Letters from Iwo Jima


Oleh Eko Prasetyo

A good film is when the price of the dinner, the theatre admission and the babysitter were worth it
~Alfred Hitchcock~

***
You should see it...” Seolah serempak, beberapa teman merekomendasikan film ini ketika kali pertama tayang di bioskop awal 2007. Premier-nya sendiri dihelat di Nippon Budokan, Tokyo, pada 16 November 2006. Mulai 20 Desember 2006, film berjudul Letters From Iwo Jima ini tayang di Amerika Serikat agar bisa mengikuti Academy Awards 2006.
Saya memberikan nilai empat bintang di antara skala maksimal lima untuk film besutan sutradara Clint Easwood tersebut. Alasannya, selain mampu mengaduk-aduk emosi penonton lewat ketegangan demi ketegangan dari gambaran pertempuran dahsyat di Iwo Jima pada 1944, film drama ini mencoba mengurai sejarah Perang Dunia II. Lebih dari itu, Letters from Iwo Jima layak dan mesti ditonton oleh mereka yang ingin belajar menulis kreatif.
Sisi lain yang unik dari film ini adalah seluruh adegan di Letters from Iwo Jima menggunakan bahasa Jepang, meski film itu buatan Amerika Serikat. Film ini merupakan kelanjutan film Flags of Our Fathers yang mengisahkan pertempuran yang sama di Pulau Iwo Jima. Letters from Iwo Jima dibikin berdasar perspektif Jepang, sedangkan Flags of Our Fathers dari perspektif Amerika Serikat.
Jauh sebelum menonton film ini, saya sering membaca buku-buku tentang Perang Dunia I dan II. Salah satunya, buku Perang Pasifik karya P.K. Ojong (Penerbit Kompas: 2001).
Pesan Menulis
Sesuai dengan judulnya, Letters from Iwo Jima mengambil setting di Pulau Iwo Jima. Tidak ada yang istimewa sebenarnya dengan Iwo Jima. Gersang. Namun, pulau inilah yang dinilai sangat strategis bagi Amerika Serikat untuk menggempur Tokyo dengan menduduki Iwo Jima terlebih dahulu. Jika Iwo Jima jatuh, pulau itu akan dijadikan pangkalan bagi Amerika Serikat untuk melanjutkan serangannya ke Tokyo.
Karena itu, panglima perang Jepang Jenderal Hideki Tojo memerintahkan Letnan Jenderal Tadamichi Kuribayashi untuk mempertahankan Iwo Jima. Namun, Operasi Detasemen atau yang dikenal dengan pertempuran Iwo Jima justru menjadi titik balik kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.
Perang Iwo Jima bisa disebut perang tak seimbang. Sebanyak 20 ribu tentara di bawah komando Letjen Kuribayashi harus melawan 100 ribu lebih personel AD, AL, dan AU Amerika Serikat. Berkecamuknya perang Iwo Jima membawa kerugian besar di kedua pihak. Di antara sekitar 20 ribu tentara Jepang, hanya 1.083 yang ditemukan hidup dan ditawan AS. Sedangkan AS kehilangan sekitar 20 ribu tentara yang gugur di Iwo Jima (Perang Pasifik: 2001).  
Letters from Iwo Jima mengalir lewat pandangan dua tokoh. Yakni, Saigo, seorang prajurit rendahan dan Letjen Kuribayashi, sang komandan. Selama bertugas di Iwo Jima, dua tokoh itu selalu terkenang kepada keluarganya. Di antara usaha mereka untuk bertahan hidup, mengalirlah ucapan-ucapan cinta pada keluarga melalui surat-surat yang mereka tuliskan berteman remang cahaya.
Saigo selalu mengawali suratnya dengan menyebut nama istrinya, Hanako. Sedangkan Letjen Kuribayashi yang diperankan oleh aktor Jepang Ken Watanabe mengawali tulisannya dengan menulis nama anak lelakinya, Taro. Menjelang pertempuran ”penghabisan”, para prajurit Jepang, termasuk Letjen Kuribayashi menuliskan surat-surat yang berisi kerinduan kepada keluarga dan sanak famili mereka. Surat-surat itu dimasukkan ke dalan kantong-kantong yang disediakan di dalam terowongan. Letjen Kuribayashi memerintahkan Saigo untuk menyimpannya.
Kuribayashi akhirnya gugur dalam pertempuran yang hebat itu. Sedangkan Saigo dikisahkan tertawan oleh pasukan Amerika Serikat. Film tersebut ditutup dengan adegan penemuan kantong yang berisi surat-surat para tentara Jepang pada 2005. Satu per satu surat usang itu jatuh, membawa tangkup cinta yang sangat besar untuk keluarga di rumah, yang terpisah jauh dari Iwo Jima.
Perang memang menjanjikan kekejaman, kehancuran, dan hanya menyisakan kesedihan. Namun, masih ada sisi humanisme yang terpancar dari tiap peperangan. Orang tentu tak menginginkan perang terjadi. Namun, obsesi berkuasa dari segelintir pemimpin terkadang menjadi penyebab berkecamuknya perang.
Pesan lainnya, Letters from Iwo Jima menunjukkan bahwa kegiatan menulis setidaknya mampu mengobati kerinduan terhadap orang-orang terdekat dan terkasih. Menulis itu menyembuhkan. Sebagaimana dituliskan oleh Saigo dalam sebuah adegan. ”Hanako, aku tidak tahu surat ini akan sampai atau tidak kepadamu. Tapi, setidaknya, menuliskannya sudah cukup menghiburku…”

Graha Pena, 31 Agustus 2010

Tidak ada komentar: