Oleh: Eko Prasetyo
Saat hendak berkunjung ke rumah salah seorang famili di Buduran, Sidoarjo, pagi itu terasa ada yang aneh. Jalanan, yang biasanya lancar jika Minggu, terasa padat dan macet mulai daerah Waru. Tampaknya, pintu tol ke arah Porong yang menghubungkan arah Malang dan Pasuruan kembali ditutup pagi itu. Padahal, jam belum menunjukkan pukul sebelas. Cuaca yang agak terik membuat kemacetan panjang tersebut terasa melelahkan.
Persis memasuki kawasan Gedangan, salah seorang warga setempat memberitahukan bahwa hari itu ada unjuk rasa korban lumpur Lapindo. Mereka memblokir jalan masuk ke arah Surabaya dan memusatkan aksinya di kawasan tol Porong. Sehingga, aksi itu mengakibatkan akses jalan Surabaya-Sidoarjo macet. Bahkan, arah ke Mojokerto pun terlihat sangat padat.
Setelah sampai di tempat tujuan, lega sekali rasanya. Perjalanan, yang biasanya bisa ditempuh sekitar 30 menit, molor sampai 1 jam lebih karena macet. Lewat berita di televisi, saya bisa mafhum karena kemacetan tadi disebabkan demo korban lumpur Lapindo.
Memang, tidak pernah disangka, dulu semburan kecil akibat semburan lumpur di areal eksplorasi salah satu sumur milik PT Lapindo Brantas, di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, pada 29 Mei 2006 masih menjadi tontonan. Hal tersebut berlangsung hingga sekitar tiga bulan. Material yang awalnya berupa zat cair itu lama-kelamaan menggenang, bercampur lumpur pekat, dan berbau gas. Itulah awal musibah yang menjadi derita berkepanjangan para warga yang terdampak lumpur tersebut.
Ribuan hektare areal sawah penduduk, ratusan dusun, perumahan, pabrik, hingga bangunan sekolah ikut tenggelam setelah terendam lumpur yang saat ini tingginya mencapai sekitar 12 meter. Tak ada yang tahu sampai kapan musibah yang konon disebabkan kelalaian dalam melaksanakan prosedur tersebut akan berakhir. Adakah ini sebuah peringatan dari Allah?
***
Selain melumpuhkan akses industri di Sidoarjo yang juga berdampak di beberapa wilayah di Jawa Timur, para anak-anak usia sekolah turut merasakan getirnya hidup di pengungsian. Mereka terpaksa belajar seadanya karena gedung sekolahnya tinggal terlihat atapnya saja.
Saat berkunjung ke daerah terdampak lumpur, hati ini semakin tak tega melihat para warga yang kebanyakan terdiri atas ibu-ibu dan anak-anak kecil itu berebut makanan. Terkadang, nasi bungkus yang mereka terima sudah basi. Mereka benar-benar kehilangan keceriaan yang terkubur bersama dengan tenggelamnya rumah mereka. Yang ada hanya wajah-wajah kosong, berusaha memperjuangkan kembali hak ganti rugi atas tanah atau rumah mereka. Juga, hak mendapat pendidikan buat anak-anak mereka yang tidak lagi bisa mengenyam pelajaran di gedung sekolah.
Yang sangat mengetuk nurani, puluhan pengungsi di Pasar Porong Baru saat ini mulai mengemis masal. Itu bisa dilihat di sepanjang jalur Porong-Sidoarjo. Mereka berjajar sambil membawa kardus dan poster meminta-minta kepada supir truk dan kendaraan yang melintas di jalan tersebut. Mereka mengaku terpaksa mengemis untuk makan. Salah seorang di antara warga itu mengatakan, ”Hanya uang dari ngemis ini kekayaan kami.”
Degup hati ini berdesir kencang membayangkan andai saya atau keluarga saya mengalami hal seperti mereka. Sungguh, ujian tersebut sangat berat. Namun, Allah tidaklah menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya. Tubuh ini merinding rasanya menyaksikan saudara-saudara saya tersebut mengemis sembari menengadahkan kardus-kardus yang mereka bawa, berharap ada makanan atau uang dari pengendara yang melintas.
Ya Allah, ya Rabb.. ketuklah jiwaku, buncahkan kasihku, bukalah mata hatiku atas penderitaan mereka yang aku sendiri belum tentu sanggup menerima cobaan seperti mereka. Semoga Allah melimpahkan kekuatan dan kesabaran kepada korban lumpur Lapindo.
Graha Pena, Mei 2008
Publikasi: Eramuslim 10 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar