Ibu Guru, Saya Ingin Membaca





Catatan Eko Prasetyo

penulis buku Apa Yang Berbeda dari Guru Hebat





MENGHARUKAN (Sumber: unesa.ac.id)
Malam ini (11/5) saya baru saja menerima buku berjudul Ibu Guru, Saya Ingin Membaca terbitan Unesa University Press (April 2012) dari kompilatornya, Pak Rukin Firda, rekan saya yang juga redaktur senior Jawa Pos. Buku dengan warna latar merah dan putih itu menampakkan gambar seorang bocah SD tanpa alas kaki memamerkan senyumnya yang ceria. Senyum yang menunjukkan optimisme dan harapan untuk meraih masa depan yang indah.

Buku ini bercerita tentang pengalaman para guru muda alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang tergabung dalam program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Baru membaca bab awalnya saja, saya serasa diajak menyusuri medan-medan berat untuk sampai di lokasi para sarjana muda itu mengajar. Misalnya, kisah Nurdiyanto. Pemuda yang kos di Surabaya itu mendaftar program SM-3T dan ditempatkan di SMP Negeri Satu Atap Okatana. Dari Waingapu, jarak yang mesti ditempuh agar sampai di Okatana sebenarnya tidak sampai 100 kilometer. Karena sulitnya medan dan terbatasnya sarana trasportasi yang memadai, jarak yang harus ditempuh dari Waingapu ke Okatana adala 12 jam! Hawa pegunungan yang dingin dan tempat istirahat seadanya membuat Nurdiyanto mesti cepat beradaptasi. Pada awalnya, dia mengalami nyeri di persendian tubuhnya karena kelelahan mencapai sekolah. Untuk tidur pun, ia mesti meringkuk, berjuang melawan hawa dingin yang menusuk.

Namun, kondisi serba terbatas itu tidak membuat para peserta program SM-3T Unesa kendur. Malah sebaliknya, semangat, moral, dan motivasi tinggi mereka tunjukkan. Mereka mengajar demi dedikasinya terhadap anak-anak bangsa yang seolah berada begitu jauuuh di pelosok sana.

Pak Rukin saya kenal sebagai wartawan senior yang menyukai tantangan dan mencintai alam. Tak heran karena pada masa mudanya, beliau tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam (Himapala) Unesa (dulu IKIP Surabaya). Ia tak sekadar menyusun buku ini hanya dengan mengompilasikannya saja, tapi juga terjun langsung ke lokasi tersebut. Ia tak sendiri, tapi bersama rombongan Unesa yang dipimpin Rektor Prof Dr Muchlas Samani MPd serta Koordinator Program SM-3T Unesa Prof Dr Luthfiyah Nurlaela MPd.

Dalam beberapa kesempatan, Pak Rukin menceritakan kondisi para peserta SM-3T di Sumba Timur. Pengalaman mengharukan terjadi tatkala air mata beberapa sarjana muda itu tumpah saat bertemu Prof Luthfiyah. Tempat mereka bisa dikatakan sangat jauh dari layak. Kendati demikian, itu tidak menyusutkan semangat anak-anak muda tersebut untuk berbagai ilmu dengan para generasi penerus bangsa di daerah pelosok tersebut.

Suatu cerita dibagikan oleh Riski, perempuan berjilbab sarjana PGSD yang ditugaskan di SD Ramuk, Kecamatan Pinupahar. Riski suatu ketika mengirimkan pesan pendek ke Prof Luthfiyah dan melaporkan bahwa dia harus berjalan selama 5 jam untuk menempuh jarak ke kecamatan. Ia sebenarnya tidak yakin akan kuat tinggal di sana, namun ia juga tak tega meninggalkan para siswa, kepala sekolah, guru-guru di sana.

Riski mengaku telanjur cinta pada tugasnya mendidik di SD Ramuk. Betapa tidak, serombongan anak-anak berbondong-bondong merajuk kepadanya pada malam hari hanya untuk diajari matematika. Mata Riski pun berkaca-kaca.

”Kami ingin ikut belajar matematika lagi, Bu,” ujar mereka serempak.

”Kalian semua ke sini untuk belajar matematika?” tanya Riski penuh keheranan.

”Ya, Bu!” tegas mereka.

Di saat banyak siswa yang menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit dan jadi momok, mereka justru ingin belajar. Tak cukup pada siang hari, selepas sore mereka datang ke tempat Riski untuk belajar matematika. Spirit Riski untuk mengajar di sana pun kian berlipat ganda. Ia mendidik penuh semangat dan tanpa syarat.

Beda lagi pengalaman Nur Khayati. Ia menerapkan teknik mengajar bahasa Indonesia di kelas VII SMP Negeri Satu Atap. Nur meminta 19 siswanya berdiri membentuk lingkaran dan bergiliran membaca dengan suara lantang. Ternyata, ia justru harus sering menunggu lama karena banyak siswa yang benar-benar belum lancar membaca. Padahal, mereka sudah kelas VII. Tercatata ada 19 siswa yang belum bisa membaca. Di luar dugaan, ketika Nur menutup pembelajaran itu, ada tujuh murid yang mendatanginya.

”Ibu Guru, kami ingin bisa membaca dengan cepat. Ajari kami, Bu,” ucap salah seorang siswa yang mewakili rekan-rekannya yang lain.

Saya kira, siapa pun orangnya dan dari kalangan mana pun mesti membaca buku ini. Sejuta motivasi dan keyakinan untuk menghidupkan asa adalah salah satu alasannya.

Buku ini penuh dengan kisah-kisah mengharukan, namun tidak hendak menjual iba sebagaimana tontonan-tontonan di televisi yang hanya mengejar rating. Kisah para sarjana muda Unesa ini dituturkan secara jujur dan apa adanya dengan bahasa yang ringan dan renyah.

Saya ucapkan selamat dan berterima kasih kepada Unesa serta Pak Rukin Firda atas terbitnya buku ini. Semoga menggugah semua kalangan untuk mendukung pemerataan pendidikan di Indonesia. Di tengah krisis moral yang mendera Indonesia, buku ini adalah oase yang menyejukkan. Yang paling penting, di tengah-tengah kondisi seperti itu masih ada manusia-manusia yang peduli terhadap sesama dan berjuang di bidang yang mulia: pendidikan.  





Graha Pena, 11 Mei 2012