Oleh Eko Prasetyo
Orang awam menyebut guru sebagai kepanjangan digugu dan ditiru. Otomatis, ucapan dan nasihatnya digugu. Sedangkan sikap, perilaku, dan tindakannya akan ditiru. Dengan demikian, guru diharapkan menjadi teladan bagi para muridnya.
Karena itu, tak mudah menjadi guru. Bahkan, menurut saya, guru adalah salah satu sosok yang perfeksionis. Maksudnya, tugas dan tanggung jawab seorang guru sangat besar. Kemajuan suatu bangsa pun bisa ditentukan oleh peran vital seorang guru dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas.
Dengan tuntutan yang sedemikian berat itu, sudah pasti seseorang harus bijak dan serius jika hendak menempuh jalan hidup sebagai guru. Menjadi guru tidak boleh asal-asalan. Lebih dari itu, jangan menjadikan profesi guru sebagai sebuah pelarian.
Faktanya, sejak sertifikasi diterapkan pemerintah, banyak hal kebablasan. Banyak orang tertarik terjun ke dunia guru. Ini mungkin positif, mengingat Indonesia memang membutuhkan banyak guru andal. Masalahnya, tak sedikit yang menjadikan profesi mulia itu sebagai pelarian.
Besarnya gaji guru PNS plus tunjangan pendidik (TPP) cukup menggiurkan. Namun, hal itu belum diimbangi kesadaran akan kompetensi dan kemampuan. Salah satu kebablasan yang nyata adalah banyaknya guru yang membuat karya tulis jiplakan demi lupus sertifikasi. Bahkan, di Riau, pangkat sekitar 1.700 guru golongan 3B diturunkan menjadi 3A karena kasus itu (JPNN, 31/1/2010).
Pemerintah sebenarnya bukan tanpa tindakan tegas. Buktinya, guru disyaratkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya. Salah satunya, mengadakan pelatihan-pelatihan untuk mengembangkan kompetensi tenaga pendidik.
Di luar itu, pemerintah gencar mengampanyekan pendidikan karakter. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi berbagai kasus yang bisa mencoreng dunia pendidikan. Misalnya, kekerasan di lingkungan sekolah, pelecehan seksual, kasus tindakan mesum, dan lain-lain yang bertentangan dengan norma agama dan masyarakat.
Senyampang dengan tema tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah pesan bagus yang diambil dari sebuah tulisan Abdullah Munir, penulis buku best seller Spiritual Teaching. Yakni, seorang kuli bangunan boleh saja membeli bakso dan menyantapnya di trotoar. Namun, seorang guru tidak boleh melakukan hal demikian. Sebab, dia harus menjaga muruah (kehormatan/nama baik) sebagai guru.
Saya terkesan dengan pesan itu. Tidak hanya pada substansinya, tapi juga contoh yang diberikan. Guru tidak hanya harus amanah. Lebih dari itu, guru pun semestinya dapat menjaga kehormatan dan nama baik profesi mulia yang diembannya tersebut.
Memang, tidak ada yang melarang guru untuk makan bakso di trotoar atau sekadar merokok di luar sekolah. Kendati demikian, muruah sebagai guru mesti dikedepankan. Pasalnya, segala ucapan dan tindakannya bakal dicontoh oleh anak didiknya. Bisa dibayakan bila murid melihat sang guru merokok. Tentu si murid bisa saja mencari pembenar apabila dia ikut-ikutan merokok seperti gurunya.
Jelas sudah, menjadi guru benar-benar tidak mudah, tidak boleh main-main. Salah satu hal yang bisa dirasakan membatasi adalah menjaga muruah (nama baik) sebagai guru. Sebagaimana pepatah ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, tindak tanduk guru bukan tidak mungkin bakal dicontoh oleh sang murid. Maka, menjaga kehormatan guru adalah keharusan, tanpa pamrih apa pun.
Di belakang murid hebat, selalu ada guru hebat...dan terhormat...
Graha Pena, 5 Agustus 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id
Gurusiana
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar