Rp 5 Ribu untuk Murid ”Terbelakang”

Oleh Eko Prasetyo

Ini terjadi ketika saya masih duduk di kelas 2 di sebuah SMU di Bekasi Timur. Tak terlalu istimewa, tapi membekas hingga sekarang. Jamak terjadi di kelas kami, juga kelas-kelas lain, perhatian guru kerap tertuju pada siswa yang duduk di depan. Konon, siswa yang duduk di bangku paling depan adalah siswa bermental baja. Artinya, mereka mesti siap ditunjuk untuk maju ke depan kelas, menjawab soal yang tertera di papan tulis.

Karena itu, saat kenaikan kelas, dari kelas 1 ke kelas 2, saya dan beberapa teman lain berebut untuk memilih duduk di bangku tengah yang lebih netral. Namun, saya ternyata mendapatkan kursi paling belakang. Sialnya, teman satu bangku saya secara akademis agak ”kurang”. So, kalau hendak nyontek atau menanyakan jawaban soal ulangan, saya pasti kesulitan. Apalagi jika tidak belajar pada malam sebelumnya. Ya, saat itu (mungkin juga masih terjadi saat ini), kami kebanyakan hanya belajar jika ada ulangan keesokan hari. Metode belajar lainnya adalah sistem kebut semalam alias SKS. Alhasil, setelah ulangan, nilai kami rata-rata jeblok.

Menjelang akhir semester pertama, tibalah saat ujian akhir semester. Dua minggu sebelumnya, salah seorang guru kami yang bernama Pak Tri mengimbau kami semua untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya dan meninggalkan metode belajar SKS. Beliau mengampu pelajaran bahasa Inggris. Kami biasa memanggilnya Mr T. Orangnya cukup asyik dalam mengajar. Berbeda dengan guru kebanyakan yang memberikan perhatikan lebih pada murid tertentu (khususnya yang pintar), Mr T tidak demikian. Mr T dikenal dekat dengan semua siswa, baik yang pandai maupun yang malas.

Mr T juga dikenal tak pilih-pilih dalam memperlakukan para siswa. Beliau pun telaten menjelaskan setiap materi kepada siapa pun muridnya. Sikap yang demikian membuat siswa yang agak ”bebal” seperti saya tidak takut untuk bertanya. Tidak ada dikotomi perhatian kepada siswa yang pandai dan malas.

Pada jam pelajaran lain, misalnya, ada seorang guru yang menghardik murid yang bertanya. Si murid justru dianggap malas membaca karena pertanyaan itu. Kebetulan, si murid penanya berkemampuan akademis sedang. Akibatnya, jarang ada teman yang mau bertanya pada guru itu lagi.

Di kesempatan lain, ada guru yang suka sembarangan/sembrono memanggil murid. Pemanggilan itu berdasar fisik si murid. Misalnya, jika murid tersebut berkulit hitam, sang guru memanggilnya si item (hitam). Kalau si murid bertubuh tambun, dia bakal dipanggil gendut atau gembrot. Mungkin, bagi teman lain, itu menjadi lelucon. Tapi, bagi murid yang bersangkutan, sebutan yang serampangan tersebut mungkin menyakitkan. Namun, tak ada yang berani menyanggah, melaporkan, atau menegur si guru. Tentunya, hal ini berimbas pada semangat belajar. Kami di kelas sangat merasakannya.

Nah, di kelas Mr T, semua itu tidak terjadi. Hak-hak kami untuk belajar tidak dikangkangi. Ditambah pula beliau lihai dalam memotivasi semangat belajar kami. Satu hal yang paling saya ingat adalah ujian bahasa Inggris pada akhir semester itu. Kalimat beliau yang sangat membekas di memori saya adalah ”Jangan pernah takut salah.”

Ketika ujian dimulai, kelas sunyi. Tidak seperti biasanya, murid-murid senyap dan konsentrasi. Kami sangat percaya diri dalam mengerjakan tiap butir soal. Padahal, Mr T tidak ada kelas saat itu. Kami mengerjakan soal ulangan tanpa pengawasan beliau dan tidak ada yang menyontek. Langka! Pasalnya, setiap musim ujian, kami sibuk dengan kegiatan menyontek. Kepercayaan dan sikap tanggung jawab yang ditanamkan Mr T benar-benar kami aplikasikan saat itu, saat ulangan bahasa Inggris.

Setelah dua hari, hasil ujian tersebut dibagikan. Kami semua berdebar-debar menunggu hasilnya, hasil jerih payah sendiri tanpa menyontek. Ketika itu, yang mendapatkan nilai tertinggi, yakni 8,5, bukan murid yang terpandai di kelas kami. Dia justru murid
”terbelakang” alias yang duduk di bangku paling belakang, yang juga doyan nyontek.

Sebagai bentuk penghargaan atas semangat belajar sehingga dapat nilai bagus, Mr T memberikan uang Rp 5 ribu kepada murid ”terbelakang” tersebut. Tidak ada rasa iri saat itu. Semua puas, semua turut senang. Meski, tak sedikit yang dapat nilai di bawah angka lima. Uang itu nominalnya cukup besar saat itu, apalagi bagi kami yang masih mengemis uang jajan ke pada orang tua. Namun, ada hal lain yang lebih penting. Efeknya begitu membekas bagi kami. Yakni, sebuah motivasi. Ya, saat ini begitu banyak guru yang berprestasi, tapi mungkin tak banyak yang mampu memotivasi.

Graha Pena, 23 Juni 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: