Yakin Allah Pasti Melihatnya


Oleh Eko Prasetyo

Berkali-kali ucapan bodoh mengarah kepada saya. Sesekali ada umpatan di situ. Saya tak menggubris atau berusaha mengelak. Diam saja.

Mereka adalah teman-teman saya. Saat itu, kami berkumpul bersama di kantin. Di sela-sela itu, saya bercerita telah menemukan sebuah tas kecil pagi sebelumnya. Saya menemukannya di pelataran parkir mobil dekat kantor.

Semula, saya berpikir untuk melaporkannya ke petugas parkir. Namun, saat itu suasana sedang ramai di halaman depan gedung. Sebab, ada kegiatan pelatihan memadamkan kebakaran. Pesertanya adalah petugas sekuriti, office boy, termasuk petugas parkir. Pantas jika saat itu saya tak menjumpai seorang petugas pun di dekat area parkir mobil.

Saya bawa saja tas hitam tersebut ke kantor. Kemudian saya beranikan diri untuk membuka dan mencari tahu kartu identitas si pemilik. Tas itu berisi dompet, alat rias, dan kosmetika. Di dalam dompet, saya menemukan apa yang saya cari, yaitu kartu identitas si pemilik. Seorang perempuan keturunan Tionghoa. Terdapat beberapa kartu kredit di sana serta lembaran uang senilai total Rp 2,3 juta.

Setelah mengetahui alamat si pemilik, saya berusaha menghubunginya lewat telepon. Si pemiliknya yang menerima langsung. Dengan suara ramah, dia menanyakan keperluan dan nama saya. Saya lalu menjelaskan penemuan tas dan dompet itu. Di seberang suaranya tampak gembira. ’Ibu bisa mengambil di kantor saya,” ujar saya.

Begitu bertemu, dia mengambil tasnya dan bermaksud memberi saya uang terima kasih. Saya menolaknya. Dia memaksa dan saya tetap menolaknya. Namun, karena terus dipaksa, saya akhirnya menerimanya. Nominalnya cukup lumayan untuk ukuran karyawan rendahan seperti saya. Uang itu akhirnya saya masukkan ke kotak amal di musala kantor.  

Selesai bercerita tentang kejadian tersebut, teman-teman masih mencibir tindakan saya. Mereka menyayangkan sikap saya yang membuang peluang ”emas” itu. Ya, saya bisa saja mengambil barang berharga di dalam tas itu, lalu ngeloyor pergi dan meninggalkannya. Apalagi, si pemilik adalah warga keturunan dan tidak seiman.

Selain yakin bahwa Allah melihat kejadian pagi itu, saya berusaha memosisikan diri sebagai perempuan Tionghoa tersebut. Entah bagaimana perasaan saya jika kehilangan surat-surat berharga atau catatan utang. Apalagi, utang sampai mati pun tetap akan dicatat oleh-Nya.

Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kau dustakan?” (QS Ar Rahman)

Surabaya, 13 Oktober 2010


Tidak ada komentar: