The Big Issue dan Kegigihan


Oleh Eko Prasetyo


Dan kau harus mencintai Tuhan, Tuhanmu
Dengan sepenuh hatimu, dengan sepenuh jiwamu, dan
dengan semua kekuatanmu.
Dan kata-kata ini yang aku perintahkan kepadamu hari ini
Harus tetap berada dalam hatimu.
(The Last Secret of The Temple, Jejak Perebutan Tanah Suci Tiga Agama
: hal 559)

Novel karya Paul Sussman ini benar-benar membuat saya takjub. Sebagai buku fiksi sejarah, Sussman mampu menghadirkan alur cerita yang kuat dan menyentuh lewat kisah perjuangan di Timur Tengah. Hingga tak terasa, dua jam saya habiskan untuk melahap buku setebal 569 halaman tersebut.
Tak salah bila novel The Last Secret of The Temple ini menuai banyak pujian. Bahkan, James Rollins –penulis karya best seller versi New Times– mengatakan bahwa novel Paul Susman tersebut lebih hebat dibandingkan karya Dan Brown sekalipun. Pujian serupa datang dari Raymond Khoury, penulis buku The Last Templar. ”Novel yang kaya observasi,” tulis Khoury.
Independent bahkan menurunkan tajuk bahwa The Last Secret of The Temple merupakan bacaan cerdas yang menandingi Da Vinci Code. Namun, saya tidak hendak mengupas isi novel Sussman itu. Benak saya justru menaruh penasaran terhadap penulis yang satu ini. Dalam biografinya tertulis bahwa Sussman pernah bekerja sebagai penggali kuburan, tukang bangunan, dan penjaja detergen.
Ternyata, dia merupakan salah seorang pendiri The Big Issue, majalah sosial yang fokus mengentaskan tunawisma. Sussman bersama John Bird dan Gordon Roddick mendirikan majalah tersebut di London, Inggris, pada 1991. Sejak itulah, Sussman menekuni dunia kewartawanan. Dia pernah menjadi kontributor di The Daily Telegraph, The Daily Express, dan The Sunday Herarld. Kini Sussman rutin menulis di CNN.com biro Eropa.
Perhatian saya lantas tertuju pada The Big Issue. Dulu seorang teman pernah membawakannya ketika pulang bertugas dari Australia. Komentarnya pendek, ”Menarik”. Saya tak sempat melihat isinya sehingga tak bisa menerka apa yang dimaksud menarik itu.
Rasa penasaran tersebut terbayar ketika melihat liputan khusus tentang The Big Issue di London melalui sebuah stasiun televisi swasta. Mulanya, ditayangkan tentang cara penjualannya yang tak lazim. Majalah tersebut tidak diperjualbelikan di toko atau kios buku. Ia hanya dijajakan oleh orang yang berpenampilan sangat sederhana (untuk tidak menyebut di bawah standar penampilan warga setempat). Si penjaja majalah menawarkannya kepada para pejalan kaki dengan mengangkat majalah itu tinggi-tinggi. Pasif, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut si penjual.
Dikutip dari Google, The Big Issue merupakan badan internasional yang bekerja sama dengan para tuna wisma (homeless people) di seluruh dunia. Mulai Inggris, Asia, Australia, sampai Afrika. Perusahaan tersebut juga bertujuan untuk mempromosikan dirinya bahwa sebuah usaha sosial bisa menjadi solusi bagi homelessness dan social exclusion.
Di Jepang, seorang tunawisma akan diberi sepuluh majalah Big Issue seharga 140 yen dan dijual ke pembeli 300 yen. Untungnya separo lebih. Hal serupa bisa ditemui di kota-kota di Inggris seperti London, Sunderland, dan Birmingham. Beberapa penjual majalah Big Issue (tentu saja tunawisma) yang ditemui BBC Indonesia mengaku menjual Big Issue mencegah mereka terjerumus ke masalah dan membuat tetap sibuk sepanjang hari.
Kepada pembaca, manajemen Big Issue menegaskan bahwa para penjualnya bekerja, bukan mengemis. Salah satu keuntungan bagi tunawisma penjual Big Issue adalah tak ada target penjualan. Pengelola majalah Big Issue memang menyatakan diri sebagai usaha sosial guna mendorong tunawisma yang tidur di emperan toko, taman umum, atau rumah penampungan sementara untuk bangkit kembali ke kehidupan yang layak (BBC Indonesia, 10/3/2010).
Ternyata, menulis (lebih tepatnya sarana media) bisa solusi bagi suatu masalah sosial. Paul Sussman, John Bird, dkk telah membuktikannya lewat The Big Issue. Sebuah dorongan bertahan hidup dengan cara yang lebih terhormat (ketimbang mengemis). Tertarik menulis dan membuat media seperti Big Issue di Indonesia?

Sumber bacaan:
BBC Indonesia
Google
The Big Issue
The Last Secret of The Temple

Graha Pena, 15 Agustus 2010

Tidak ada komentar: