Kejujuran Menulis Toni Morrison


Oleh Eko Prasetyo

Bila Anda ingin sekali membaca sebuah buku, tetapi belum ada yang menulisnya, Anda harus menulis buku itu.
~Toni Morrison~

*****
Beloved is indeed a work of genius. No other American novel of the past 25 years has so elegantly mapped the psychobiography of its ideal reader.” Demikian ulasan Stephen Metcalf. Pujian itu kiranya tidak berlebihan. Sebab, Toni Morrison mampu menyentak dunia pada 1987 lewat novelnya, Beloved, yang bercerita tentang perbudakan dan pembunuhan bayi orang negro.
Berkat novel tersebut, Toni Morrison menyabet hadiah Nobel di bidang sastra. Ia sekaligus menjadi wanita kulit hitam pertama Amerika yang meraih nobel. Novel tersebut bercerita tentang sebuah rumah yang disebut hanya dari nomornya, 124. Novel itu juga berkisah tentang Beloved, si hantu dari masa silam, Sethe yang membunuh anak sendiri, dan Baby Suggs yang berharap.
Budayawan Goenawan Mohammad tak ketinggalan memuji novel Beloved ini. Goenawan mengatakan, jika ada yang magis dalam novel Toni Morrison, itu adalah Beloved. Sebab, ia mengingatkan kita akan arti ”daging.” Yakni, daging yang pernah dirantai perbudakan, dicap seperti ternak, dan dihina dalam apartheid. Daging ”negro”.
Ya, sebagai perempuan berkulit hitam, Toni Morrison mendorong kaumnya untuk melakukan kiprah di dunia menulis dan seni lainnya. Dia pernah menjadi anggota National Council untuk sastra dan American Academy and Institute of Arts and Letters.
Dikutip dari majalah Tempo, pada 1977 Morrison memublikasikan Song of Solomon. Karya tersebut menjadi novel pertama yang ditulis oleh orang Afro-Amerika yang dipilih sebagai book of the month club sejak 1940, saat Richard Wright muncul dengan Native Son.
Morrison beralih menjadi penulis penuh pada 1983. Itu terjadi setelah dia memutuskan keluar dari Random House sebagai editor. Karirnya benar-benar menanjak pada 1988 ketika meraih Pulitzer untuk novel Beloved. Sebuah novel yang mengguncang banyak penikmat sastra dan membuka kembali sejarah tentang perbudakan kaum negro.
Penyair Agus Sarjono punya pandangan berbeda. Bagi dia, Toni Morrison memberikan warna baru dalam khazanah menulis. Dia menerapkan bahasa bertutur dalam tiap tulisannya sehingga karya-karyanya memiliki daya tarik tersendiri (Tempo, 25/1/2010). Banyak bahasa gaulnya, demikian kata Agus Sarjono. Justru karena itulah karya tulis Toni Morrison memiliki daya magis: menyihir pembacanya untuk mengikuti alur cerita sampai habis bis bis bis.
Morrison berjuang dengan kejujuran. Kejujuran itu pun ia terapkan dalam tiap karyanya, termasuk novel fenomenalnya, Beloved. Ia hendak memperjuangkan kaumnya, negro, yang dianggap minoritas dan tertindas hingga abad ke-20. Sebagai penulis, dia mengungkapkan kegalauan dan kemarahannya dalam novel Beloved.
Menurut Goenawan Mohammad, marah juga punya daya tersendiri. Marah bisa seperti Beloved, hantu dari masa lalu, roh si upik yang terbunuh, wakil 16 juta budak yang mati di sebuah "holocaust" yang tak pernah disebut "holocaust". Marah bisa membuat sejarah.
Semuanya diungkapkan dengan jujur dan apa adanya oleh Toni Morrison, wanita yang teguh berjuang lewat tulisan. Dan sejarah pun lahir dari tulisannya.

Graha Pena, 26 Agustus 2010

Tidak ada komentar: