Di Sudut Terminal Bungurasih



Oleh: Eko Prasetyo

Cukup mengharukan perkenalan saya dengan salah seorang pengamen cilik di Terminal Bungurasih, Surabaya. Saat itu, saya hendak pergi ke Malang. Sengaja tidak memakai kendaraan pribadi, saya ingin berangkat ke sana naik angkutan umum saja waktu itu.

Hidup di terminal seperti hidup di ibu kota. Itulah yang saya tangkap dari kisah seorang pengamen cilik tersebut. Awalnya, saya yang masih di luar terminal ingin mencari makan di sebuah warung. Menu rawon akhirnya menjadi pilihan saya siang itu. Sedang asyik menikmati santap siang, ada bocah laki-laki sekitar tujuh tahun ngamen di warung itu.

Berbekal suara fals dan alat musik bikinan sendiri (dari tutup botol dan kayu kecil), dia mulai beraksi. Alat musik itu biasa saya sebut ecrek-ecrek karena bunyinya memang mirip begitu. Meski demikian, tidak ada yang peduli dengan nyanyian bocah itu. Namun, tampangnya yang agak dekil dan masih memakai celana sekolah membuat saya iba.

Salah seorang pengunjung yang juga makan di warung itu nyeletuk kepada bocah tersebut, ”Sing liyane ae, prei disik (Yang lain aja, lewatin dulu).” Tapi, pengamen cilik itu masih tetap berdiri. Sejenak, dia tidak bernyanyi, tapi melihat orang-orang yang makan di situ, termasuk saya. Tentu saja, saya jadi perasaan karena dilihat oleh anak kecil yang mungkin belum makan. Selang beberapa lama, saya memberi dia uang 500 perak. Kemudian, dia ngeloyor pergi.

Tidak ingin menjadi perhatian orang sekitar, saya juga pesan nasi campur yang dibungkus plus es teh. Bocah itu masih tampak mengamen di warung nasi lainnya. Setelah menunggu dia selesai ngamen beberapa saat, saya memanggil bocah itu. Saya kemudian menyerahkan bungkusan nasi tersebut kepadanya. Dia agak takut melihat karena saya mungkin masih asing bagi dia.

Suasana di antara kami pun jadi gayeng (akrab). Singkatnya, bocah itu mengatakan tinggal di kawasan Medaeng, Sidoarjo. Dia mengaku, sepulang sekolah biasanya langsung mengamen di Terminal Bungurasih.

”Kenapa ora ngamen nang kampung?” tanya saya kepadanya.
”Emoh Mas. Wonge pelit-pelit (Orangnya pelit),” jawabnya.
”Buat apa kamu ngamen?” tanya saya lagi.
”Buat jajan Mas,” ujarnya.

Saya lantas tersenyum mendengar jawaban polos dari anak laki-laki itu. Tak berapa lama kemudian, saya menuju bus jurusan Surabaya-Malang. Di bus, saya mencatat di jurnal pribadi tentang kisah perjalanan saat itu. Tentang kehidupan pengamen di kota, mereka sama seperti kita, mencari makan meski dengan jalan mengamen. Ada pula pengamen yang nyambi jadi copet. Namun, tak sedikit pula yang benar-benar mengamen hanya untuk mencari uang. Sering, para pengamen itu menghadapi ujian mental. Misalnya, tuan rumah menutup pintu erat-erat meski tahu ada pengamen di luar. Kadang, di bus, orang pura-pura tertidur saat ada pengamen yang menyodorkan bungkusan tempat uang.

***

Sebelum berpisah, pengamen kecil tadi sempat mengatakan bahwa dia ingin seperti bocah-bocah sebayanya tanpa harus mengamen di jalanan atau terminal. Dia menuturkan sangat ingin bisa makan di warung seperti pengujung lainnya. Namun, dia hanya bisa terus menyanyi dan menatap kosong para pengunjung yang lahap dengan makanan mereka. Mendengar itu, hati saya tersentuh.

Saya berpikir, mungkin banyak anak-anak seperti dia. Mereka pun membutuhkan uluran tangan kita dan perhatian dari pemerintah. Pendidikan yang semakin mahal dan sulit terjangkau bagi mereka adalah tugas kita untuk ikut membantu meringankan beban mereka. Sebab, para pengamen cilik itu juga merupakan tunas bangsa. Karena itu, mari kita budayakan zakat dan infaq untuk merajut kasih dengan Allah SWT. Ini semua perlu kita lakukan demi meringankan beban saudara-saudara kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Wallahu ’alam bishshawab.

dimuat: Eramuslim, 3 Agustus 2008

1 komentar:

Rosi Atmaja mengatakan...

IJIN PINJEM GAMBARNYA HEHE
MAKASIH...