Memahami Kemampuan

Oleh Eko Prasetyo

Be thankful for what you have, you’ll end up having more. If you concentrate on what you don’t have, you will never, ever have enough.
Hargailah segala yang kau miliki, Anda akan memiliki lebih lagi. Jika Anda fokus pada apa yang tidak anda miliki, Anda tidak akan pernah merasa cukup dalam hal apa pun.
(Oprah Winfrey)

***

Beberapa waktu lalu bibi saya tampak uring-uringan. Dia mengeluhkan sikap anak bungsunya yang kini duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Adik sepupu saya tersebut dinilai malas-masalan belajar. Akibatnya, nilai ulangan hariannya jeblok. Hal yang sama terjadi pada hasil ulangan tengah semester. Warna tinta nilai pada kertas ulangannya nyaris merah semua.

Di sisi lain, paman saya justru mengeluhkan tindakan bibi saya. ”Bibimu itu sering ngomel kalau anak-anak mau berangkat kuliah dan sekolah,” ujar paman saya. Saat malam pun, lanjut paman saya, rumahnya serasa kapal yang diserang badai. Ribut.

Penyebabnya, bibi saya muntap (baca: marah) jika anak-anaknya tidak mau belajar. Hari-hari berlangsung seperti itu, terkecuali hari libur.

Tak jarang, tindakan bibi saya tersebut memicu keributan, baik dengan sang suami maupun anak-anaknya. ”Bikin stres pokoknya,” tutur paman saya. Di satu sisi, bibi saya mengaku bersikap seperti itu demi kebaikan anak-anaknya. Di sisi lain, paman saya punya pandangan berbeda. Menurut dia, anak tak perlu dibentak-bentak saat hendak belajar ataupun ketika berangkat ke sekolah/kampus.

Saya bisa memahami kekhawatiran orang tua seperti bibi saya tersebut. Adik sepupu saya itu, yang notabene anak bungsu bibi, memang agak ”kurang” di bidang akademis. Dia lebih menyukai belajar musik ketimbang membaca buku pelajaran. Pergaulannya pun lebih banyak dihabiskan dengan teman-temannya yang sehobi.

Bahkan, pada usia ke-16 tahun, adik sepupu saya itu dikabarkan sudah punya pacar (mungkin lebih pas disebut cinta monyet). Inilah yang menambah kekhawatiran bibi saya. Ia tak mau masa depan si bungsu berantakan hanya karena tak mau belajar, hanya main band, dan pacaran.

Ketika itu, si bungsu tak ada di rumah. Saya lantas memberikan saran kepada bibi untuk bersikap tenang. Saya meminta beliau untuk tidak mengumbar emosi di depan anak. Apalagi, remaja umumnya tak bisa ”ditaklukkan” dengan marah-marah. Terkadang, kian dibentak, si anak bisa kian berani untuk melawan.

Memang, tak mudah untuk menanamkan kesadaran kepada anak yang beranjak remaja. Media, teknologi, dan lingkungan bisa memberikan pengaruh terhadap perilaku dan tindakan anak, termasuk sikap mereka kepada orang tua.

***
Suatu sore, saya menemui adik sepupu saya tersebut. Saya ingin berusaha menengahi bibi dan adik sepupu saya itu. Tentunya, saya memperbincangkan masalah tersebut dengan adik sepupu saya itu dalam situasi santai.

Saat situasi mulai tenang, saya menanyakan alasannya malas belajar dan sering membangkan ibunya. Dia tak menampik kesal terhadap ibunya. ”Sebab, ibu sering membandingkan aku dengan si A,” ujar adik sepupu saya itu.

Si A yang dimaksud adalah anak teman bibi saya, yang masih satu perumahan dengannya. Si A kebetulan menempuh pendidikan di sebuah sekolah negeri yang favorit. Ia memang dikenal pandai dalam hal akademis. Ia juga aktif di beberapa ekstrakurikuler di sekolahnya. Tak jarang, ia meraih prestasi demi prestasi, baik di bidang akademis maupun ekstrakurikuler. Inilah yang bibi saya merasa iri melihat si A yang pintar itu.

Gambarannya, oleh ibunya, adik sepupu saya kerap dimarahi sambil dibanding-bandingkan dengan si A. Tentu saya adik sepupu saya kesal. Dia melawan dengan bersikap tak mau belajar.

”Aku nggak kerasan di rumah, dimarahin terus sih,” keluhnya. Saya menghela napas. Adik sepupu saya tidak salah, demikian pula si ibunya. Saya lantas mengalihkan topik pembicaraan dan mengajaknya untuk bersantai di tempat lain serta berjanji mengingatkan bibi saya.

***
Kita memang kadang terjebak oleh keinginan yang terlampau tinggi tanpa melihat kemampuan untuk bisa menggapainya. Kadang pula kita berusaha memperbandingkan kemampuan seseorang dengan orang lain. Padahal, jelas kemampuan tiap orang berbeda-beda, baik kemampuan akademis maupun nonakademis.

Dalam suatu kesempatan, saya mengajak adik sepupu saya keluar untuk makan-makan di sebuah restoran cepat saji. Saya memuji skill bermusiknya. Dia tampak antusias, lalu bercerita banyak tentang hal-hal berbau musik khas anak band. Setelah makan, saya mengajaknya mampir di sebuah toko buku dan membelikannya buku musik. Raut mukanya menampakkan kegembiraan.

Saya berharap dia mengkhatamkan bacaannya dalam buku tersebut. Lebih dari itu, saya menyimpan asa lain. Yakni, berharap dia mulai menyukai membaca, membaca buku apa saja. Tak ada kata terlambat kan?

Graha Pena, 24 Agustus 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: