Warung Kehidupan sebagai Pendidikan Antikorupsi

oleh: Eko Prasetyo

Kejujuran kini ibarat barang langka. Terbukti, krisis finansial global sama sekali tidak membuat para "pembohong" panik. Orang mudah memanipulasi apa saja, di mana saja, serta kapan saja, tanpa tersekat ruang dan waktu. Bohong dapat dilakukan oleh siapa pun. Bisa guru yang berbohong kepada kepala sekolah, murid kepada gurunya, bawahan kepada atasan, ataupun pejabat kepada rakyat.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada orang yang setia bersahabat dengan kejujuran. Alhamdulillah, "kesetiaan" itu kini diwujudkan pada menjamurnya kantin kejujuran di beberapa sekolah, termasuk sekolah di Surabaya. Paling tidak, pendidikan antikorupsi dapat diperkenalkan sekaligus diaplikasikan sejak dini kepada para siswa.

Tak bisa dimungkiri, menghapus korupsi (hasil ketidakjujuran) sama sekali adalah hal yang musykil dilakukan sampai hari kiamat tiba sekalipun. Namun, setidaknya, menahan nafsu ingin memiliki dapat menjadi penetrasi di tengah tinggi budaya konsumtif masyarakat saat ini. Angka si miskin dan si kaya di Indonesia begitu njomplang. Yang kaya raya kadang alpa mengeluarkan sedekah dan zakatnya. Sedangkan yang miskin kadang mudah putus asa, hanya berpangku iba, tanpa mau berusaha.

Karena itu, warung kejujuran paling tidak bisa menjadi media pembelajaran yang baik untuk mengasah rasa tanggung jawab dan memupuk kepekaan sosial siswa. Siswa dapat membeli barang kebutuhannya di warung kejujuran secara swadaya. Artinya, mereka menjadi pelayan bagi diri mereka ketika membeli atau mengambil uang kembalian. Jika nanti ada kekurangan dari hasil jualan, hal itu dapat segera diketahui lewat neraca keuangan yang dikelola pihak sekolah. Sungguh, elemen sekolah sejatinya telah menerapkan model manajemen terapan berupa disiplin. Ini sangat penting!

Sebenarnya berkata atau berbuat jujur itu mudah, tapi juga tak gampang. Lho kok bisa? Ya, coba saja Anda terapkan pada orang-orang terdekat di sekitar Anda. Misalnya, seorang istri bertanya kepada suaminya ketika baru memakai baju baru.
"Bagus nggak, Pak? Ibu cantik nggak kalau pakai baju yang ini?"
Pasti, 99 persen bakal menjawab, "Iya," Padahal, bisa jadi sang istri tidak terlalu cantik atau bajunya mungkin kurang bagus menurut penilaian si suami.

Berkata jujur sesuai hati nurani di saat seperti itu mungkin sulit dilakukan.
Tentunya banyak alasan yang mendasarinya. Di antaranya, mencoba menghargai perasaan seseorang meski kita tak sejalan atau tak suka dengan sesuatu yang dia pakai.
Berbohong untuk kebaikan memang diperbolehkan. Tapi, berkata jujur akan lebih terhormat. Meski, terkadang jujur itu terasa menyakitkan.
Tanpa disadari, kita kadang suka memuji orang lain setinggi langit, tapi tak bisa menghargai diri sendiri. Kadang, kita doyan mencibir kekurangan orang lain, tapi sesungguhnya kita pun gemar menertawakan kelemahan diri sendiri.

Karena itu, bentuk aplikasi pendidikan antikorupsi lewat warung kejujuran patut diapresiasi dan dikembangkan melalui inovasi-inovasi lain. Tiada lain, itu bertujuan mengembangkan jiwa sosial dan rasa tanggung jawab dalam menjaga amanah.

Akhirnya, kita perlu merenungkan kembali sabda Rasululah SAW bahwa salah satu ciri orang munafik adalah berdusta. Maka, sudah seharusnya kita membiasakan diri berbuat dan berkata jujur dalam segala hal. Sebab, semua akan kita pertanggungjawabkan di mahkamah akhirat nanti. Wallahu ’alam.

Dipublikasi: Eramuslim, 25 November 2008

1 komentar:

Eko Eshape mengatakan...

Aku jadi inget cerita nabi tentang seorang muallaf yang hanya diminta untuk berbuat satu hal yaitu JUJUR.

Tenryata dengan modal JUJUR itu, maka dia sudah tidak bsia lagi berbuat maksiat.

Sekarang kita susah nyari orang seperti itu.

Jangan2 kitapun masih sering berbohong.

Semoga Allah swt selalu memberi kita bimbingan dan petunjuk.
Amin.

Salam