Orang Lain Nggak Tau, Lha Allah?

Oleh Eko Prasetyo

Berpuasa memang nikmat, tapi banyak tantangannya. Sekadar menahan lapar dan haus saja pasti banyak yang mampu. Beda halnya jika melawan godaan hawa nafsu. ”Itu yang susah banget!” kata seorang teman saya.

Bulan suci Ramadan memang sangat spesial. Setiap malam, tampak salat Isya dan Tarawih berjamaah, terdengar lantunan orang bertadarus Alquran, dan aktivitas iktikaf pada sepuluh malam terakhir Ramadan. Pemandangan yang tidak selalu bisa kita lihat setiap hari. Subhanallah indahnya Ramadan.

Nah, esensi ibadah shaun (puasa) Ramadan yang menahan diri dari segala penyakit hati seperti riya, sombong, ghibah, dan lain-lain itu tidak mudah. Apalagi di tengah gempuran tayangan televisi yang kebanyakan tidak edukatif. Misalnya, sinetron yang melecehkan ortu dan guru ataupun acara komedi yang diwarnai ejek-mengejek kekurangan seseorang.

Ternyata, bertempur melawan hawa nafsu memang tidak mudah. Seorang kawan berbagi pengalaman tentang hal itu. Pada saat siang yang terik di kawasan lumpur Lapindo, Sidoarjo, dia bersama beberapa kawannya terjebak macet dekat pintu masuk tol Porong.

Kawasan Sidoarjo siang itu memang cukup panas. Terik matahari menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi orang yang tengah menjalankan ibadah puasa. Ditambah kondisi sekitar lumpur Lapindo yang gersang dan arus lalu lintas yang macet, lengkaplah tantangan tersebut.

Di dalam mobil kawan saya tersebut, semua penumpang mengeluhkan terik matahari yang bukan main itu. Apalagi, mobil itu tidak dilengkapi pendingin. Di sinilah ujian dimulai. Ketika perut sedang berdendang keroncong, suasana kian penat karena jalanan macet dan cuaca panas. Salah seorang menceletuk, ”Mokel (batalin puasa) aja yuk!”

Semua tercenung dan saling memandang mendengar usulan itu. Ragu. Tak urung, terjadi perdebatan sengit di dalam mobil itu. Di antara sekitar enam orang, lima ragu dan satu tetap teguh untuk meneruskan puasanya.

Yang ragu merasa bahwa mereka seakan tak kuat lagi untuk meneruskan puasa dalam terik matahari dan kondisi macet panjang itu. Sedangkan yang keukeuh puasa merasa bahwa ini hanya ujian kecil.

Topik pembicaraan di dalam mobil pun berubah. Lima orang sibuk mengobrolkan tentang rencana makan di suatu tempat. Salah seorang mengusulkan makan seafood. Usul itu diamini lainnya, kecuali satu orang yang menolak tadi.

Akhirnya, ketika memasuki Kota Sidoarjo, mobil benar-benar berhenti di sebuah restoran. Lima orang tadi sudah bersepakat untuk membatalkan puasa karena merasa tak kuat lagi setelah sebelumnya terjebak macet di bawah terik sang surya.

Jadilah mereka mokel berjamaah. Satu orang yang menolak tak kuasa menahan keinginan teman-temannya itu. ”Ayolah, nggak ada yang tahu ini. Sekali ini aja mokelnya. Kan bisa dibayar nanti pas udah Lebaran,” rayu teman-temannya. Meski lemas, dia tetap melanjutkan puasanya, sementara teman-temannya tengah menikmati menu masakan laut.

”Mungkin orang lain nggak tau, lha Allah?” Begitu dia menguatkan hatinya untuk meneruskan puasanya. Sore segera beranjak petang. Azan magrib pun berkumandang. Dia bersuka cita menyambutnya dengan meneguk segelas teh manis. Kebahagiaan yang tak bisa diukur dan dibayar dengan apa pun...

”Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az Zumar: 10)

Graha Pena, 18 Agustus 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: