365 Hari = 1 Buku


Oleh Eko Prasetyo


Menulis buku sulit? Mulai sekarang enyahkan stigma itu. Sebab, dari hal yang sederhana dan pengalaman pribadi saja bisa dijadikan sebuah buku. Syaratnya: mau dan mampu. Mau dalam arti punya kemauan keras untuk belajar, kemauan menghadapi segala tantangan dan hambatan, serta kemauan menjadi lebih baik. Jika semua itu sudah dilalui, niscaya kemampuan akan mengiringi.
Tapi, menulis buku itu kan sulit, apalagi jika nggak nemu-nemu inspirasi. Ya, dalam kondisi tertentu, menggaet inspirasi memang tidak mudah. Karena itu, seorang penulis butuh berkontemplasi: merenung serta menenangkan hati dan pikiran.
Tak bisa dimungkiri, kontemplasi bisa menjadi pengusir kepenatan sejenak. Sebab, otak bakal sulit diajak berkompromi bila berada dalam kondisi kelelahan. Bisa saja mengetik berjam-jam tapi tulisan yang dikehendaki tak kunjung rampung. Jika kelelahan, tak perlu memaksakan diri untuk menulis.
Dalam masa perenungan tersebut, kita berusaha mengembalikan kejenuhan hingga mencapai titik nol. Setelah tubuh dan otak segar kembali, kita dapat melanjutkan aktivitas menulis. Lantas, apa saja yang mesti dilalui ketika hendak menulis buku?  
Siapa pun bisa menulis. Tapi, untuk menulis bagus, belum tentu tiap orang dapat melakukannya. Karena itu, tahapan menulis tersebut perlu dilalui. Tahapan pertama tentu saja melalui hal yang dianggap paling mudah. Menuangkan atau menuliskan pengalaman dan perasaan termasuk dalam kategori ini. Misalnya, artikel refleksi dan kisah nyata si penulis atau orang lain. Biasanya, bahasa yang digunakan di sini tidak terlalu kaku, cair, dan lugas. Bahkan, si pengarang dapat menulis dengan menggunakan bahasa cakapan atau gaul.
Tahapan selanjutnya adalah menulis artikel yang lebih ilmiah. Sudah tentu tahapan ini lebih sulit. Sebab, si penulis dituntut untuk memiliki data yang faktual, analisis yang mendalam, dan bahasa ilmiah populer. Soal tahapan ini tidak akan dibahas panjang lebar di sini.
Kembali ke tahapan yang termudah, banyak kok penulis atau bloger yang menuai sukses sebagai penulis buku melalui tahapan itu. Umumnya, mereka menuliskan pengalaman yang unik, aneh, lucu, mengharukan, dan sebagainya. Bahkan, kadang tema yang diangkat mungkin terkesan remeh-temeh bagi orang lain. Contohnya, Raditya Dika (penulis buku Kambing Jantan), Ahmad Fuadi (Negeri 5 Menara), Asma Nadia (Catatan Hati Seorang Istri), Ria Fariana (Be A Smart Girl), dan banyak lagi.
Beberapa kalangan menyebut, saat ini merupakan era kebangkitan buku. Benar atau tidak data tersebut, setidaknya banyak penulis baru yang hadir memberikan sinyal positif bagi dunia buku di Indonesia.  
Menulis buku pun tidak lagi dipandang sebagai sebuah sambilan. Seorang sahabat saya, Ria Fariana, penulis dan aktivis Forum Lingkar Pena (FLP), bahkan rela keluar dari pekerjaan yang menjajikan penghasilan tetap dan mapan. Dia lebih memilih menjadi penulis buku. Menulis dijadikannya sebuah profesi. Kiranya, banyak orang yang sejalan dengan pemikiran Ria.
Satu tahun terdiri atas 365 hari. Seandainya kita menulis satu lembar saja sehari, dalam setahun akan terkumpul 365 lembar. Dan itu sudah bisa dijadikan buku. Ya, satu hari satu lembar tulisan. Silakan tuliskan apa saja, bisa unek-unek atau bahkan curahan hati. Buatlah alur sedemikian rupa agar menjadikannya sebuah cerita yang menarik dan menggugah. Terlalu lama menunggu 365 hari? Jawabnya: itu tergantung pada sebesar apa kemauan dan usaha Anda. Bisa saja 365 lembar rampung dalam waktu tiga bulan, dua bulan, atau bisa saja cuma dua minggu. Satu hal yang pasti: sukses itu tidak instan.

Graha Pena, 6 Agustus 2010

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mohon ijin untuk memuat ulang gambar bukunya, terima kasih