Oleh: Eko Prasetyo
"Anda Eko Prasetyo dari Resists Book itu?" Pertanyaan ini sering masuk di e-mail saya.
"Bukan. Hanya kebetulan nama kami sama," jawab saya singkat.
"Tapi, saya sering membaca tulisan Anda di eramuslim dan beberapa situs lain," ucapnya.
"Itu hanya kebetulan, Pak," ujar saya meyakinkan.
Salah seorang di antara sekian penanya tersebut adalah seorang guru. Tak butuh waktu lama, kami lantas akrab meski hanya bertukar kabar lewat e-mail. Beliau menanyakan apakah saya menulis buku seperti halnya Eko Prasetyo dari Resist Book itu. Saya menjawab iya.
"Hanya kami berbeda mahzab meski sama-sama aktif di kegiatan kependidikan," jawab saya.
Guru tersebut kemudian memaparkan pengalamannya sebagai guru honorer di Kabupaten Madiun. Usianya sekitar 35 tahun, jauh di atas saya.
"Jika tak sedang mengajar, saya memungut sampah plastik bekas air mineral, Mas," tuturnya.
Saya terdiam sejenak, lalu melanjutkan membaca kisahnya tersebut.
"Lumayan hasilnya bisa buat nambah beli keperluan rumah," lanjut dia.
Bukan kali ini saja saya dicurhati oleh orang lain. Namun, saya justru kian tertarik menyimak pengalaman beliau yang luar biasa tersebut.
Dia menceritakan bahwa niatnya untuk menjadi guru tetap masih tinggi meski dirinya nyaris putus asa dengan keadaan yang sekarang.
Sebagai guru tidak tetap di sebuah SD, beliau menerima upah tak sampai Rp 500 ribu. "Justru hasil dari menjual sampah plastik lebih besar dari itu," ucapnya dengan nada berbesar hati.
Dia mengisahkan, hasil dari memulung plastik air mineral kadang berpihak pada nasib dirinya ketimbang pemerintah yang belum mengoptimalkan kuota tenaga honorer dalam pengangkatan guru PNS di daerah setempat. Betapapun, keluarganya merasa tertolong karena dapur mereka bisa tetap mengepul berkat hasil memulung sampah plastik.
"Yah, ibaratnya saya ini bisa disebut guru sampah," ucapnya setengah berkelakar.
Mungkin, perkataan jujur yang terlontar dari beliau adalah upaya menghibur diri sejenak di tengah impitan kesulitan ekonomi yang memang dirasakan oleh banyak guru senasib.
Kami tetap intens berkomunikasi meski hanya bersua lewat dunia maya. Saya pun mengajak beliau untuk ikut serta dalam Klub Guru Indonesia untuk berbagai pengalaman luar biasanya.
A good teacher mixes with people of noble character. He strives for people's benefits and seeks to protect them from harm.
Kiranya, saya menaruh respek yang tinggi atas perjuangan seorang guru. Dia harus menunaikan tanggung jawabnya yang mulia untuk kelangsungan pendidikan para muridnya. Guru tersebut mengajarkan kepada saya banyak hal, termasuk menghadapi tantangan hidup dan bertahan hidup.
Persoalan perut kadang dapat membuat orang bisa melakukan apa saja, tak peduli bahwa dia adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Cuaca Surabaya di antara kering dan basah, tapi tak sebasah hujan menabur kasih di tengah riamnya krisis moral di negeri ini. Semoga Allah selalu memudahkan hamba-hamba-Nya yang mau berusaha dan bekerja keras, amiin Ya Mujibasailin.
Castralokananta, 29 November 2008
Publikasi: eramuslim.com (1 Desember 2008)
Gurusiana
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar