Puasanya Bapak


Catatan Eko Prasetyo
 
Gambar: Google
Sungguh orang ini baik betul. Baik perangai maupun tutur katanya. Tipikalnya suka memberikan nasihat kepada para pemuda setempat. Kebapakan. Saya tak tahu namanya. Saya mengenalnya sebagai pemilik warung kopi yang kerap saya singgahi ketika menunggu waktu menjemput istri pulang mengajar.

Kendati belum tahu namanya, kami seolah akrab sekali seperti bapak dan anak sendiri. Dari istrinya, saya tahu bahwa lelaki tua ini menderita sakit ginjal. Dalam sebulan sekali, ia dengan diantar istrinya check up rutin ke RSUD dr Soetomo, Surabaya. Jarak yang ditempuh cukup jauh, dari Sidoarjo ke Surabaya. Kendati demikian, itu tetap dijalani mengingat peralatan di RSUD dr Soetomo sudah memadai.

Bapak, saya biasa menyebut beliau demikian, sering mengingatkan saya akan waktu salat bila sudah terdengar azan. Tentu saat saya mampir ke warungnya. Namun, yang unik, meski mengingatkan, belum pernah saya melihatnya salat. Bahkan, meski di warungnya ada sang istri, Bapak tidak beranjak pergi ke masjid untuk salat berjemaah bersama kami. Padahal, kan bisa gantian jaga warung dengan istrinya kalau dia mau.

Hidayah Itu Menyapa
Suatu malam selepas salat Tarawih, saya mampir ke warung kopi Bapak. Tidak sekadar ngopi, saya juga punya agenda menjemput istri yang pulang malam karena ikut acara Pondok Ramadan di sekolahnya.

Saya memesan secangkir kopi kepada ibu pemilik warung tersebut.
”Bapak ke mana, Bu?” tanya saya membuka percakapan.
Beliau hanya tersenyum. Tak bergegas menjawab.

”Bapak akhir-akhir ini sudah berubah,” ucapnya.
Lho, berubah nopo?”
Namun, tensi ucapan ibu itu tak merautkan nada kecewa, justru sebaliknya.
”Bapak sampun purun poso. Niki wau salat Tarawih ten musola (Bapak sudah mau puasa. Tadi barusan ikut salat Tarawih di musala),” tutur ibu. Rautnya gembira.

Kami kemudian terlibat pembahasan soal bapak. Dari ibu, saat itu pula saya tahu nama orang yang sering saya panggil Bapak tersebut. Yakni, Abdul Malik. Nama yang bagus, tentu saja. Ada unsur asmaul husna-nya. Namun, dari ibu, meski Pak Malik tergolong orang baik, ia tidak salat. Juga tak puasa.

Di kalangan orang Jawa, yang seperti itu biasanya disebut abangan. Bahasa trennya: Islam KTP. Sang istri, si ibu tersebut, pantas gembira. Sebab, ia sendiri merasa tak kurang-kurang dalam menyelipkan nasihat kepada suaminya. Mulai mengingatkan hingga mengajak salat.

Seingat saya, kepada anak-anak muda yang mampir ke warungnya, Pak Malik bahkan suka mengingatkan mereka salat jika azan sudah terdengar. Tapi, Pak Malik sendiri malah tidak melaksanakannya.

Karena penasaran, kepada Bu Malik, saya menanyakan alasan Pak Malik yang akhirnya mau mengaplikasikan nasihat yang sering ia lontarkan sendiri itu. Ibu menggeleng. Ia sendiri mengaku tak tahu. Namun, dia menduga bahwa Pak Malik mungkin teringat sakitnya yang sebenarnya terhitung bisa berakibat fatal. Berkat kartu jamkesmas, dia bisa berobat gratis. Padahal, di sisi lain, ia telah divonis gagal ginjal.

Tak lama kemudian, terdengar sapaan ”assalammualaikum”. Dari Pak Malik. Surprise sekali rasanya. ”Walaikumsalam,” jawab saya dan Bu Malik serentak tanpa dikomando.

Raut wajah Bapak sedikit pucat, namun semangatnya masih sama seperti saat kami sering cangkruk di warungnya tempo-tempo dulu. Ia lantas bercerita tentang pengalamannya berpuasa. Ia mengaku sedih karena selama puluhan tahun memeluk Islam, tapi salat pun jarang dilakukan. Puasa apalagi.

Baru kali ini dia mencoba berpuasa. Berat, katanya. Saya maklum karena kondisinya memang sakit ginjal. ”Ternyata, puasa itu enak sekali,” kata Bapak.
Ya, saya paham maksudnya. Nikmat berpuasa adalah ketika sahur dan berbuka. Itu tak bisa diukur dengan apa pun selain manfaat puasa yang amat melimpah bagi kesehatan.

Waktu terus berputar, tiba saatnya saya menjemput istri. Berpamit, lagi-lagi membawa hikmah kecil yang bagi saya teramat besar. Semakin membuat saya kagum akan kebesaran Allah.

Hidayah-Nya memang tak pernah disangka-sangka. Seorang muslim yang jarang salat hampir separo lebih usianya akhirnya mau salat dan puasa Ramadan. Dan ikut menikmati lezatnya iman. Semoga puasanya Bapak menjadi titik awal kembali untuk semakin mempertebal imannya kepada Rabb azza wajalla. Menjadi wisudawan Ramadan yang bertanggung jawab serta semakin giat berlomba berburu kebaikan. Selamat tinggal Ramadan, kami selalu merindukanmu.  

Ya Allah, pertemukanlah kami dengan Ramadan berikutnya...

Graha Pena, 30 Agustus 2011

Tidak ada komentar: