Keluhan Ortu Siswa SD Negeri



Catatan Eko Prasetyo

editor Jawa Pos



Sumber ilustrasi: t3handoko.blogspot.com
Dalam suatu perbincangan, saya mendapat keluhan dari salah satu orang tua siswa. Dia mengaku risau karena anaknya yang kini duduk di bangku kelas 3 sebuah SDN di Sidoarjo sering dipulangkan sebelum waktunya pulang. Paling sering pulang pukul 10.00, bahkan pernah pukul 09.00 sudah tidak ada kegiatan belajar mengajar (KBM). Pihak guru beralasan, ada rapat ataupun mengikuti kegiatan yang terkait sertifikasinya.

Pak Didik, demikian nama wali murid tersebut, berhak cemas lantaran dia menilai anaknya tertinggal cukup jauh dengan teman sebayanya yang bersekolah di SD swasta. Pak Didik adalah tetangga saya. Dia memang menaruh perhatian besar terhadap perkembangan pendidikan putranya di sekolah.

Dia tidak mengharuskan anaknya mendapat nilai bagus atau meraih peringkat tertentu di kelas. Suatu ketika, Pak Didik membuka nilai rapor anaknya. Di situ tertera nilai PPKn-nya lumayan, dapat 7. Suatu ketika, saat diminta menyebutkan sila-sila dalam Pancasila, sang anak menjawab tidak tahu. Menurut Pak Didik, putranya juga lemah di matematika. Sementara pengetahuan yang diberikan di kelas dinilai kurang memadai dan memuaskan. Karena itu, Pak Didik bermaksud mengikutkan anaknya untuk les matematika. Ia betul-betul tidak puas.

Hal tersebut membuatnya mempertanyakan kualitas guru di SD negeri tempat anaknya bersekolah. Pak Didik kian geram karena guru di SDN tersebut pernah mengancam siswa untuk ikut les pada guru bersangkutan. Misalnya, para murid sering diberi tugas untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dan jawabannya diberikan saat les pada guru tersebut. Akibatnya, si murid terpaksa ikut les.

Itu baru sisi akademisnya. Dari segi nonakademis, ada masalah lain. Misalnya, soal baju batik. Batiknya dibikin oleh pihak SDN yang bersangkutan. Namun, siswa hanya punya satu setel. Suatu ketika Pak Didik ingin membelikan batik anaknya yang dinilai sudah tidak laik karena kekecilan. Namun, di koperasi tidak ada. Padahal, setahu dia, anggaran untuk pengadaan seragam batik sudah cair. Saat membeli di toko seragam dan mencari batik yang motifnya mirip dengan batik sekolah, sang anak tidak mau. Dia takut dimarahi jika pakai seragam batik yang tidak keluaran sekolah.  

Beragam masalah itu membuat Pak Didik prihatin dan kesal. Anaknya sering dipulangkan pukul 10.00. Pernah si murid pulang pukul 13.00, tapi itu saat piket saja. Piket di sini maksudnya merapikan bangku-bangku dan menyapu kelas.

Puncak kekecewaan Pak Didik memuncak saat tiga bulan setelah tahun ajaran baru, namun jadwal pelajaran belum dibuat sang guru. Dampaknya, sang murid membawa semua buku materi sehingga tasnya terlihat penuh sesak. Sampai terbungkuk-bungkuk karena beban yang berat itu. Kritik soal ini pernah dilontarkan Pak Didik ke komite sekolah, namun responsnya kurang.  

Pak Didik membandingkan siswa dari SD-SD swasta. ”Tak salah jika saat ini banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta yang bermutu lebih baik dan gurunya lebih peduli terhadap perkembangan anak didik,” ucapnya. Memang dia tak menampik masih adanya sekolah-sekolah negeri yang bagus.

Namun, jika kesenjangan kualitas antara SD negeri dan SD swasta kian tajam, tentu yang tidak diuntungkan adalah keluarga miskin. Harapan akan pendidikan yang terjangkau dan berkualitas bisa jadi menguap dan tinggal harapan saja. Tentunya, pengalaman Pak Didik hanya satu contoh kasus. Bisa jadi banyak ortu siswa yang mengalami pengalaman serupa, namun tak berani bersuara.

Semoga ke depan ada perhatian khusus dan perbaikan serta kasus ini menjadi instrospeksi bagi semua pihak. Jangan sampai kondisi ini membuat dikotomi SD negeri dan swasta kian tajam.



Graha Pena, 4 Maret 2012

Tidak ada komentar: