah banyak terjadi di masyarakat kita. Mulai remaja putri, mahasiswi hingga ibu-ibu. Padahal, jilbab secara sempurna adalah keharusan bagi seorang muslimah, bukan pilihan. Dalam Alquran Allah SWT berfirman: ”katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya..” (QS Al-Ahzab: 59).

Pengalaman ibu berjilbab besar yang selamat dari musibah banjir Bojonegoro tadi adalah salah satu contoh bagaimana seharusnya seorang perempuan menjaga kehormatannya. Jangan lagi perempuan memperturutkan keindahan nafsu dan ego dengan memakai pakaian secara serampangan yang memamerkan tubuhnya. Apa artinya dipuji karena memamerkan tubuh indah jika itu sangat dimurkai Allah SWT.

dimuat: Eramuslim (17 Juni 2008)

Komplain Seorang Guru

Kilas: Eko Prasetyo

Pada 16 September 2008, Indonesia berkabung atas tewasnya 21 orang yang antre zakat di rumah H Syaikhon di Pasuruan. Demi mendapatkan Rp 30 ribu, mereka rela berdesakan, pingsan, bahkan hingga kehilangan nyawa. Bersamaan dengan kejadian itu, saya menerima e-mail tentang pendapat seorang guru SMP swasta di Surabaya.

Beliau menyampaikan keprihatinannya bahwa banyak guru di sekolah swasta atau negeri yang bukan berasal dari jalur kependidikan (SPd). Secara tegas, beliau mengatakan tidak setuju (bisa disebut tidak rela) bila guru berasal dari non kependidikan.

"Bedakan antara mengajar dan mendidik. Pokoknya, guru harus dari sarjana pendidikan," tuturnya.

"Iya, saya tahu esensinya, Pak. Tapi, banyak kita temukan bahwa kompetensi seorang guru lulusan non kependidikan tidak kalah dengan mereka yang bergelar SPd," jawab saya.

Saya lantas berkisah tentang dua rekan saya. Si A adalah lulusan pendidikan (SPd), sedangkan si B seorang sarjana sastra. Kedua-duanya memiliki pengetahuan dasar dan skill mengajar hampir sama baiknya. Saat melamar di sebuah sekolah internasional di Surabaya, si A tidak diterima. Sedangkan kawannya (si B) diterima meski dia tidak memiliki akta mengajar. Alasannya, selain dinilai mampu, si B menguasai bahasa Inggris, inilah yang tidak dikuasai oleh si A.

Saya pikir, guru dari sarjana pendidikan bukan harga mati. Artinya, seseorang yang bukan berasal dari jalur kependidikan pun bisa menjadi seorang guru. Jangan jadikan sarjana pendidikan atau bukan sebagai jurang pemisah. Meski demikian, perlu kebijakan dalam menyikapi masalah tersebut.

Jika saya ingin menjadi guru tapi tak punya akta mengajar, apakah saya akan putus asa dan meratapi mengapa dulu tidak mengambil jurusan kependidikan? Tidak!!! Mungkin, Anda tahu alasannya.


Graha Pena, 16 September 2008
Eko Prasetyo
(bias kutangkap kaki malam, sehening salma kucium aroma parasmu)

Indahnya Ikhlas

Oleh: Eko Prasetyo

Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, ”Ya Rasulullah, seseorang melakukan amal (kebaikan) dengan dirahasiakan dan bila diketahui orang dia juga menyukainya (merasa senang).” Rasulullah Saw berkata, ”Baginya dua pahala, yaitu pahala dirahasiakannya dan pahala terang-terangan.” (HR. At Tirmidzi).

Perbuatan ikhlas sering diingatkan oleh Rasulullah SAW seperti termaktub dalam hadis di atas. Indahnya berbuat ikhlas adalah balasan pahala dari Allah SWT. Rasulullah telah mencontohkan berbagai amal baik, termasuk berbuat ikhlas. Yakni, perbuatan yang didasari atas niat karena Allah, bukan mencari pujian dari orang lain.

***

Surabaya baru saja diguyur hujan sore itu. Sembari menyelesaikan pekerjaan, saya menyeruput secangkir kopi untuk menghangatkan badan. Belum banyak naskah berita yang masuk, tiba-tiba saya tertegun saat membaca pengalaman Pak Utomo. Pria paro baya itu dikenal sebagai sosok pimpinan yang tegas di instansi tempatnya bekerja.

”Hidup itu disiplin,” tegasnya. Ya, saya sependapat. Disiplin dalam banyak, termasuk beribadah kepada Allah SWT dan bersyukur atas nikmat-Nya. Pak Utomo menuturkan bahwa doa adalah hal yang utama dalam hidupnya. Melalui doa, dia mengatakan merasa dekat dengan Allah.

Saya berdecak kagum ketika dia memaparkan pengalamnnya saat dia menunaikan haji di tanah suci pada 2004 bersama istri. Di sana, dia mengaku mendapatkan perjalanan religi yang tidak akan bisa dilupakan seumur hidupnya.

Ketika tawaf mengelilingi Kakbah, dia bercerita bahwa posisinya sedang bersebelahan dengan istri yang selalu dipanggilnya umi tersebut. Entah pada putaran tawaf yang keberapa, tiba-tiba istrinya menghilang. Takut istrinya terinjak-injak orang yang datang dari berbagai penjuru dunia, dia pun menghentikan langkah, menoleh ke sekeliling. Namun, usaha tengok kanan-kiri tidak membuahkan hasil. Istrinya tak terlihat.

Bingung tidak tahu apa yang mesti dilakukan, Utomo akhirnya memilih pasrah dan melanjutkan tawaf. ”Waktu itu saya hanya doa, semoga Engkau melindungi Umi ya Allah! Nggak kepikiran doa, apalagi karena desak-desakan, saya langsung jalan memutari Kakbah, tawaf lagi,” ceritanya.

Selesai tawaf, tidak tahu datang dari arah mana, istrinya telah berada di sebelahnya kembali. Kaget, Utomo lalu tak henti mengucap syukur. Tiba di hotel, dia pun merenung atas peristiwa tersebut. Dari situ dia sadar bahwa Allah sedang menguji keikhlasannya. ”Saya seolah dapat pencerahan. Semua yang ada hanyalah milik-Nya. Manusia harus mengikhlaskan jika suatu saat apa yang dimiliki diambil oleh yang punya,” ucapnya. Subhanallah.

Gerimis belum juga bosan menyapa Kota Pahlawan. Alhamdulillah, satu hikmah lagi, satu ilmu lagi. Kembali bekerja, semangat menggelayuti hati saya di tengah dinginnya cuaca. Bersyukur, inilah pelajaran kesekian yang saya catat sore itu. Ketika negeri ini diteror oleh keserakahan dan kesombongan, mudah-mudahan sikap ikhlas mampu kita terapkan dalam segala aspek kehidupan, tanpa jenuh menghadapi waktu. Wallahu ’alam.

Graha Pena, akhir Oktober 2008
(saat hujan gerimis, kucium mesra kesunyian di balik kaca kantor)

Jika Aku Jatuh Cinta




"Ya Allah, karuniailah aku dengan
cinta kepada-Mu
cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu
cinta kepada orang-orang yang mendekatkan aku akan cinta-Mu
Jadikanlah cintaku kepada-Mu lebih dari diriku sendiri
dan dari kecintaanku akan air yang sejuk"

Keteladanan Laskar Pelangi




Oleh: Eko Prasetyo

DI TENGAH banjirnya sinema dan tayangan televisi yang kurang mendidik, film Laskar Pelangi menggebrak Indonesia. Tak bisa dimungkiri, memang tidak banyak karya sinema di negeri ini yang bisa dipertanggungjawabkan secara estetika, sekaligus dapat menginspirasi penonton.

Film Laskar Pelangi termasuk yang sedikit itu. Film tersebut sangat enak ditonton. Namun, film itu akan lebih bernilai jika sejumlah nilai kearifan yang tersimpan di dalamnya dijadikan inspirasi untuk bekerja keras menghadapi masalah. Tak ada pahlawan dalam film tersebut. Yang ada adalah kisah anak manusia biasa-biasa saja, tapi mereka percaya bahwa mimpi merupakan hak setiap orang. Para tokohnya memilih kerja keras untuk mewujudkan mimpi-mimpinya itu.

Tak jauh berbeda dari filmnya, novel Laskar Pelangi juga menuai sukses besar. Maka, tak berlebihan jika novel itu disebut sebagai fenomena. Asrori Karni (Laskar Pelangi: The Phenomenon, 2008) mengungkapkan, ada empat alasan mengapa penerbit dan dia menyebut Laskar Pelangi sebagai fenomena.

Pertama, novel tersebut telah menginspirasi jutaan pembacanya. Siapa sangka, gara-gara membaca novel itu seorang mahasiswa di Bandung bernama Nico bertekad menyelesaikan rehab kebergantungannya terhadap obat-obat terlarang. Padahal, orang tuanya sudah putus asa melihat perkembangan anaknya tersebut.

Tidak hanya itu, Nico juga termotivasi, sehingga bertekad menyelesaikan penulisan skripsinya yang terbengkalai selama satu tahun. Ketika Nico membaca novel itu, air matanya berderai seolah membasuh kekerasan hatinya selama ini. Novel Laskar Pelangi membuat Nico terlahir kembali.
Contoh berikutnya, di Cirebon, Jawa Barat, seorang guru honorer di SD Negeri Pamijahan tidak lagi peduli dengan gaji yang dia terima. Selain itu, dia tidak peduli apakah pemerintah akan mengangkatnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) sebagaimana yang telah dijanjikan selama ini atau tidak. Dia malu kepada sosok Ibu Muslimah. Laskar Pelangi berhasil membakar semangat guru tersebut untuk fokus kepada siswanya. Dia selalu memotivasi murid-muridnya —yang sebagian besar anak buruh penganyam rotan— untuk bangkit dan bermimpi.

Kedua, novel Laskar Pelangi terjual puluhan ribu eksemplar setiap bulan. Bisa dibayangkan, berapa eksemplar yang terjual dalam setahun. Kenyataannya, novel itu memang dibaca banyak orang. Namun, lebih dari itu, Laskar Pelangi telah menjelma menjadi sebuah kebutuhan. Bahkan, novel tersebut menggambarkan bahwa kita sesungguhnya sedang mencari role model.



Menemukan Keteladanan
Kita adalah bangsa yang saat ini telah kehilangan keteladanan. Di Laskar Pelangi, kita kembali menemukan keteladanan itu lewat sosok Ibu Muslimah. Banyak orang membeli novel Laskar Pelangi bukan semata-mata karena ingin paham tentang sebuah cerita. Lebih dari itu, mereka ingin belajar, menemukan inspirasi, sekaligus ingin bercermin. Laskar Pelangi lebih dari sekadar cerita sastra.

Ketiga, Laskar Pelangi adalah buku terlaris dalam sejarah sastra Indonesia. Fakta itu telah mematahkan anggapan banyak pengamat amatir yang sering berkoar bahwa etos baca orang Indonesia rendah. Nyatanya tidak demikian. Minat baca orang Indonesia sebenarnya cukup tinggi —meski tetap tidak sebanding dengan jumlah populasinya—; dan itu sangat bergantung kepada kualitas bukunya. Karena itu, untuk memupuk minat baca yang sedemikian tinggi, kita sangat berharap agar banyak buku-buku bermutu lahir di Indonesia.

Keempat, Andrea Hirata, sang penulis, dibayar Rp 50 juta untuk berbicara tentang sastra selama 90 menit. Menariknya, itu terjadi di Sumbawa, NTB, pada 4 Agustus 2008. Jamaluddin Malik, sang bupati, merasa tidak rugi meski harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. ”Enggak rugi kita,” kata Jamaluddin. ”Itu untuk pendidikan. Itu investasi jangka panjang. Hasilnya memang baru dilihat lama.” (hlm 201).

Dalam bahasa yang cukup menggugah, sang bupati berkomentar tentang kehadiran Andrea Hirata di Sumbawa, ”Laskar Pelangi diharapkan bisa menyemangati warga Sumbawa. Para guru juga bisa menyerap semangat Bu Muslimah.” (hlm 203).

Berhasil Menyihir
Tampaknya, beranjak dari empat hal tersebut, tidak ada yang membantah jika Laskar Pelangi telah menjelma menjadi sebuah fenomena luar biasa. Novel dan sinema itu berhasil menyihir siapa saja. Mulai anak-anak, para orang tua, guru, artis, hingga pejabat. Mereka sadar, bahwa hari ini mereka membutuhkan energi dan semangat baru untuk bisa bangkit.

Ada kesan kuat, mereka menyadari bahwa kemajuan itu harus dibangun dari sebuah keikhlasan dalam memberi pengabdian. Tekad dan kerja keras mewujudkan mimpi itulah kebajikan kisah itu. Para penikmat Laskar Pelangi îtercekamî, karena itu bukan cerita fiktif. Kemiskinan akut dan sepuluh anak yang menolak tunduk kepada keterbatasan tersebut benar-benar nyata. Itu kisah sejati Andrea Hirata dan kawan-kawan yang dikemas secara sastra, yang kemudian difilmkan oleh Riri dengan apik.

Jika Andrea Hirata dan kawan-kawannya menolak menyerah, kita tahu bahwa nilai itulah yang seharusnya diterapkan untuk menangani sejumlah masalah pendidikan di negeri ini. Sebab, di sekitar kita masih ada lebih dari setengah juta anak usia sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) yang putus sekolah. Bangunan sekolah yang memprihatinkan pun masih mudah ditemui di daerah-daerah lain, selain Belitong, setting cerita Laskar Pelangi.

Dari Belitong, kebajikan moral itu telah diajarkan anak-anak yang hidup dalam kemiskinan. Karena itu, kita dan para pemegang kuasa mesti belajar dari mereka.

–– Eko Prasetyo, penulis dan editor, tinggal di Surabaya.

dimuat: Harian Suara Merdeka (22 Oktober 2008)
http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=35821

Degradasi Moral Bangsa Ini

Oleh: Eko Prasetyo

Suatu sore di kantor, saya berbincang dengan salah seorang redaktur senior. Dalam pembicaraan singkat tersebut, saya melemparkan joke tentang kasus salah tangkap polisi terhadap Kemat cs. Diekspos secara gencar di media massa dan elektronik, saya menuangkan pandangan tentang topik tersebut di salah satu surat kabar.

"Isin tenan. Ini kasus yang kesekian," tutur saya kepada redaktur tersebut.

"Tak mengherankan. Sebab, bangsa kita mengalami degradasi moral yang amat akut," timpalnya.

Kata degradasi moral itulah yang saya garis bawahi dan membuat saya merenung agak lama seusai perbincangan tersebut.

Tidak hanya dalam institusi seperti Polri, bahkan segala aspek masyarakat kita pun telah mengalami penurunan moralitas yang kronis.

Dalam kasus salah tangkap itu, betapa polisi sangat ceroboh dalam bertindak. Mereka telah mencederai aturan main yang bahkan mereka buat sendiri. Entah atas alasan ingin kasus tersebut segera tuntas atau mendapat pujian masyarakat luas karena pelaku cepat tertangkap, polisi masih saja menggunakan "cara lama" untuk mengungkap suatu kasus.

Bangsa kita selalu senang menggunakan kata "profesional" dalam setiap motonya. Nyatanya, itu seperti kosmetika belaka. Suka memakai tapi tak paham betul substansinya. Celaka.

Bangsa kita terjebak oleh arus kapitalis. Masyarakat kita kembali diingatkan pada torehan pena pujangga Ronggowarsito: yen ora melu edan, ora keduman (jika tak ikut gila, tak kebagian). Serakah, itulah gambaran bangsa kita sebenarnya.

Jatuhnya moralitas bangsa ini memang tak seheboh terpuruknya pasar finansial global. Namun, perlahan tapi pasti, bangsa ini akan terbawa gaya gravitasi alias menukik.

Kita dengan mudah terlalap iklan. Gaya hidup konsumerisme dan hedonisme nyaris tak terlepaskan dari masyarakat kita. Kita terkungkung pada kemasan, tanpa mengindahkan substansi isi. Beli karena keinginan, bukan kebutuhan, itulah bangsa ini. Orang kita mengaku pintar, tapi mudah diperalat orang asing. Bangsa ini mengaku kaya, tapi kekayaan melimpah itu tidak dinikmati oleh warganya.

Banyak guru yang berteriak atas nama perjuangan hati nurani untuk nasib mereka, tapi mutu pendidikan negeri ini tak kunjung membaik. Kita saling menyalahkan antara birokrasi dan individu tanpa mau instrospeksi terhadap titik kelemahan yang tentu saja mutlak kita miliki. Wajar jika wajah pendidikan bangsa ini begitu buram. Sebanyak 210 juta populasi di Indonesia menjadi salah satu angka terpadat di dunia. Sayang, angka buta huruf, kemiskinan, dan pengangguran tercatat sangat tinggi dibandingkan negara di tingkat Asean saja. Masya Allah.

Allah tak pernah salah membuat takdir atas sebuah bangsa. Sebab, tidaklah nasib suatu kaum itu berubah, kecuali mereka mengubahnya sendiri. Artinya, Allah pun mengajarkan kita mandiri dan tak putus berusaha.

Itu sesuai dengan firman Allah SWT: ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka berusaha untuk mengubah keadaan mereka sendiri.” (Ar-Ra’du: 11).

Ketika kejujuran menjadi barang langka di negeri ini, akankah masih ada orang yang tulus ingin mengoleksinya? Kejujuran adalah benang merah untuk menambal degradasi moral tersebut. Bukan hanya bangsa ini, tapi juga hati kita, hamba Tuhan yang tak luput dari khilaf dan dosa. Jujur itu mudah, tapi bersuara jujur di negeri ini justru dimusuhi. Sudahkah kita jujur pada diri sendiri?

Graha Pena Jawa Pos, 22 Oktober 2008

(dimuat Eramuslim, 23 Oktober 2008)

Pesan Ibu




Oleh: Eko Prasetyo

Shalat adalah salah satu di antara lima rukun Islam. Selain ibadah wajib, shalat adalah tiangnya agama. Barang siapa mendirikan shalat, maka dia telah menegakkan tiang agama. Barang siapa meninggalkan shalat, maka dia telah merobohkan tiang agama. Rasulullah SAW bersabda, ”Batas antara seseorang dan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim).

Sebelum Ramadhan lalu, kedua orang tuaku berkunjung ke Surabaya. Aku menjemput kedatangan beliau berdua di Stasiun Gubeng. Cuaca Surabaya saat itu memang cukup panas. Setelah menunggu beberapa lama, aku melihat wajah ayah dan ibu saya di depan pintu peron keluar. Dibalut jilbab, aku menatap wajah ibu dan mencium tangan beliau.

Aku lantas membawakan tas dan barang bawaan mereka ke dalam kendaraan. Kemudian kami sama-sama menuju ke ke rumahku. Cukup lama aku tak melihat wajah ibu karena jarang pulang ke Bekasi. Karena itu, kedatangan beliau menjadi penawar kangen. Hanya dua hari bermalam sekaligus menengok keluarga di Surabaya, kedua orang tuaku langsung berpamitan kembali ke Bekasi. Sebelum sepur berangkat menuju Jakarta, ibu berkali-kali berpesan kepadaku untuk selalu menjaga shalat. ”Insya Allah. Suwun, Bu, ” jawabku.

***
Suatu senja, seorang wanita berjalan tertatih-tatih. Pakaiannya serbahitam, seolah menandakan bahwa dia tampak sangat berduka. Kerudung menangkup rapat hampir seluruh wajahnya, tanpa rias muka atau perhiasan yang menempel di tubuhnya. Kulitnya bersih, badannya ramping, dan wajahnya cantik. Namun, itu tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah menyeruak hidupnya. Dia melangkah terhuyung-huyung mendekati kediaman Nabi Musa as. Dia mengetuk pintu pelan-pelan sambil mengucapkan salam. Kemudian, terdengarlah ucapan dari dalam, ”Silakan masuk.” Wanita cantik itu lalu masuk. Kepalanya terus merunduk. Air matanya berderai tatkala dia berkata, ”Wahai nabi Allah, tolonglah aku.

"Doakan aku agar Allah berkenan mengampuni dosa keji ku". ”Apakah dosamu wahai wanita cantik?” tanya Nabi Musa as terkejut. ”Aku takut mengatakannya, ” jawab wanita cantik itu. ”Katakanlah jangan ragu-ragu, ” desak Nabi Musa as. Dengan terbata-bata, wanita itu bercerita, ”Aku telah berzina.” Kepala Nabi Musa as terangkat. Hatinya tersentak. Wanita itu meneruskan ceritanya. ”Dari perzinaan itu, aku lantas hamil. Setelah anak itu lahir, aku langsung mencekik lehernya hingga tewas, ” ucap wanita tersebut seraya menangis sejadi-jadinya. Nabi Musa as murka. Dia menghardik, ”Enyahlah kamu dari sini agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!

Nabi Musa as lalu memalingkan wajahnya karena tidak sudi melihat wanita tersebut. Hati perempuan berparas ayu itu seperti kaca yang membentur batu. Dia merasa hancur luluh. Lalu, wanita itu segera bangkit dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk keluar dari rumah Nabi Musa as. Ratap tangis wanita itu amat memilukan. Dia tak tahu harus ke mana lagi hendak mengadu. Bahkan, dia tak tahu hendak ke mana membawa langkah kakinya.

Bila seorang nabi saja menolaknya, lalu bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya. Terbayang oleh dia betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya. Dia tak tahu bahwa sepeninggalnya malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa as. Malaikat Jibril bertanya kepada nabi Musa as, ”Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertobat atas dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang paling besar daripadanya?” Nabi Musa terperanjat. Dosa apakah yang lebih besar kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?

Maka, Nabi Musa as dengan penuh rasa penasaran bertanya kepada malaikat Jibril. ”Adakah dosa yang lebih besar daripada wanita yang nista itu?” tanya nabi Musa as. ”Ada”, jawab malaikat Jibril dengan tegas. ”Dosa apakah itu?” tanya Nabi Musa semakin penasaran. ”Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dan tanpa menyesal, ” jawab malaikat Jibril. Orang tersebut dosanya lebih besar daripada seribu kali berzina.

***

Suatu malam, di ujung ponsel, aku mendengar ibu kembali berpesan agar saya tidak meninggalkan shalat. ”Wis shalat ta?” begitu ibu selalu bertanya kepadaku. Hal itulah yang selalu beliau sampaikan tiap kami bertemu atau berkomunikasi lewat telepon. Aku kemudian merenung dengan hikmah kisah nabi Musa as serta wanita pezina dan pembunuh tadi. Aku bersyukur masih sering diingatkan ibu untuk selalu menjaga shalat. Terima kasih bunda. Zijn euwige liefde...

Dimuat: Eramuslim, 11 Oktober 2008

Yang Terdalam (Untuk Aliya Tersayang)

Oleh: Eko Prasetyo

Aliya adalah gadis cilik berusia tujuh tahun. Kulitnya legam, kurus, dan dekil. Sehari-hari, mengamen di Terminal Jombang. Suatu ketika, dia berkelahi dengan sesama teman pengamennya. Dia dipukul setelah berebut uang dari seorang penumpang.

Wajahnya yang lebam membuat iba seorang kawan saya yang kebetulan ada di situ. Aliya diketahui hidup dengan neneknya. Ternyata, dia yatim piatu. Kawan saya berinisiatif untuk memondokkan dia di sebuah pesantren dekat rumahnya di Jombang.

Saya saat itu dikabarkan tentang keberadaan Aliya yang menyedihkan. Kemudian, saya menawarkan kepada sahabat saya itu untuk menjadi kakak asuh Aliya. Saya bersedia menanggung kebutuhan sehari-hari dan pendidikan Aliya di situ. Namun, saya meminta kepada kawan saya tersebut untuk merahasiakan identitas saya sampai saya bisa bertemu langsung dengan Aliya.

Selanjutnya, Aliya menjalani rutinitas barunya sebagai santriwati. Dia senang memiliki kakak asuh meski belum pernah melihat sosok kakaknya tersebut. Kepada kawan saya dan istri kawan saya itu, Aliya mengatakan ingin bertemu dengan kakak asuhnya yang tidak lain adalah saya.

Kesibukan dan aktivitas saya yang padat di kantor membuat niat saya mengunjungi Aliya selalu gagal. Akhirnya, kawan saya menyampaikan ide untuk bertemu di Sidoarjo saja, di tempat salah seorang familinya. Saya pun sepakat. Akhirnya kami bisa bertemu di Sidoarjo ketika saya libur kerja.

Aliya sebelumnya sengaja tidak diberi tahu bahwa dia akan dipertemukan dengan saya. Dia hanya tahu akan diajak jalan-jalan ke Sidoarjo oleh kawan saya dan istrinya. Saya sempat mengirimkan SMS ke calon istri saya bahwa saya akan bertemu dengan adik asuh saya tersebut.

Alhamdulillah, saya akhirnya bisa bertemu dengan Aliya. Dia tampak ceria. Beberapa kali, dia memamerkan baju dan jilbab pemberian kakak asuhnya. Dia memang banyak diceritakan tentang kakak asuhnya oleh kawan saya dan istrinya. Saya sangat terharu melihat wajah bocah polos tersebut.

"Apa masku mau ya ketemu aku?" ujar Aliya.
"Lho Mas-mu mesti seneng ketemu kamu. Tapi, apa kamu mau punya mas tukang koran? kata saya.
"Biarin aja," sergahnya.
"Kan orangnya baik," lanjut Aliya.
"Dari mana kamu tahu kalau orangnya baik?" tanya saya.
"Pak ustad (kawan saya) yang cerita," tuturnya bersemangat.
"Orangnya ganteng nggak ya?" ucapnya penasaran.

Kawan saya dan istrinya hanya tersenyum mendengar itu. Saya bersyukur bisa melihat Aliya. Kepolosan dan keceriaannya membuat semangat kerja serasa bertambah.
"Kapan dong bisa ketemu Masku?" rengek Aliya kepada istri kawan saya.
"Nanti tho, Nduk (sebutan Nak untuk anak perempuan di Jawa), kamu iso ketemu karo masmu kuwi," kata istri sahabat saya tersebut lantas tersenyum menatap saya.

Saya sempat mengajak Aliya dan kawan saya makan di sebuah restoran di Sidoarjo. Aliya sama sekali tidak menaruh curiga bahwa dia sebenarnya telah bertemu dengan kakak angkatnya. Memang, saya hanya diperkenalkan sebagai saudara kawan saya yang sehari-hari mengawasi perkembangan Aliya di pesantrennya.

Seusai pertemuan tersebut, saya mengatakan kepada Aliya bahwa suatu saat kakaknya akan mampir ke Jombang untuk mengunjunginya.
"Aku kenal karo masmu," kata saya di akhir perjumpaan kami sore itu.

Ya, saya menetapi janji saya untuk menemui Aliya di Jombang. Pada saat pertemuan kedua itu, Aliya tidak menyangka bahwa saya adalah kakak asuhnya. Begitu senangnya dia hingga tak sempat berkata selama beberapa saat.

Saya menelepon calon istri saya ketika itu bahwa saya telah bertemu dengan Aliya. Saya menyampaikan bingkisan dari calon istri saya tersebut kepada Aliya. Aliya menerimanya dengan sangat senang. Mengharukan.

Saya tak menyangka bisa sebahagia saat itu. Istri teman saya sempat meneteskan air mata melihat begitu gembiranya Aliya bisa bertemu kakaknya. Namun, kebahagiaan itu kini menjadi bagian dari masa lalu. Setelah sempat dirawat inap di rumah sakit setempat karena demam berdarah, Aliya mengembuskan napas terakhir setelah trombositnya sangat rendah.

Kawan saya menyesal karena gagal mencarikan darah di PMI setempat. Untuk ke PMI Surabaya, dia akan sangat terlambat mengingat kondisi Aliya yang sangat lemah dan kritis.

Kabar tersebut sampai ketika saya masih harus menyelesaikan mengedit berita sebelum deadline pukul 12 malam. Mata saya tak sengaja basah. Tangan saya bergetar tak mampu menggerakkan mouse dan mengetik. Begitu berat rasanya kehilangan salah seorang tercinta. Innalillahi wa innailaihi raji'uun.

Saya tak lekas pulang saat itu. Setelah suasana redaksi sudah sepi, saya melaksanakan shalat gaib untuk almarmahumah. Badan saya terasa lemas. Saya tak mengira secepat itu kebahagiaan datang dan secepat itu pula kebahagiaan pergi. Tapi, Allah mahatahu. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Sebab, saya yakin rencana Allah itu sangat indah. I love you, Aliya.

Grahapena, 8 Agustus 2008
(kukecup cahaya rembulan yang merendah mengibar kerinduanku)

Pak Jumari



Oleh: Eko Prasetyo

Pagi-pagi sekali, Pak Jumari sudah membersihkan halaman sekolah. Ya, dia memang bekerja sebagai tukang kebun di sebuah sekolah dasar tempat keponakan saya sekolah. Sudah lebih dari tiga tahun saya mengenalnya. Kalau saja saya tidak mengantarkan keponakan ke sekolah tersebut, bisa jadi saya tak pernah mengenal sosok sederhana beliau.

Kulitnya hitam karena banyak terbakar terik matahari. Otot tangan dan tulang belikatnya menonjol seolah menjadi saksi kerja kerasnya menjalani hidup. Meski usianya sudah beranjak senja, sekitar enam puluh tahunan, Pak Jumari masih tampak segar dan semangat. Siang itu, ketika menjemput keponakan, saya mengajak beliau untuk makan siang bersama di sebuah warung.

Pak Jum –demikian saya biasa menyapa beliau– mengungkapkan bahwa dirinya sudah 13 tahun bekerja sebagai tukang kebun di sekolah dasar tersebut. Dari obrolan kami, saya menyimpan rasa kagum kepada Pak Jum. Beliau menuturkan, jarak antara rumah ke sekolah tempat dia bekerja sekitar 1 km. Meski demikian, beliau berangkat dengan berjalan kaki. Kendati jam kerjanya mulai pukul enam pagi, Pak Jum sudah berada di sekolah itu setengah jam sebelumnya.

Beliau mengatakan sudah sangat bersyukur meski gajinya per bulan tak seberapa. Berkumpul dengan para guru dan anak-anak membuat dia mengaku kerasan bekerja di situ. ”Kulo mboten nyuwun nopo-nopo kalih Gusti Allah, mung sehat thok sampun cekap Mas (Saya tidak minta apa-apa kepada Allah, sehat saja itu sudah cukup kok Mas),” tuturnya. Subhanallah, saya memetik pelajaran sederhana dari etos kerja Pak Jumari.

Kini, saya tak pernah lagi melihat Pak Jumari jika sedang menjemput keponakan saya di sekolah tersebut. Saya pun tak bisa melihat beliau sedang menyapu atau membersihkan halaman sekolah itu. Sebab, beberapa waktu lalu, Pak Jum dikabarkan telah meninggal karena sakit diabetes menahun. Saya baru tahu kabar itu dari orang tua siswa dan guru sekolah tersebut. Innalillahi wa innailaihi rajiuun.

Meski demikian, saya masih menyimpan beberapa nasihat yang pernah dilontarkan Pak Jum. Mulai etos kerja sampai nasihat agar bekerja sepenuh hati. Dari kesemuanya itu, saya menyimpulkan bahwa bekerja itu adalah amanah.

Saya merenung, betapa banyak orang yang menyepelekan arti amanah dalam bekerja. Saya pernah merasa jengkel saat mengurus perpanjangan KTP beberapa waktu lalu. Seperti diketahui, jam kerja di kelurahan atau instansi-instansi pemerintah lainnya adalah pukul setengah delapan pagi. Namun, hingga pukul sembilan lebih saya menunggu di kelurahan, tak ada orang di situ. Mungkin, jamak terjadi bahwa banyak pegawai pemerintahan yang ngantor telat. Seharusnya masuk pukul setengah delapan pagi, mereka baru masuk kerja pukul sembilan, bahkan sepuluh pagi. Ada pula pegawai yang sudah pulang sebelum jam pulang kantor. Masya Allah.

Tak jarang, di antara para pegawai pemerintahan itu, ada yang jalan-jalan pada saat jam kerja. Yang memprihatinkan, mereka jalan-jalan dengan masih memakai pakaian dinas. Terus, bagaimana dengan pelayan publik yang menjadi tugas mereka? Sering pula saya temui, kadang produktivitas kerja kalangan pegawai tertentu tidak menonjol. Yang tampak, pegawai kantoran yang main komputer, duduk enjoy, dan ngobrol sambil ngopi. Profesionalitas kerja yang termasuk amanah sering terabai. Masuk kantor telat seakan tak merasa bersalah. Tapi, jika gaji telat, mereka sudah berkoar-koar, mengeluh, dan sebagainya. Masya Allah.

Padahal, jika seorang pegawai menunaikan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh mengharapkan pahala dari Allah, dia telah menunaikan kewajibannya. Dia pun berhak mendapatkan balasan atas pekerjaannya di dunia dan beruntung dengan pahala di kampung akhirat. Bekerja termasuk amanah yang harus dijaga. Sebab, Islam pun mengajarkan tentang pentingnya bersikap profesional.

Allah berfirman: ”Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui” (Al-Anfal: 27).

Cuaca di atas Kota Surabaya cukup terik siang itu. Saya tertegun di depan pagar sekolah saat menjemput keponakan. Tak tampak lagi wajah Pak Jumari yang biasa menyapa saya dengan rendah hati. Tentang sikap amanah, saya resapi dari tutur kata dan semangat bekerja Pak Jumari. Selamat jalan Pak Jum, semoga Allah memberikan tempat yang baik di sisi-Nya.


(Mengenang Pak Jum)

dimuat: eramuslim (24 Juli 2008)