Oleh: Eko Prasetyo
Saat membaca dan menyunting salah satu berita kriminal, saya tertegun. Ada seorang istri yang tega membunuh suaminya hanya karena sang suami punya wanita idaman lain (WIL).
Jelang tutup tahun 2008, di Jakarta ada berita serupa, namun lebih mengerikan. Seorang wanita memutilasi suaminya menjadi 13 potongan. Diduga, wanita muda itu memutilasi suaminya karena motif dendam. Wanita tersebut gelap mata karena sang suami kawin lagi meski sudah memiliki tiga istri. Mayat si suami dipotong-potong lalu dimasukkan ke tas kresek. Ironisnya, tas kresek berisi 13 potongan tubuh manusia itu diserakkan di bus Mayasari Bakti. Kontan, peristiwa tersebut sempat menggegerkan Jakarta dan nasional.
Sebegitu beringaskah seorang perempuan jika telanjur memendam kekesalan tak terperi terhadap lelaki yang -mungkin- sebenarnya dicintainya?
Tiap orang tentu tak ingin dikhianati, apalagi disakiti. Karena itu, ketika tahu cintanya dikhianati, seseorang bisa mengakhiri drama hidup ke bunuh diri. Saat sadar dirinya telah dibohongi, seseorang pun dapat berubah menjadi serigala buas yang beringas. Tak kenal kasihan, apalagi jika setan sukses membisikkan bujuk rayu busuknya di hati orang yang merasa teraniaya atau tersakiti.
Mata hati dua perempuan yang saya di atas telah tertutup. Sehingga, keduanya tiba-tiba memiliki keberanian dan kenekatan untuk menghabisi nyawa suami masing-masing. Mungkin, wanita tersebut adalah sedikit di antara banyak orang yang mengalami masalah serupa. Yakni, mereka tak ingin dikhianati oleh sang suami.
Kendati ada pula wanita yang mau dimadu, bahkan rela dipoligami, namun angka yang tak setuju dengan hal itu sangat jomplang dibandingkan jumlah wanita yang ridha suaminya menikah lagi. Memang, masalah hati siapa yang tahu meski lidah berkata setuju?
Meski ada perempuan yang nyata-nyata mau diduakan, ditigakan, dst oleh suaminya, tapi benarkah hati kecilnya membiarkan perhatian dan kasih sayang sang suami terpecah? Antara lisan dan hati terkadang sulit diterka meski di luar menampakkan kekompakan.
***
Jika langit sore sedang memperlihatkan wajah cerah kemerahan, seperti itulah rona nenek saya ketika mendapati dua buah daster baru di atas meja dekat kamar saya. Beliau begitu semringah menerimanya. Saya memang sengaja membelikan dua daster tersebut untuk beliau. Tidak ada maksud apa-apa, tidak pula ada perayaan hari istimewa saat itu. Itu saya lakukan karena saya memang ingin menyenangkan hati beliau.
Beliau tertawa kecil, menampakkan deret gigi yang tak selengkap dulu. Bahagia. Bertahun-tahun saya tinggal bersama nenek, tapi rasa perhatiannya terhadap saya masih sama dengan saat saya kuliah dulu. Tak berkurang sedikit pun! Satu hal yang beliau selalu ingatkan kepada saya, yakni jangan sampai lupa mengucapkan terima kasih kepada orang lain yang telah menolong kita. Dan itu saya camkan betul hingga sekarang.
Dulu, saat belum bergelut dengan stroke, nenek tak jarang menghadirkan menu lezat di atas meja makan untuk saya dan kakek di rumah. Beliau pun sering mengingatkan waktu salat kepada saya. Saya pun membalasnya dengan siap sedia mengantarkan beliau ke gereja pada misa kebaktian tiap Minggu. Perbedaan tak jadi alasan kuat untuk mengindahkan rasa toleransi dan menghargai. Kasih sayang beliau mengalir begitu saja bagai sungai merindu samudera. Romansa.
Pernah, suatu ketika nenek menyeduh kopi untuk saya. Sore sebelum berangkat ke Graha Pena, saya menyeruput kopi tersebut. Namun, kali itu rasanya berbeda dibandingkan hari biasanya. Rasanya tak manis, pahit. Rupanya, nenek lupa menambahkan gula di gelas kopi tadi.
Meski demikian, saya menyembunyikan raut menahan rasa pahit kopi itu.
"Jangan lupa habiskan dulu kopimu sebelum berangkat," seru nenek kepada saya.
"Suwun Mbah," jawab saya sambil berusaha menguatkan lidah ini untuk mengucap kata nikmat meski rasa kopi itu amat getir.
Di kesempatan lain, nenek memasak sup buat kami. Kebetulan, ketika itu saya berkesempatan makan bersama setelah sekian lama jarang makan di rumah. Namun, saat menyantap sup tersebut, untuk kali kedua saya mendapati rasanya ambar, tak seperti dulu. Saya baru mafhum bahwa nenek jarang menaburkan garam pada masakan-masakannya setelah divonis memiliki hipertensi.
"Wuik, sueger Mbah," seru saya, menyembunyikan raut muka menahan rasa ambar sup tersebut.
Kalimat pujian tersebut saya lontarkan untuk mengganti ucapan terima kasih. Tak dinyana, selepas mengucapkan "terima kasih" hari itu, esoknya muncul menu perkedel, telur dadar, dan sambal kecap tersaji. Lebih variatif dan rasanya agak "lebih baik".
***
Memang, ucapan terima kasih -dalam bentuk apa pun- kadang mampu membuat seseorang lebih bersemangat. Sayang, kini sekadar terima kasih saja masih sulit dilontarkan sepenuh hati.
Tak sedikit laki-laki yang alpa mengucapkan terima kasih kepada istrinya. Meski hanya berupa sajian seduhan kopi atau teh tiap pagi, seharusnya para istri tersebut amat pantas menerima kata-kata itu, bukan malah perlakuan yang menyakiti atau bahkan menduakannya dengan perempuan lain.
Mungkin, dua wanita yang membunuh suami mereka hanya gara-gara tak terima jadi korban selingkuh atau poligami tak biasa menerima ucapan terima kasih dari sang suami. Bisa pula itu disebabkan hal lain. Meski demikian, jika ditinjau lebih dalam, pengorbanan wanita jauh lebih tinggi ketimbang lelaki. Pasalnya, kaum Hawa harus merasakan bertaruh dengan maut takkala melahirkan putranya, hal yang tak dirasakan oleh kaum Adam.
Karena itu, sungguh pantas wanita mendapatkan haknya yang bisa membuatnya lebih bergairah, berbahagia, dan bersemangat, yaitu ucapan terima kasih. Mudah dituturkan di lidah, tapi acapkali sukar terlontar karena lupa atau sengaja menilainya tak perlu.
Pagi dini hari di kantor, udara mulai menguap. Surabaya basah karena sepanjang sore tadi gerimis tak henti mengakrabi. Sejuk. Tiap malam, saya menerima pesan pendek di ponsel dari pujaan hati. Perempuan cantik tersebut sekadar mengucapkan terima kasih karena saya sering membangunkannya di malam hari untuk bertahajud. Ucapan tersebut terbukti membuat saya kian bersemangat untuk selalu rajin mengirimkan pesan serupa, mengingatkan salat malam. Rindu berpadu bukan karena kami berdua tak berada di kota yang sama, melainkan sang waktu turut bersuka di saat kami saling berkirim pesan zikir untuk Sang Kekasih yang Maha Penyayang. Jika waktu saja berterima kasih lewat zikir siang hingga malam, pantaskah kita mengabaikannya meski itu sebatas ucapan lirih?
Eko Prasetyo
(ran, ketjup mesra di keningmu)
Publikasi: Eramuslim (14 Januari 2009)
2 komentar:
Rangkaian kata yang amat menyentuh. Meski dituturkan dengan sederhana, namun mampu membuat saya jadi terharu. Salam kenal, ditunggu tulisan-tulisan selanjutnya ya Mas. O, ya... salam untuk istri tercinta...^_^
Ya kita suka lupa berterima kasih, terutama kepada Allah yang memberian begitu banyak karunia dan nikmatnya
Posting Komentar