Oleh: Eko Prasetyo
Bagaimana rasanya menjadi guru dengan bayaran Rp 0?
Diam-diam, saya tertarik untuk menyaru menjadi guru. Meski tidak duduk di instansi pendidikan resmi, saya benar-benar terjun langsung memberikan materi kepada beberapa "murid" saya.
Bermodal komputer jinjing berukuran mini, saya memulai mencari "customer" yang tidak lain adalah famili sendiri. Karena masih tinggal bersama kakek, saya mengenalkan ilmu komputer kepada beliau.
Dimulai dari pengenalan tentang peranti lunak dan keras, saya mengarahkannya untuk belajar mengetik di atas kotak kecil bernama laptop tersebut. Melihat antusiasmenya untuk belajar, saya merasa senang dan bersemangat untuk menularkan ilmu.
Kebetulan, kakek masih aktif di kegiatan gereja seperti ikut koor lansia di paroki setempat. Jadi, tiap ada undangan atau menulis surat untuk kolega di Nederland, saya membimbing beliau untuk membuatnya sendiri. Ketika ada salah ketik atau bingung memencet tombol di keyboard, beliau melepas tawa berderai. "Hahaha... Wis sepuh dadi tangane timik-timik," ujarnya.
Berawal dari situ, kakek mulai mempromosikan saya ke tetangga sebelah yang memiliki anak usia pelajar SD dan SMP. "Iku loh, nek sinau komputer karo Eko ae," ucapnya penuh semangat.
Uniknya, bukan anaknya yang tertarik, justru orang tua mereka yang ingin belajar kepada saya. "Wis piro Mas bayarane, sing penting aku isok laptopan. Mosok kalah karo Tukul," tutur salah seorang di antaranya.
Kegiatan padat di kantor tak mengurangi semangat saya untuk menularkan sedikit pengetahuan tersebut kepada "murid-murid" saya tersebut. Pernah, suatu ketika komputer jinjing saya rewel karena masalah teknis. Tampak sekali di wajah kakek dan beberapa tetangga yang mengangsu ilmu memendam kekecewaan. Saya bisa memahaminya. Semangat yang luar biasa.
Saat saya sebutkan bahwa di antara mereka telah mengalami peningkatan, wajah mereka terlihat semringah. Bangga. Ada pula yang bermaksud "menitipkan" anak mereka kepada saya untuk diajari komputer. "Iki gawe bensin sampeyan Mas," ujar seorang bapak sambil memasukkan amplop kecil ke saku baju saya.
Kontan, saya menolaknya. "Kalau ada beginian (uang, Red), saya nggak mau ngajari putra Bapak," tegas saya.
Hari demi hari berlalu. Saya bahagia bisa memperkenalkan teknologi dan membuka jendela di lingkungan tempat saya tinggal sekarang.
Kini, saya kembali bertugas di program Untukmu Guruku 2009 Jawa Pos. Tentu saja, kegiatan itu banyak menyita perhatian, tenaga, dan waktu. Saya jarang bisa berkumpul dengan para "murid" saya tersebut. Rindu rasanya.
Melihat wajah mereka begitu senang, mendengar tawa mereka ketika keliru mengoperasikan komputer, itu menjadi bayaran yang sungguh tinggi bagi saya.
Siang mulai dekat. Sore hendak merapat. Tanah di bumi ini masih datar, tapi semangat saya bagai gelombang. Rp 0 memang tak bisa membeli sebuah ilmu. Namun, bukankah ilmu memang berasal dari sebuah rasa ingin tahu? Ia nol. Kini saya mendapat bayaran yang lebih tinggi daripada sekadar lembaran kertas rupiah. Anda tentu sudah tahu...
Graha Pena, 5 Januari 2009
Publikasi: eramuslim 7 Januari 2009
Gurusiana
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar