Mengapa Mesti Bohong?

Catatan Eko Prasetyo
editor Jawa Pos

“Pangkal dari dosa adalah bohong.”
Nasihat tersebut saya kutip ulang dari sebuah akun Facebook milik teman yang menjadi pemred di sebuah media di Jawa Timur. Dia memang gemar menuliskan kalimat-kalimat bernada nasihat, pepatah, dan petuah. Bukan tanpa alasan jika saya mengutip kalimat itu. Sebab, ada pengalaman pribadi yang bersinggungan dengan petuah tersebut, termasuk kasus-kasus yang saat ini tengah hangat di masyarakat.
Pada medio 2009, saya diamanahi uang Rp 15 juta untuk salah satu kegiatan di kantor. Diberikan cash oleh bendaharanya. Jujur, saya semula ragu. Karena itu amanah dari atasan, saya menerima.
Uang tersebut dimasukkan ke dalam amplop cokelat besar dan dilipat-lipat. Ketika pulang ke rumah, uang itu turut saya bawa. Saat berangkat ngantor, uang tersebut saya bawa lagi. Agar tak menimbulkan kesan membawa uang banyak, saya membawa tas cangklong yang biasa saya bawa.
Keluar masuknya uang itu juga saya awasi ketat, terdata dengan baik. Keluar 500 rupiah saja, saya mencatatnya. Pokoknya tidak diutak-atik untuk keperluan selain kegiatan kantor tersebut.
Sebenarnya, pengawasan dari atasan sangat longgar. Kondisi itu sangat memungkinkan tindakan mark up dengan berbagai trik dan alasan. Kalau saya mau, saya bisa mengambilnya beberapa ratus ribu rupiah, bahkan jutaan. Lantas menutupinya dengan segala kebohongan. Mudah dan segalanya memungkinkan pada waktu itu.
Namun, entah mengapa, setiap berniat untuk meminjamnya, saya langsung mengurungkannya. Takut. Jujur saya khawatir niat itu bisa berubah di tengah perjalanan. Dan itu bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, setiap ada peluang.  
Alhamdulillah, uang yang nominal bagi saya sangat besar itu bisa sesuai peruntukannya. Kendati pengawasannya longgar, saya tidak berbuat neko-neko dengan memakai uang itu, meski untuk beli es campur sekalipun. Meski bisa saja saya menilapnya, hal ini juga tak terjadi. Jujur saja, saya takut. Seribu perak pun saya nggak berani mengambilnya.
Di kesempatan lain, pikiran saya pernah berkecamuk. Pasalnya, saya berbohong kepada bapak. Saat itu saya sedang sibuk. Dalam percakapan di gagang telepon, bapak menanyakan saya bisa menengok mbah yang sakit atau tidak. Karena dalam posisi benar-benar sibuk, iseng saya menjawab nggak bisa dengan alasan tidak berada di Surabaya. Iseng. Kalimat itu keluar begitu saja seolah tanpa saya sadari karena pikiran ini terpecah ke pekerjaan.
Setelah kerjaan rampung, saya menyadari kalimat yang terlontar kepada bapak sebelumnya. Cemas bukan main. Bukankah bapak bilang tadi mbah sakit dan menanyakan saya bisa menjenguknya atau tidak. Sadar telah berbohong, hati ini nggak tenang rasanya. Sungguh, cemas sekali.
Tanpa pikir panjang, saya izin ke teman untuk meninggalkan tugas sebentar. Saya ke tempat parkir, ambil motor, lalu menggeber kencang menuju rumah mbah. Mampir ke toko sebentar untuk beli makanan kecil, saya menengok beliau. Tak berapa lama, saya menelepon bapak. Melaporkan bahwa saya sudah menjenguk mbah. Juga meminta maaf sama bapak.
Plong sudah rasanya. Seperti melepas beban yang sangat berat.  Ternyata bohong itu bener-bener nggak enak, bikin hati tidak nyaman. Teringat salah satu nasihat: ”Jika seseorang mulai berbohong, ia akan menutupinya dengan kebohongan yang lain.”  
Makanya, saya tidak habis pikir dengan orang-orang yang korup, berbohong dengan menilap uang rakyat, dan terlibat aksi suap-menyuap. Yang terbaru, masalah Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat yang tersangkut kasus dugaan korupsi wisma atlet di Palembang. Dia dikabarkan kabur ke luar negeri. Kabur-kaburan ke luar negeri bukan barang baru bagi orang-orang yang terseret kasus di negeri ini. Contohnya, Nunun Nurbaeti.
Mungkin saja Nazaruddin benar-benar salah. Kalau tidak, kenapa dia nggak berani mudik ke Indonesia saja? Juga, apakah hatinya bisa tenang? Atau ia lupa akan slogan kampanye partainya waktu kampanye dulu: ”Katakan Tidak pada Korupsi!” Iklannya gede banget waktu itu di koran. Anda juga masih ingat, kan?

Surabaya, 13 Juli 2011

Tidak ada komentar: