Oleh: Eko Prasetyo
Perayaan hari lahir atau biasa disebut ulang tahun (ultah) sering kita jumpai di mana saja. Entah itu hari lahir negara atau HUT kemerdekaan maupun ultah seseorang. Bagi kalangan tertentu atau menengah –bahkan ada pula menengah bawah– merayakan ultah bisa dengan hura-hura dan pesta. Cara pandang seperti itu seakan sudah jadi tradisi di masyarakat awam kita.
Ada orang tua yang merayakan ultah anaknya dengan mengundang teman-teman anaknya. Tidak sedikit pula remaja yang merayakan ultahnya dengan party atau pesta dengan amat meriah. Namun, ada juga yang merayakan ultah bersama anak-anak di yayasan yatim piatu. Beragam jenis perayaan ultah menjadi pemandangan yang mudah dijumpai.
Di saat negara mengalami krisis ekonomi panjang seperti sekarang, tidaklah pantas kita merayakan ultah dengan meriah. Apalagi, merayakan ultah adalah budaya Barat yang telanjur diadopsi oleh kebanyakan masyarakat kita. Padahal, tambah umur berarti kita harus bijak. Sebab, bertambahnya usia adalah indikasi kontrak hidup kita di dunia akan semakin berkurang. Karena itu, sudah seharusnya manusia membiasakan dzikir maut atau mengingat kematian agar lebih giat beribadah. Bukan malah umur bertambah, tapi kelakuan semakin jauh dari tuntunan agama.
Ada pemandangan yang kerap saya ingat ketika ada rekan yang merayakan ultah di kantor kami. Ketika kue ultah sudah dipersiapkan, prosesi tiup lilin dilakukan. Setelah itu, para rekan-rekan lain beramai-ramai menyerbu kue tersebut secara berebutan. Hal itu sering saya saksikan. Terkadang, saya bertanya dalam hati, ”Apakah saya bisa ikut bergembira berebut kue, sementara di suatu waktu saya kerap menyaksikan orang miskin makan nasi basi yang dikeringkan?” Batin saya bergolak melihat ketimpangan-ketimpangan yang sering terjadi di lingkungan sekitar.
***
Bekerja pada malam adalah aktivitas yang rutin saya lakukan. Saya tak berani mengeluh pada diri sendiri. Sebab, tidak jarang, ada rekan kerja yang harus pulang pergi Surabaya-Malang dari kantor sehabis deadline. Ada pula kawan yang pulang pergi ke kantor dari Surabaya-Surabaya. Kalau mereka tidak pernah mengeluh, lantas kenapa saya mesti mengeluh? Alhamdulillah atas segala nikmat yang Allah berikan. Memang, hidup ini kita harus pandai-pandai bersyukur terhadap nikmat dari Allah SWT.
Suatu ketika, ada seorang rekan yang bercerita kepada saya saat dia pulang kerja ke Sidoarjo. Sehabis deadline, ada acara ultah rekan lain di kantor. Sedangkan kawan saya tersebut pada saat yang sama bergegas pulang. Karena tak bawa kendaraan, dia harus pulang naik angkot dari Surabaya menuju Sidoarjo. Jika dini hari, memang sulit angkot dijumpai. Kalaupun ada, menunggunya pun lama. Namun, kawan saya tersebut beruntung bisa cepat dapat angkot sehingga tidak perlu menunggu lama di pinggir jalan.
Dalam perjalanan itu, angkot tersebut tidak terisi penuh karena memang sepi penumpang. Saat berhenti sejenak di daerah Gedangan, Sidoarjo, ada seorang penumpang yang naik. Dia membawa beberapa lukisan kaligrafi berukuran sedang. Ternyata, penumpang tersebut adalah penjual lukisan kaligrafi. Kawan saya lantas bertanya kepada orang tersebut, ”Sudah berapa yang laku?” Pedagang kaligrafi itu menjawab bahwa seharian itu tidak ada lukisan kaligrafinya yang terjual sama sekali. Kawan saya tersebut sempat terhenyak sejenak dan merasa iba kepada penjual kaligrafi itu.
Setidaknya, saya mencoba mengambil hikmah di balik cerita sederhana dari kawan saya tadi. Kisah di angkot menuju Sidoarjo tersebut seolah menjadi reminder bagi saya. Betapa kita harus bersyukur terhadap anugerah dan nikmat Allah. Saya jadi sedih manakala teringat di ruang kantor ada suasana gembira hura-hura dalam cara ultah, sedangkan di saat yang sama ada penjual kaligrafi yang dagangannya belum laku sama sekali. Saya berpikir, bagaimana pedagang tersebut bisa makan padahal dia belum mendapatkan penghasilan pada saat itu.
Saat ini, kesenjangan sosial begitu nyata. Yang kaya makin kaya, yang duafa dan miskin makin terimpit. Bagi orang yang ekonominya mapan, terpaan krisis tak akan terasa pengaruhnya. Namun, bagi rakyat jelata, bisa makan sehari satu kali adalah anugerah yang amat besar. Subhanallah. Betapa saya tak bisa membayangkan jika perayaan ultah semakin membudaya. Pesta makan-makan begitu meriah dengan uang yang dikeluarkan tentunya tidak sedikit.
Apakah kesenjangan sosial itu kita biarkan saja? Apakah mata hati kita harus tertutup melihat ketimpangan-ketimpangan yang terjadi? Haruskah kepekaan sosial itu sekadar angin lalu? Mudah-mudahan pada usia ke-26 ini saya tak ikut tergiur dengan perayaan-perayaan semacam itu. Sebab, di kala hati resah, ketika pikiran gundah, hanya Allah lah tempat berserah dan mencurahkan hati yang sempurna.
Terbit: Eramuslim, 11 Juli 2008
Gurusiana
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar