Oleh: Eko Prasetyo
”Buku adalah teman bicara yang tidak mendahuluimu. Ia teman bicara yang tidak memanggilmu ketika kamu bekerja. Ia teman bicara yang tidak memaksamu berdandan ketika menghadapinya. Ia teman hidup yang tidak menyanjungmu. Ia kawan yang tidak membosankan. Ia adalah penasihat yang tidak mencari-cari kesalahan.” (Ahmad bin Ismail)
Kiranya, tak ada sedikit pun yang bisa saya sangkal dari goresan mutiara di atas. Nyatanya, buku memang sumber ilmu, guru yang tak akan pernah berharap pamrih.
Dulu, saya pernah ditanyai oleh salah seorang redaktur, “Sudah berapa buku yang Anda baca hari ini?” Pertanyaan tersebut saya tafsirkan sebagai suatu perintah agar saya tidak meremehkan salah satu aktivitas ringan tapi penting, yakni membaca.
Memang, saya tak pernah merasa rugi ketika beradaptasi dengan lingkungan membaca. Yang lebih penting, saat kita malu atau enggan bertanya tentang sesuatu yang kita tidak tahu kepada seseorang, kita bisa mendapatkan jawabannya lewat membaca buku.
Di saat banyak orang sibuk ngerumpi sana-sini, bergosip ini-itu, membahas kapan gaji naik atau kapan tunjangan cair, membicarakan keburukan atau kekurangan orang lain, serta menggunjing hal-hal tak terpuji, kegiatan membaca menjadi suatu hiburan lain yang mampu menetralkan suasana. Membaca apa pun, mulai kitab suci, buku, koran, hingga majalah. Membaca adalah media komunikasi antara kita dan diri kita. Jika perut lapar, kita penuhi keinginannya dengan asupan makanan. Kalau tubuh lelah, kita penuhi ia dengan mengistiratkannya. Namun, bila hati kita beku, membaca adalah salah satu solusi untuk menetralkan. “Bacalah dengan nama Tuhanmu. Bacalah dengan nama yang menciptakanmu.” (QS: Al-Alaq, 1-2).
Alkisah, ada seorang tukang becak. Dia tak bisa baca tulis alias buta huruf. Puluhan tahun dia menghidupi istri dan anak-anaknya dari hasil mengayuh becak. Meski demikian, salah seorang putranya ternyata mampu melanjutkan pendidikan tinggi setelah diterima di Akademi Militer di Magelang. Yang membanggakan, sang putra berhasil menyabet bintang Adhi Makayasa sebagai lulusan terbaik di kawah candradimuka para calon perwira itu.
Saat ditanya dari mana dia membiayai anaknya tersebut? “Bagaimana mungkin saya punya uang untuk menyekolahkannya? Wong saat anak saya masuk SMP saya bingung cari uang,” paparnya.
“Saya cuma berdoa memohon sama Gusti Allah agar kami sekeluarga diberi kemudahan dan ridha. Cuma itu thok karena saya nggak bisa doa panjang-panjang,” lanjutnya. Subhanallah. Saya tak melihat batas yang terbuka lebar antara doa dan membaca. Sebab, dalam doa terkandung permohonan yang diucapkan secara sungguh-sungguh.
Tukang becak itu mampu menerjemahkan bacaan tanpa teori meski dia tak mengenal aksara dengan doa. Dia percaya dengan kekuatan doa, kekuatan yang mengantarkan anaknya menjadi perwira muda. Meski bertahun-tahun hidup miskin dari hasil mengayuh becak, tak terhitung berapa kilometer yang dia kayuh, si tukang becak tersebut tak pernah lupa dengan sang Pencipta. Tiada lain, dia memfasilitasi kekurangannya dengan giat bekerja dan berdoa.
Bisa dibayangkan bagaimana raut tukang becak itu ketika melihat putranya dikalungi penghargaan tertinggi di Akademi Militer. Namun, dia ternyata tak berubah, tetap sama, masih bersahaja.
Suatu malam, ibu menelepon saya. Beliau menanyakan kabar saya karena lama tak bersua. Sembari menyelesaikan pekerjaan, saya berbincang ringan dengan beliau. Di akhir perbincangan kami, ibu sempat mengingatkan saya untuk selalu menjaga shalat. Tak lupa beliau minta dibelikan buku masakan. Saya langsung menyanggupinya. Sebuah permintaan yang wajar. Sebab, beliau sehari-hari berjualan kue dan makanan yang dititipkan di warung-warung dan kantin sekolah. Di usia setengah abad, tubuh ibu kian kurus karena menderita diabetes. Meski demikian, semangat beliau dalam bekerja membantu keuangan keluarga kian menumpukkan rasa hormat saya. Lima buku masakan sekaligus saya paketkan ke rumah untuk ibu. Jika ibu saja masih mau membaca, tak ada alasan bagi saya untuk malas membaca.
Pernah sang pujaan hati merenggut memendam kekecewaan yang dalam. Ternyata, dia kecewa karena saya hanya memberi dia kado buku di hari ulang tahunnya yang ke-26. Rasa kecewa itu dia wujudkan dengan tidak membalas SMS saya.
Tak kurang akal, saya mengirimkan pesan pendek ke ponselnya dan menulis beberapa kalimat maaf untuk dia. ”When you feel alone, just look at the spaces between your fingers. Remember that in those spaces you can see my fingers locked with yours forever. I miss you bad, sweetheart. -Maafin saya.” Beberapa saat kemudian, ponsel saya berdering ada SMS masuk. Pesan itu berbunyi, “Met kerja Mas. Pulang kerja ati-ati ya.”
Nah, membaca yang begituan itu membuat semangat kerja jadi berlipat. Seperti menimba air untuk mandi dan mencuci, membaca menjadi suatu kebutuhan, bukan lagi selingan.
Graha Pena, 21 Nov 2008
Eko Prasetyo
(asmara, ku pijak bara nafsu, ku regut aroma anyelir dari keringatmu, memelas mengajakku: bercinta)
Dipublikasikan: Eramuslim, 23 Nov 2008
Gurusiana
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar