Komplain Seorang Guru

Kilas: Eko Prasetyo

Pada 16 September 2008, Indonesia berkabung atas tewasnya 21 orang yang antre zakat di rumah H Syaikhon di Pasuruan. Demi mendapatkan Rp 30 ribu, mereka rela berdesakan, pingsan, bahkan hingga kehilangan nyawa. Bersamaan dengan kejadian itu, saya menerima e-mail tentang pendapat seorang guru SMP swasta di Surabaya.

Beliau menyampaikan keprihatinannya bahwa banyak guru di sekolah swasta atau negeri yang bukan berasal dari jalur kependidikan (SPd). Secara tegas, beliau mengatakan tidak setuju (bisa disebut tidak rela) bila guru berasal dari non kependidikan.

"Bedakan antara mengajar dan mendidik. Pokoknya, guru harus dari sarjana pendidikan," tuturnya.

"Iya, saya tahu esensinya, Pak. Tapi, banyak kita temukan bahwa kompetensi seorang guru lulusan non kependidikan tidak kalah dengan mereka yang bergelar SPd," jawab saya.

Saya lantas berkisah tentang dua rekan saya. Si A adalah lulusan pendidikan (SPd), sedangkan si B seorang sarjana sastra. Kedua-duanya memiliki pengetahuan dasar dan skill mengajar hampir sama baiknya. Saat melamar di sebuah sekolah internasional di Surabaya, si A tidak diterima. Sedangkan kawannya (si B) diterima meski dia tidak memiliki akta mengajar. Alasannya, selain dinilai mampu, si B menguasai bahasa Inggris, inilah yang tidak dikuasai oleh si A.

Saya pikir, guru dari sarjana pendidikan bukan harga mati. Artinya, seseorang yang bukan berasal dari jalur kependidikan pun bisa menjadi seorang guru. Jangan jadikan sarjana pendidikan atau bukan sebagai jurang pemisah. Meski demikian, perlu kebijakan dalam menyikapi masalah tersebut.

Jika saya ingin menjadi guru tapi tak punya akta mengajar, apakah saya akan putus asa dan meratapi mengapa dulu tidak mengambil jurusan kependidikan? Tidak!!! Mungkin, Anda tahu alasannya.


Graha Pena, 16 September 2008
Eko Prasetyo
(bias kutangkap kaki malam, sehening salma kucium aroma parasmu)

Tidak ada komentar: