Subhanallah, Pemulung Ini Menulis

 
Menulis itu menenangkan jiwa dan pikiran. Tak peduli seberapa sulit kesulitan dan tantangan hidup yang dihadapi, menulis bisa menjadi salah satu alternatif untuk meredam segala kesumpekan hidup. Dengan menulis saja, seseorang mampu mengembalikan semangat hidup untuk meningkatkan kinerja dan tak lekas menyerah pada kesulitan hidup.
Itulah yang dilakukan Edy S. Pithingan.
Hari ini saya membuka kembali lembaran-lembaran majalah Oase keluaran terbaru atau edisi Maret 2012. Saya menjumpai sedikit berita tentang profil yang luar biasa itu, Edy.
Sehari-hari ia memulung sampah plastik dan botol bekas air minum kemasan. Edy saat ini tinggal di Blitar, tepatnya di Masjid Syuhada Haji Kota Blitar. Hidupnya sebatang kara. Karena sulitnya mencari kerja, ia memutuskan bertahan hidup dengan mengais rezeki di tumpukan-tumpukan sampah. Mencari sisa-sisa plastik dan sekadar botol plastik yang tak terpakai.

Sebagaimana dikutip dari majalah Oase (III/3/2012), pada 1997 Edy pernah mengalami kecelakaan hebat. Akibatnya, ia terluka cukup parah dan kehilangan pendengaran. Semua harta benda yang dimiliki dijual habis untuk pengobatan. Tidak dijelaskan lebih lanjut soal latar belakang dan keluarganya.
Namun, Edy tetap menyimpan optimisme dalam mengarungi kerasnya persaingan. Di tengah semakin mahalnya harga kebutuhan pokok plus rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), masyarakat tentu pantas cemas. Namun, Edy tak mau larut dalam kekhawatiran. Untuk mengusir kepenatan dan menenangkan hati, ia menulis.
Hah? Menulis? Ya, Anda tidak salah, kendati hanya seorang pemulung sampah plastik, Edy ternyata doyan menulis.
Patut diketahui, selain menderita gangguan pendengaran, Edy diindikasi sakit diabetes dan tumor jinak di pinggangnya. Meski khawatir dan tiada biaya untuk pengobatan, ia mencoba menghibur diri dengan menulis. Berdasar data yang dihimpun majalah Oase, Edy tercatat telah memiliki 17 jilid cerpen dan puisi. Subhanallah, luar biasa!
Bagaimana proses kreatifnya dan bagaimana kiatnya menulis dengan segala keterbatasannya sebagai seorang pemulung? Ternyata, ia rajin mengumpulkan kertas yang ditemukannya saat memulung sampah. Setelah menumpahkan gagasannya lewat karya cerpen dan puisi, ia mengetikkannya ke jasa pengetikan. Biaya mengetik saat ini cukup terjangkau, hanya Rp 1.000 per lembar. Namun, ia tak selalu bisa membayar biaya jasa pengetikan.
Suatu ketika, Edy membaca buletin LMI (Lembaga Manajemen Infaq) di masjid tempat ia berteduh dan tinggal. Lantas ia berinisiatif ke kantor LMI cabang Blitar. Karena tak punya uang untuk bayar jasa pengetikan, ia mengajukan bantuan laptop untuk menulis. “Tidak harus bagus, bekas pun tak apa-apa,” ujarnya seperti dikutip dari majalah Oase. Gayung pun bersambut.
LMI bertindak cepat dengan memublikasikannya ke para donatur via SMS center dan internet. Responsnya sangat bagus. Ada donatur yang bersedia menyumbangkan laptopnya yang tak terpakai.
 Kamis, 16 Februari 2012, tim LMI berkunjung ke masjid tersebut dan memberikan bantuan laptop untuk Edy. Tim LMI juga diajak melihat-lihat ruang kerja penulis hebat tersebut. Yang dimaksud ruang kerja itu adalah sebuah ruang sempit tempat menaruh botol plastik dan sampah-sampah plastik lainnya. Di situlah Edy bekerja dan menuangkan buah pikirannya.
Sungguh, saya tercekat membaca sekelumit kisah Edy. Ia berusaha bangkit dan tak menyerah pada keadaan serta segala keterbatasan. Ia menulis tak sekadar untuk menghibur diri. Ia tak ingin ide dan imajinasinya terpasung keterbatasan dan kesulitan hidup.
Anda seorang pekerja atau pengusaha, tapi belum menulis? Sebaiknya Anda malu karena seorang pemulung saja mau menulis dan ia mendapatkan manfaat dari aktivitas tersebut.

Sidoarjo, 15 Maret 2012

Tidak ada komentar: