Menulis Itu Ibadah

 
Catatan Eko Prasetyo
editor Jawa Pos

Ah, aku masih ingat perjalanan jauh itu. Dengan sepeda motor kesayanganku, kususuri jalan-jalan lintas kota dan segala suasananya. Jalanan belum ramai oleh hiruk-pikuk lalu lalang kendaraan pribadi dan umum. Nyaman.
Pagi itu aku membawa setangkup ilmu untuk kuhidangkan bersama-sama para ustad-ustazah di kota kecil tersebut. Ya, hari itu aku datang untuk memenuhi undangan salah satu pimpinan yayasan tersebut di kota yang berjarak sekitar 70 kilometer dari Kota Pahlawan.
Aku sempatkan sarapan nasi pecel yang dibungkus daun pisang dengan lauk seadanya, namun itu sudah sangat cukup buatku. Tampak mengepul nasinya. Kusantap dengan lahap sebelum meneruskan perjalanan ke tempat yang sungguh terpencil itu.
Setiba di lokasi, kusaksikan gedung yang sederhana. Namun, menurutku, bisa dibilang yang termegah di kawasan situ. Sejenak datang pria berkopiah putih menyambutku ramah. Tampaklah bahwa yang bersangkutan adalah pimpinan di yayasan tersebut. Oya, yayasan itu membawahkan tiga sekolah. Yakni, madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), dan madrasah aliyah (MA).
Kulihat di luar debu-debu disapu angin. Cuaca memang terik meski jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku mafhum, apalagi kawasan tersebut termasuk wilayah pesisir. Dekat pantai. Banyak penduduknya yang mencari rezeki dengan menjadi nelayan tradisional. Bau amis ikan kadang masih tercium. Wajar, jarak antara pantai dan tempat kami saat itu tak kurang dari satu kilometer.
Selesai memanjakan mata dengan pemandangan dan suasana tempat tersebut, aku dibimbing masuk menuju ruang kelas. Bertatap muka dengan para ustad dan ustazah di sana. Wajah-wajah ramah lagi-lagi menyeruak. Aku memperkenalkan diri.
Bekal ilmu yang kubawa dari rumah sejak subuh kubagikan semua tanpa sisa. Semua antusias, penuh tanya, dan tertarik dengan menu-menu pelatihan yang kusajikan.
Ya, hari itu aku membawa menu menulis dengan bumbu khusus. Kuracik sedemikian rupa. Kuharap mereka suka. Dan memang itu faktanya.
Setelah rampung, aku bersiap untuk berkemas kembali. Kuhadiahi beberapa buku untuk beberapa ustad di sana.
Hari itu aku memang tidak dibayar atas menu-menu yang kubawa tadi. Namun, aku tetap pulang dengan hati gembira. Aku bersyukur telah diberi kesempatan untuk berbagi ilmu. Menulis itu ibadah. Maka, tentu saja aku bahagia mendapat kesempatan bersedekah ilmu menulis.
Kuharap mereka senang dengan hidangan yang kusajikan tadi. Dan berkenan pula membagikannya kepada yang lain. Semoga.
”Saling berlakulah jujur dalam ilmu dan jangan merahasiakannya. Sesungguhnya berkhianat dalam ilmu lebih berat hukumannya daripada berkhianat dalam harta.” (HR Abu Naim)

Tidak ada komentar: