Tuhan (Bisa) Terbunuh di Sekolah

Oleh Eko Prasetyo

Gott ist tot! (Tuhan sudah mati!). Ungkapan terkenal itu ditegaskan oleh filsuf asal Jerman Friedrich Nietzsche (1844–1900). Kalimat tersebut kali pertama muncul dalam Die frohliche Wissenschaft dan buku klasik Nietzsche Also sprach Zarathustra (Wikipedia).

Sejak kemenangan renaissance, sekularisme merupakan kemuliaan. Sekularisme adalah bukti kebebasan, bukti terbebasnya masyarakat Barat dari belenggu gereja (agama). Nah, salah seorang filsuf Barat, Nietzsche, menegaskan bahwa Tuhan itu tidak ada. Jikalau ada, Dia harus dibunuh. Karena itu, Nietzsche memproklamasikan dan mengumumkan kematian Tuhan.

Kita Lebih Barat ketimbang Barat

Dalam pelajaran agama, alam raya ini disebutkan diciptakan oleh Allah. Segala hal yang terjadi di dalamnya pun atas kehendak dan kekuasaan Allah. Jika Dia sudah berkehendak dengan hanya berkata ”Kun!” (jadilah!), ”fayakun” (maka terjadilah ia).

Hal itu tentu bertolak belakang dengan nilai yang ditawarkan pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA). Dalam IPA, alam raya diulas dengan detail dan dalam. Namun, jangankan kata ”Allah”, kata ”Tuhan” saja tidak ada di dalamnya. Dalam kurikulum warisan penjajah ini, alam raya ada bukan karena peran Tuhan, tetapi proses alam itu sendiri. Sebuah bukti betapa sekulernya kurikulum warisan penjajah tersebut. Namun, bagi Barat, ini bukanlah cacat. Salah satunya seperti diungkapkan oleh Nietzsche.

Tuhan seperti tidak dibutuhkan dalam buku-buku pelajaran. Pernyataan bahwa setiap orang berdosa akan masuk neraka adalah pernyataan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris. Karena itu, pernyataan tersebut tidak memenuhi syarat sebagai kebenaran. Inilah yang menyebabkan pelajaran IPA hanya terhenti pada banjir dan longsor ketika menyinggung penggundulan hutan.

IPA tidak bicara murka Tuhan dan ancaman siksa neraka bagi mereka yang telah merusak alam. Sebab, IPA yang seperti diajarkan sekarang adalah produk Barat yang lahir dari rahim empirisme dan sekularisme.

Tuhan seolah terbunuh di situ. Membunuh Tuhan tidak perlu dengan mencari-Nya, lalu memancung-Nya. Membunuh Tuhan adalah meniadakan peran-Nya dalam kehidupan ini. Semua fenomena harus dimaknai sebagai gejala alam, bukan perintah Tuhan.

Itulah yang dijejalkan sebagai makanan harian anak-anak kita lewat pelajaran-pelajaran yang diwariskan oleh penjajah. Praktisi pendidikan yang concern pada madrasah dan pesantren, Abdullah Munir, menyebut itu sebagai asupan yang mematikan keimanan (Catatan Guru, 2009).

Tak heran, di negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini, implementasi keimanan dalam kehidupan nyata boleh dikatakan nol. Bahkan, kita lebih Barat ketimbang negara Barat itu sendiri. Korban utama dari kontradiksi ini tentu para siswa.
Setelah lulus, bisa jadi kepribadian mereka akan terbelah. Maka, jangan heran apabila banyak terjadi kasus kekerasan dan kriminalitas yang melibatkan pelajar.

Sebab, banyak kontradiksi yang telah mereka dapatkan.
Tidak ada pemisahan dan dikotomi antara pandangan duniawi dan ukhrawi dalam kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan. Padahal, bagi muslim, dunia ini adalah ladang untuk hidup di akhirat.

Graha Pena, 9 Agustus 2010

Tidak ada komentar: