Oleh: Eko Prasetyo
Dini hari selepas kerja, saya sempatkan kembali membuka e-mail. Ingatan ini tak sengaja terbawa pada curahan hati seorang sahabat seusai bertugas di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sekian tahun silam. Dia bukan orang asli Aceh, hanya seorang sukarelawan dari sebuah LSM di Surabaya yang pernah dikirim ke sana selama beberapa bulan pasca musibah tsunami 2004. Memang, tragedi tersebut sempat membuka mata dunia serta menjadi headline di media cetak/elektronik nasional dan internasional selama beberapa bulan. Aceh berduka.
Tepat pada 26 Desember 2004, terjadi bencana dahsyat yang juga merupakan tragedi internasional waktu itu. Gempa bawah laut yang mengakibatkan tsunami mengguncang Bumi Serambi Makkah. Episenter atau pusat gempa terjadi di sebelah utara Pulau Simelue. Tak terbayangkan, tak sampai sekian jam, hampir separo Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilanda air bah yang menewaskan ratusan ribu penduduk tersebut.
Patahan bumi yang menjadi sumber gempa di Samudera Hindia, lepas pantai barat Aceh, mengakibatkan kerusakan luar biasa. Tak hanya tanah rencong yang dataran rendahnya tenggelam, tapi beberapa negara juga ikut terkena dampaknya seperti Malaysia, Thailand, Srilanka, Pakistan, India, Bangladesh, hingga Maladewa.
Tak pelak, tangisan pilu, rintihan korban yang sekarat, mayat yang bergelimpangan di mana-mana, tanah yang rata dengan tanah dan porak poranda menjadi pemandangan yang menyayat hati. Jika Allah berkehendak atas segala sesuatu, maka apa yang Dia kehendaki pasti terjadi. Allahu akbar..
Kini, peristiwa itu telah berlalu. Perbaikan infrastruktur telah dilakukan di Bumi Serambi Makkah. Namun, kepiluan dari bencana itu masih menyisakan kenangan pahit yang cukup dalam terhadap korban selamat, termasuk para relawan yang dikirim ke sana.
***
Sahabat saya mengisahkan sebuah pengalaman yang tak bisa dia lupakan seumur hidup saat bertugas ke Aceh pascabencana tsunami. Kebetulan, dia dan beberapa relawan lainnya berada di Kota Meulaboh yang sekitar 80 persen infrastrukturnya hancur.
Allah menampakkan kebesaran dan keagungan-Nya. Terbukti, meski kondisi sebagian besar rumah di tanah rencong rata dengan tanah, bangunan Masjid Rahmatullah yang berada di Kampung Lhoknga, Kecamatan Aceh Besar, selamat dan berdiri kukuh. Masjid dengan tiga kubah yang didirikan pada 12 September 1997 itu mampu bertahan meski sudah digelontor amukan gelombang tsunami yang amat dahsyat. Karena letaknya di tengah lembah dan di kala seluruh bangunan di sekitarnya rebah, masjid bercat putih tersebut bila dipandang dari kejauhan tampak mengapung ke udara. Subhanallah.
Seusai bertugas, sahabat saya tersebut masih sering mengisahkan pengalamannya lewat e-mail. Sahabat kami tersebut menuturkan betapa trauma sangat memengaruhi warga yang selamat. Rasa ngeri melihat jasad-jasad yang terkadang sudah tak utuh lagi sangat menguji batas toleransi keberanian. Rasa sosial dan nurani seorang sukarelawan diuji manakala harus mengevakuasi mayat-mayat korban.
Perasaan jijik dan mual saat memindahkan jenazah untuk dikubur secara masal seolah tak lagi menemani sahabat tersebut. Dia seakan telah terbiasa dengan hal itu setelah berhari-berhari menghabiskan waktu di sana.
Pernah, dia bertemu dengan seorang korban selamat di Meulaboh. Sang korban yang masih remaja itu tak henti berteriak dan menangis karena mengalami trauma hebat. Dia tak hanya mengalami luka hebat pada kakinya akibat tsunami. Tapi, dia juga harus kehilangan kedua orang tua dan saudaranya yang tewas diterjang air bah. Remaja itu seraya menangis meminta sahabat saya dan beberapa relawan lain yang ada di situ untuk membunuhnya saja karena merasa telah kehilangan segalanya dan tak mampu menanggung beban penderitaan tersebut. Tentu saja, hati manusia mana yang tak tersentuh dengan kejadian yang menimpa remaja tersebut. Pastilah, banyak korban-korban lain yang bernasib sama seperti yang dia alami. Subhanallah.
***
Gelombang dahsyat yang menyapu bumi Aceh pada 2004 meninggalkan duka mendalam bagi bangsa Indonesia. Bantuan logistik, obat-obatan, medis, serta dukungan moral tak cukup untuk memulihkan trauma para korban selamat yang kehilangan sanak famili mereka.
Namun, Allah adalah sebaik-baik tempat kita kembali. Allah Yang Mahagagah Perkasa jauh lebih berhak menentukan atas nasib kita, hamba-hamba-Nya yang dhaif.
Kita kadang terlampau angkuh berjalan di atas bumi Allah. Kita alpa bersyukur dan memelihara bumi dengan sebaik-baiknya. Saat senang, kita lupa pada Ilahi. Tapi, ketika ditimpa musibah kita baru memohon ampun dan mengucap istighfar. Segala nikmat lewat akal dan hati yang diberikan Ar Rahman rupanya tak cukup menggerakkan kalbu kita untuk mengucap syukur dan ampunan.
Lantas, pantaskah kita menyalahkan bahwa Allah tidak adil ketika musibah melanda negeri kita bertubi-tubi, baik yang disebabkan oleh alam maupun kelalaian manusia? Sungguh, kitalah sebenarnya yang terkadang kerap memperlakukan Allah tidak adil.
Cinta sejati lahirnya dari dalam hati yang bersih. Yang datang saat kedua tangan menengadah bermunajat berharap ampunan. Air mata yang jatuh karena mengingat dosa dalam keheningan malam menjadi untaian kasih mesra. Cinta sejati bukannya tak ada. Sebab, Ia begitu dekat, sangat dekat...saat kita bersujud.
Semoga bencana tsunami beberapa tahum silam dan musibah-musibah lainnya yang melanda negeri ini membuat kita sadar bahwa diri kita kecil, bukan apa-apa. Apa yang kita punya tak lebih dari sekadar debu titipan yang akan diminta kembali kelak saat tiba masanya. Mati pun manusia hanya berkawan kain kafan. Hanya kerendahan hati dan setangkup cinta kepada Allah lah yang mampu menyelamatkan kita dari penyakit menghamba duniawi.
Yaa Hayyu, Yaa Qayyum..
diri ini tak luput dari noda dosa
ampunilah kami yang khilaf dan kufur atas segala nikmat-Mu
selamatkanlah kami dari segala marabahaya dan bencana, amiin..
Graha Pena, Mei 2008
dimuat: Eramuslim, 5 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar