Akhirnya Dia Dapat Mencium Hajar Aswad


Oleh Eko Prasetyo

Rumahnya hanya empat blok dari kediaman lama orang tua saya di Bekasi. Si empu rumah juga sangat akrab dengan keluarga kami, bahkan sudah seperti famili. Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dengan tempat itu. Pekarangannya dibiarkan kosong tanpa tanaman, hanya ada dua pohon berukuran sedang. Namun, dari sang pemilik rumah, saya mendapatkan motivasi yang luar biasa.
Ya, saya akhirnya bisa bersua kembali dengan si pemilik rumah tersebut setelah beberapa tahun tidak pulang kampung. Silaturahmi.
Sore itu, kami kebetulan bertemu di musala dekat perumahan kami. Setelah salat Asar berjamaah, kami ngobrol sembari berjalan pulang. Saya diminta mampir ke rumah beliau, sebut saja Pak Din. Permintaan itu saya penuhi.
Di sela-sela obrolan, beliau menuturkan pengalamannya dari tanah suci Makkah. Tentu saja saya tertarik mendengarkannya. Apalagi, sudah lama saya memendam keinginan untuk bisa menjadi tamu Allah dengan menunaikan ibadah haji (semoga Allah memperkenankan niat ini, amin).
Sehari-hari Pak Din dan istrinya berdagang dan punya lapak di sebuah kawasan grosir di Jakarta. Pria asal Padang, Sumatera Barat, itu dikenal sangat religius di lingkungan kami. Kendati bisa dikatakan pedagang yang berhasil, Pak Din tetap rendah hati. Sederhana.
Sesampai di rumah beliau, obrolan berlanjut. Dia menuturkan sudah lama ingin bisa berhaji. Karena itu, sedikit demi sedikit dari penghasilannya ditabung untuk berangkat ke tanah suci. Asa tersebut akhirnya terwujud. Pak Din bersama istrinya dapat berangkat Makkah.
 ”Sungguh, saat itu saya sangat ingin mencium hajar aswad,” ucapnya. Namun, lanjut dia, tampaknya keinginan tersebut sulit terwujud. Sebab, selain menjaga istrinya agar tidak terpisah, Pak Din kesulitan mencapai titik terdekat batu yang konon berasal dari surga itu.
Namun, hasrat untuk dapat mencium batu hitam tersebut sudah sedemikian besar. Mumpung berada di Kakbah. Kapan lagi bisa berangkat ke tanah suci? Begitu yang terlintas di benak Pak Din saat itu.
Maka, dia mengutarakan maksudnya tersebut kepada sang istri. Sang istri hanya mengisyaratkan kebingungan. Pasalnya, saat itu lebih dari dua juta manusia berkumpul di Kakbah dalam rangkaian ibadah haji. Berdesak-desakan itu pasti. Karena sulit menerobos barisan terdepan lautan manusia tersebut, banyak jemaah yang mencium jauh hajar aswad. Bismillah wallahu akbar. Bismillah wallahu akbar. Bismillah wallahu akbar. Suatu pengalaman yang luar biasa.
Melihat lautan manusia yang juga berebut dan berusaha mencium hajar aswad, Pak Din jadi bimbang. Sempat terlintas untuk mencium jauh saja. Pada saat sudah pasrah, dia berdoa sejenak. Memohon kepada Allah azza wajalla untuk diperkenankan mencium secara langsung batu hitam itu.
”Saya benar-benar pasrah waktu itu, Mas. Jikalau tidak bisa mencium langsung, ya nggak apa-apa. Saya sudah sangat bersyukur,” ucapnya.
Namun, tak disangka, ada seorang jemaah bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam mendekat Pak Din. Jemaah yang diduga berasal dari Afrika itu menawarkan diri kepada Pak Din untuk naik ke pundaknya. Pak Din tak menampik tawaran tersebut.
Sejurus kemudian, badannya diangkat ke pundak dan Pak Din berjalan cepat menginjak di atas pundak-pundak jemaah lain. Berhasil! Dia akhirnya mampu menuju hajar aswad itu dan menciumnya. Bismillah wallahu akbar. Setengah tak percaya, Pak Din menangis haru dan tak henti-henti mengucapkan hamdallah sebagai rasa syukur karena doanya terkabul. 
Dia lantas bergegas kembali dan mencari istrinya. Akhirnya mereka bertemu setelah sekitar setengah jam saling mencari. Pengalaman spiritual itu membekas hingga kini di benaknya. Membuatnya selalu merindukan untuk kembali ke tanah suci Makkah. Sampai obrolan berakhir, saya masih terngiang-ngiang kisah hebat tersebut. Dengan mengucap lirih, saya berharap suatu saat pun bisa berhaji. Labaik Allahumma labaik… Kami penuhi panggilan-Mu, ya Allah. 

Graha Pena, 10 Desember 2010

Tidak ada komentar: