Warung Kehidupan sebagai Pendidikan Antikorupsi

oleh: Eko Prasetyo

Kejujuran kini ibarat barang langka. Terbukti, krisis finansial global sama sekali tidak membuat para "pembohong" panik. Orang mudah memanipulasi apa saja, di mana saja, serta kapan saja, tanpa tersekat ruang dan waktu. Bohong dapat dilakukan oleh siapa pun. Bisa guru yang berbohong kepada kepala sekolah, murid kepada gurunya, bawahan kepada atasan, ataupun pejabat kepada rakyat.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada orang yang setia bersahabat dengan kejujuran. Alhamdulillah, "kesetiaan" itu kini diwujudkan pada menjamurnya kantin kejujuran di beberapa sekolah, termasuk sekolah di Surabaya. Paling tidak, pendidikan antikorupsi dapat diperkenalkan sekaligus diaplikasikan sejak dini kepada para siswa.

Tak bisa dimungkiri, menghapus korupsi (hasil ketidakjujuran) sama sekali adalah hal yang musykil dilakukan sampai hari kiamat tiba sekalipun. Namun, setidaknya, menahan nafsu ingin memiliki dapat menjadi penetrasi di tengah tinggi budaya konsumtif masyarakat saat ini. Angka si miskin dan si kaya di Indonesia begitu njomplang. Yang kaya raya kadang alpa mengeluarkan sedekah dan zakatnya. Sedangkan yang miskin kadang mudah putus asa, hanya berpangku iba, tanpa mau berusaha.

Karena itu, warung kejujuran paling tidak bisa menjadi media pembelajaran yang baik untuk mengasah rasa tanggung jawab dan memupuk kepekaan sosial siswa. Siswa dapat membeli barang kebutuhannya di warung kejujuran secara swadaya. Artinya, mereka menjadi pelayan bagi diri mereka ketika membeli atau mengambil uang kembalian. Jika nanti ada kekurangan dari hasil jualan, hal itu dapat segera diketahui lewat neraca keuangan yang dikelola pihak sekolah. Sungguh, elemen sekolah sejatinya telah menerapkan model manajemen terapan berupa disiplin. Ini sangat penting!

Sebenarnya berkata atau berbuat jujur itu mudah, tapi juga tak gampang. Lho kok bisa? Ya, coba saja Anda terapkan pada orang-orang terdekat di sekitar Anda. Misalnya, seorang istri bertanya kepada suaminya ketika baru memakai baju baru.
"Bagus nggak, Pak? Ibu cantik nggak kalau pakai baju yang ini?"
Pasti, 99 persen bakal menjawab, "Iya," Padahal, bisa jadi sang istri tidak terlalu cantik atau bajunya mungkin kurang bagus menurut penilaian si suami.

Berkata jujur sesuai hati nurani di saat seperti itu mungkin sulit dilakukan.
Tentunya banyak alasan yang mendasarinya. Di antaranya, mencoba menghargai perasaan seseorang meski kita tak sejalan atau tak suka dengan sesuatu yang dia pakai.
Berbohong untuk kebaikan memang diperbolehkan. Tapi, berkata jujur akan lebih terhormat. Meski, terkadang jujur itu terasa menyakitkan.
Tanpa disadari, kita kadang suka memuji orang lain setinggi langit, tapi tak bisa menghargai diri sendiri. Kadang, kita doyan mencibir kekurangan orang lain, tapi sesungguhnya kita pun gemar menertawakan kelemahan diri sendiri.

Karena itu, bentuk aplikasi pendidikan antikorupsi lewat warung kejujuran patut diapresiasi dan dikembangkan melalui inovasi-inovasi lain. Tiada lain, itu bertujuan mengembangkan jiwa sosial dan rasa tanggung jawab dalam menjaga amanah.

Akhirnya, kita perlu merenungkan kembali sabda Rasululah SAW bahwa salah satu ciri orang munafik adalah berdusta. Maka, sudah seharusnya kita membiasakan diri berbuat dan berkata jujur dalam segala hal. Sebab, semua akan kita pertanggungjawabkan di mahkamah akhirat nanti. Wallahu ’alam.

Dipublikasi: Eramuslim, 25 November 2008

Membaca Adalah Kebutuhan, Bukan Selingan

Oleh: Eko Prasetyo

”Buku adalah teman bicara yang tidak mendahuluimu. Ia teman bicara yang tidak memanggilmu ketika kamu bekerja. Ia teman bicara yang tidak memaksamu berdandan ketika menghadapinya. Ia teman hidup yang tidak menyanjungmu. Ia kawan yang tidak membosankan. Ia adalah penasihat yang tidak mencari-cari kesalahan.” (Ahmad bin Ismail)
Kiranya, tak ada sedikit pun yang bisa saya sangkal dari goresan mutiara di atas. Nyatanya, buku memang sumber ilmu, guru yang tak akan pernah berharap pamrih.

Dulu, saya pernah ditanyai oleh salah seorang redaktur, “Sudah berapa buku yang Anda baca hari ini?” Pertanyaan tersebut saya tafsirkan sebagai suatu perintah agar saya tidak meremehkan salah satu aktivitas ringan tapi penting, yakni membaca.

Memang, saya tak pernah merasa rugi ketika beradaptasi dengan lingkungan membaca. Yang lebih penting, saat kita malu atau enggan bertanya tentang sesuatu yang kita tidak tahu kepada seseorang, kita bisa mendapatkan jawabannya lewat membaca buku.

Di saat banyak orang sibuk ngerumpi sana-sini, bergosip ini-itu, membahas kapan gaji naik atau kapan tunjangan cair, membicarakan keburukan atau kekurangan orang lain, serta menggunjing hal-hal tak terpuji, kegiatan membaca menjadi suatu hiburan lain yang mampu menetralkan suasana. Membaca apa pun, mulai kitab suci, buku, koran, hingga majalah. Membaca adalah media komunikasi antara kita dan diri kita. Jika perut lapar, kita penuhi keinginannya dengan asupan makanan. Kalau tubuh lelah, kita penuhi ia dengan mengistiratkannya. Namun, bila hati kita beku, membaca adalah salah satu solusi untuk menetralkan. “Bacalah dengan nama Tuhanmu. Bacalah dengan nama yang menciptakanmu.” (QS: Al-Alaq, 1-2).

Alkisah, ada seorang tukang becak. Dia tak bisa baca tulis alias buta huruf. Puluhan tahun dia menghidupi istri dan anak-anaknya dari hasil mengayuh becak. Meski demikian, salah seorang putranya ternyata mampu melanjutkan pendidikan tinggi setelah diterima di Akademi Militer di Magelang. Yang membanggakan, sang putra berhasil menyabet bintang Adhi Makayasa sebagai lulusan terbaik di kawah candradimuka para calon perwira itu.

Saat ditanya dari mana dia membiayai anaknya tersebut? “Bagaimana mungkin saya punya uang untuk menyekolahkannya? Wong saat anak saya masuk SMP saya bingung cari uang,” paparnya.

“Saya cuma berdoa memohon sama Gusti Allah agar kami sekeluarga diberi kemudahan dan ridha. Cuma itu thok karena saya nggak bisa doa panjang-panjang,” lanjutnya. Subhanallah. Saya tak melihat batas yang terbuka lebar antara doa dan membaca. Sebab, dalam doa terkandung permohonan yang diucapkan secara sungguh-sungguh.

Tukang becak itu mampu menerjemahkan bacaan tanpa teori meski dia tak mengenal aksara dengan doa. Dia percaya dengan kekuatan doa, kekuatan yang mengantarkan anaknya menjadi perwira muda. Meski bertahun-tahun hidup miskin dari hasil mengayuh becak, tak terhitung berapa kilometer yang dia kayuh, si tukang becak tersebut tak pernah lupa dengan sang Pencipta. Tiada lain, dia memfasilitasi kekurangannya dengan giat bekerja dan berdoa.

Bisa dibayangkan bagaimana raut tukang becak itu ketika melihat putranya dikalungi penghargaan tertinggi di Akademi Militer. Namun, dia ternyata tak berubah, tetap sama, masih bersahaja.

Suatu malam, ibu menelepon saya. Beliau menanyakan kabar saya karena lama tak bersua. Sembari menyelesaikan pekerjaan, saya berbincang ringan dengan beliau. Di akhir perbincangan kami, ibu sempat mengingatkan saya untuk selalu menjaga shalat. Tak lupa beliau minta dibelikan buku masakan. Saya langsung menyanggupinya. Sebuah permintaan yang wajar. Sebab, beliau sehari-hari berjualan kue dan makanan yang dititipkan di warung-warung dan kantin sekolah. Di usia setengah abad, tubuh ibu kian kurus karena menderita diabetes. Meski demikian, semangat beliau dalam bekerja membantu keuangan keluarga kian menumpukkan rasa hormat saya. Lima buku masakan sekaligus saya paketkan ke rumah untuk ibu. Jika ibu saja masih mau membaca, tak ada alasan bagi saya untuk malas membaca.

Pernah sang pujaan hati merenggut memendam kekecewaan yang dalam. Ternyata, dia kecewa karena saya hanya memberi dia kado buku di hari ulang tahunnya yang ke-26. Rasa kecewa itu dia wujudkan dengan tidak membalas SMS saya.
Tak kurang akal, saya mengirimkan pesan pendek ke ponselnya dan menulis beberapa kalimat maaf untuk dia. ”When you feel alone, just look at the spaces between your fingers. Remember that in those spaces you can see my fingers locked with yours forever. I miss you bad, sweetheart. -Maafin saya.” Beberapa saat kemudian, ponsel saya berdering ada SMS masuk. Pesan itu berbunyi, “Met kerja Mas. Pulang kerja ati-ati ya.”
Nah, membaca yang begituan itu membuat semangat kerja jadi berlipat. Seperti menimba air untuk mandi dan mencuci, membaca menjadi suatu kebutuhan, bukan lagi selingan.

Graha Pena, 21 Nov 2008
Eko Prasetyo
(asmara, ku pijak bara nafsu, ku regut aroma anyelir dari keringatmu, memelas mengajakku: bercinta)

Dipublikasikan: Eramuslim, 23 Nov 2008

Tetes Air Mata di Sela Hafalan

Oleh: Eko Prasetyo

Sudah beberapa hari belakangan, saya menghafalkan surat Al-Mulk dan masih belum hafal juga. Sehabis deadline, saya coba untuk mengulang lagi dan terus mengulang. Ternyata, belajar memang butuh semangat. Lima menit menghafal, lima menit membaca terjemahannya. Isi surat Al-Mulk memang begitu dalam karena mengingatkan akan kebesaran Allah dan azab-Nya yang pedih.

Selepas malam itu, gemuruh hujan yang membasahi Surabaya tampak di balik kaca
kantor. Suasana tersebut membuat saya enggan untuk segera pulang meski jam kerja sudah lewat. Dingin dan hening. Dari balik kaca lantai empat kantor, sejenak saya menatap hujan di luar sana. Tampak dari kejauhan kubah dan menara Masjid Al-Akbar di arah selatan yang hijau dengan cahaya yang dirambati tetes hujan. Subhanallah, indah sekali.

Di meja kerja hanya tersisa dua potong roti dan sebotol air mineral yang sengaja saya siapkan sore sebelumnya untuk santap sahur. Malam itu, saya terpaksa menginap di kantor. Sebenarnya, jikalau hujan segera reda, saya berniat beli nasi bungkus untuk kawan bersantap sahur. Namun, hingga menjelang subuh, hujan tak juga menampakkan tanda-tanda segera reda. Meski demikian, dua potong roti saya rasa cukuplah untuk sahur.

Selepas salat lail, mata ini saya paksa untuk tak sampai terpejam meski mengantuk. Sebab, takut kebablasan jika sudah benar-benar tertidur. Dan ini masih sering saya alami. Jika sudah begitu, ya wedang kopi jadi sahabat karib dan tetap melanjutkan menghafal surat Al-Mulk sembari menunggu waktu sahur ataupun azan subuh.

Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, mata ini mulai merah dan beberapa kali harus cuci muka agar tak ketiduran. Tiba saatnya untuk sahur. Meski tak cukup kenyang dengan dua potong roti, makan sahur terasa nikmat.

***

Saya selalu teringat suara anak-anak yang mengaji di musala kampung kami selepas asar. Anak-anak begitu bersemangat menghafal iqra dan membaca Alquran dari guru ngaji mereka. Ya Allah, malu rasanya hati ini jika kalah semangat dengan anak-anak itu dalam hal belajar dan menghafal ayat-ayat Allah.

Memang, tanpa disadari, kita terkadang menikmati membaca buku, novel, atau koran hingga lama ataupun berjam-jam. Tapi, saat membaca Alquran, kita enggan untuk membuka bahkan menghafal beberapa ayat. Terkadang menghafal lirik lagu saja kita bisa bersemangat dan berusaha sampai hafal. Namun, ketika menghafal beberapa Alquran saja kita merasa jemu.

Tak terbayang, jikalau Alquran bisa bicara, tentulah ia akan menangis karena sering menjadi sarang debu saat hanya dijadikan pajangan di meja atau lemari. Runtuh rasanya hati ini bila memikirkan hal tersebut. Padahal, itu adalah kalam Allah, Tuhan semesta alam.

Menjelang azan maghrib, ingin sekali saya menangis takkala membuka lembaran mushaf Alquran untuk menghafal kembali surat Al-Mulk. Sebanyak 30 ayat saya hafal dengan gemetar. Bukan karena menahan lapar, tapi gemetar karena malu. Ke mana hendak kusembunyikan tetes air mata yang terjatuh tanpa sengaja saat menghafal Al-Mulk? Sungguh, betapa kufurnya diri ini ketika malas belajar Alquran mendominasi hari-hari.

Sore merambat menjemput petang. Azan maghrib sudah berkumandang. Tiba saat berbuka. Dalam lapar, semangat untuk menghafal 30 ayat itu t’lah terpatri. Rabbizidni ilman warzuqni fahman..

Graha Pena, Mei 2008

Publikasi: Eramuslim 11 Mei 2008

Seutas Harapan Korban Lapindo



Oleh: Eko Prasetyo

Saat hendak berkunjung ke rumah salah seorang famili di Buduran, Sidoarjo, pagi itu terasa ada yang aneh. Jalanan, yang biasanya lancar jika Minggu, terasa padat dan macet mulai daerah Waru. Tampaknya, pintu tol ke arah Porong yang menghubungkan arah Malang dan Pasuruan kembali ditutup pagi itu. Padahal, jam belum menunjukkan pukul sebelas. Cuaca yang agak terik membuat kemacetan panjang tersebut terasa melelahkan.

Persis memasuki kawasan Gedangan, salah seorang warga setempat memberitahukan bahwa hari itu ada unjuk rasa korban lumpur Lapindo. Mereka memblokir jalan masuk ke arah Surabaya dan memusatkan aksinya di kawasan tol Porong. Sehingga, aksi itu mengakibatkan akses jalan Surabaya-Sidoarjo macet. Bahkan, arah ke Mojokerto pun terlihat sangat padat.

Setelah sampai di tempat tujuan, lega sekali rasanya. Perjalanan, yang biasanya bisa ditempuh sekitar 30 menit, molor sampai 1 jam lebih karena macet. Lewat berita di televisi, saya bisa mafhum karena kemacetan tadi disebabkan demo korban lumpur Lapindo.

Memang, tidak pernah disangka, dulu semburan kecil akibat semburan lumpur di areal eksplorasi salah satu sumur milik PT Lapindo Brantas, di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, pada 29 Mei 2006 masih menjadi tontonan. Hal tersebut berlangsung hingga sekitar tiga bulan. Material yang awalnya berupa zat cair itu lama-kelamaan menggenang, bercampur lumpur pekat, dan berbau gas. Itulah awal musibah yang menjadi derita berkepanjangan para warga yang terdampak lumpur tersebut.

Ribuan hektare areal sawah penduduk, ratusan dusun, perumahan, pabrik, hingga bangunan sekolah ikut tenggelam setelah terendam lumpur yang saat ini tingginya mencapai sekitar 12 meter. Tak ada yang tahu sampai kapan musibah yang konon disebabkan kelalaian dalam melaksanakan prosedur tersebut akan berakhir. Adakah ini sebuah peringatan dari Allah?

***

Selain melumpuhkan akses industri di Sidoarjo yang juga berdampak di beberapa wilayah di Jawa Timur, para anak-anak usia sekolah turut merasakan getirnya hidup di pengungsian. Mereka terpaksa belajar seadanya karena gedung sekolahnya tinggal terlihat atapnya saja.

Saat berkunjung ke daerah terdampak lumpur, hati ini semakin tak tega melihat para warga yang kebanyakan terdiri atas ibu-ibu dan anak-anak kecil itu berebut makanan. Terkadang, nasi bungkus yang mereka terima sudah basi. Mereka benar-benar kehilangan keceriaan yang terkubur bersama dengan tenggelamnya rumah mereka. Yang ada hanya wajah-wajah kosong, berusaha memperjuangkan kembali hak ganti rugi atas tanah atau rumah mereka. Juga, hak mendapat pendidikan buat anak-anak mereka yang tidak lagi bisa mengenyam pelajaran di gedung sekolah.

Yang sangat mengetuk nurani, puluhan pengungsi di Pasar Porong Baru saat ini mulai mengemis masal. Itu bisa dilihat di sepanjang jalur Porong-Sidoarjo. Mereka berjajar sambil membawa kardus dan poster meminta-minta kepada supir truk dan kendaraan yang melintas di jalan tersebut. Mereka mengaku terpaksa mengemis untuk makan. Salah seorang di antara warga itu mengatakan, ”Hanya uang dari ngemis ini kekayaan kami.”

Degup hati ini berdesir kencang membayangkan andai saya atau keluarga saya mengalami hal seperti mereka. Sungguh, ujian tersebut sangat berat. Namun, Allah tidaklah menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya. Tubuh ini merinding rasanya menyaksikan saudara-saudara saya tersebut mengemis sembari menengadahkan kardus-kardus yang mereka bawa, berharap ada makanan atau uang dari pengendara yang melintas.

Ya Allah, ya Rabb.. ketuklah jiwaku, buncahkan kasihku, bukalah mata hatiku atas penderitaan mereka yang aku sendiri belum tentu sanggup menerima cobaan seperti mereka. Semoga Allah melimpahkan kekuatan dan kesabaran kepada korban lumpur Lapindo.

Graha Pena, Mei 2008

Publikasi: Eramuslim 10 September 2008

Cerita di Atas Angkot Surabaya-Sidoarjo

Oleh: Eko Prasetyo

Perayaan hari lahir atau biasa disebut ulang tahun (ultah) sering kita jumpai di mana saja. Entah itu hari lahir negara atau HUT kemerdekaan maupun ultah seseorang. Bagi kalangan tertentu atau menengah –bahkan ada pula menengah bawah– merayakan ultah bisa dengan hura-hura dan pesta. Cara pandang seperti itu seakan sudah jadi tradisi di masyarakat awam kita.

Ada orang tua yang merayakan ultah anaknya dengan mengundang teman-teman anaknya. Tidak sedikit pula remaja yang merayakan ultahnya dengan party atau pesta dengan amat meriah. Namun, ada juga yang merayakan ultah bersama anak-anak di yayasan yatim piatu. Beragam jenis perayaan ultah menjadi pemandangan yang mudah dijumpai.

Di saat negara mengalami krisis ekonomi panjang seperti sekarang, tidaklah pantas kita merayakan ultah dengan meriah. Apalagi, merayakan ultah adalah budaya Barat yang telanjur diadopsi oleh kebanyakan masyarakat kita. Padahal, tambah umur berarti kita harus bijak. Sebab, bertambahnya usia adalah indikasi kontrak hidup kita di dunia akan semakin berkurang. Karena itu, sudah seharusnya manusia membiasakan dzikir maut atau mengingat kematian agar lebih giat beribadah. Bukan malah umur bertambah, tapi kelakuan semakin jauh dari tuntunan agama.

Ada pemandangan yang kerap saya ingat ketika ada rekan yang merayakan ultah di kantor kami. Ketika kue ultah sudah dipersiapkan, prosesi tiup lilin dilakukan. Setelah itu, para rekan-rekan lain beramai-ramai menyerbu kue tersebut secara berebutan. Hal itu sering saya saksikan. Terkadang, saya bertanya dalam hati, ”Apakah saya bisa ikut bergembira berebut kue, sementara di suatu waktu saya kerap menyaksikan orang miskin makan nasi basi yang dikeringkan?” Batin saya bergolak melihat ketimpangan-ketimpangan yang sering terjadi di lingkungan sekitar.

***

Bekerja pada malam adalah aktivitas yang rutin saya lakukan. Saya tak berani mengeluh pada diri sendiri. Sebab, tidak jarang, ada rekan kerja yang harus pulang pergi Surabaya-Malang dari kantor sehabis deadline. Ada pula kawan yang pulang pergi ke kantor dari Surabaya-Surabaya. Kalau mereka tidak pernah mengeluh, lantas kenapa saya mesti mengeluh? Alhamdulillah atas segala nikmat yang Allah berikan. Memang, hidup ini kita harus pandai-pandai bersyukur terhadap nikmat dari Allah SWT.

Suatu ketika, ada seorang rekan yang bercerita kepada saya saat dia pulang kerja ke Sidoarjo. Sehabis deadline, ada acara ultah rekan lain di kantor. Sedangkan kawan saya tersebut pada saat yang sama bergegas pulang. Karena tak bawa kendaraan, dia harus pulang naik angkot dari Surabaya menuju Sidoarjo. Jika dini hari, memang sulit angkot dijumpai. Kalaupun ada, menunggunya pun lama. Namun, kawan saya tersebut beruntung bisa cepat dapat angkot sehingga tidak perlu menunggu lama di pinggir jalan.

Dalam perjalanan itu, angkot tersebut tidak terisi penuh karena memang sepi penumpang. Saat berhenti sejenak di daerah Gedangan, Sidoarjo, ada seorang penumpang yang naik. Dia membawa beberapa lukisan kaligrafi berukuran sedang. Ternyata, penumpang tersebut adalah penjual lukisan kaligrafi. Kawan saya lantas bertanya kepada orang tersebut, ”Sudah berapa yang laku?” Pedagang kaligrafi itu menjawab bahwa seharian itu tidak ada lukisan kaligrafinya yang terjual sama sekali. Kawan saya tersebut sempat terhenyak sejenak dan merasa iba kepada penjual kaligrafi itu.

Setidaknya, saya mencoba mengambil hikmah di balik cerita sederhana dari kawan saya tadi. Kisah di angkot menuju Sidoarjo tersebut seolah menjadi reminder bagi saya. Betapa kita harus bersyukur terhadap anugerah dan nikmat Allah. Saya jadi sedih manakala teringat di ruang kantor ada suasana gembira hura-hura dalam cara ultah, sedangkan di saat yang sama ada penjual kaligrafi yang dagangannya belum laku sama sekali. Saya berpikir, bagaimana pedagang tersebut bisa makan padahal dia belum mendapatkan penghasilan pada saat itu.

Saat ini, kesenjangan sosial begitu nyata. Yang kaya makin kaya, yang duafa dan miskin makin terimpit. Bagi orang yang ekonominya mapan, terpaan krisis tak akan terasa pengaruhnya. Namun, bagi rakyat jelata, bisa makan sehari satu kali adalah anugerah yang amat besar. Subhanallah. Betapa saya tak bisa membayangkan jika perayaan ultah semakin membudaya. Pesta makan-makan begitu meriah dengan uang yang dikeluarkan tentunya tidak sedikit.

Apakah kesenjangan sosial itu kita biarkan saja? Apakah mata hati kita harus tertutup melihat ketimpangan-ketimpangan yang terjadi? Haruskah kepekaan sosial itu sekadar angin lalu? Mudah-mudahan pada usia ke-26 ini saya tak ikut tergiur dengan perayaan-perayaan semacam itu. Sebab, di kala hati resah, ketika pikiran gundah, hanya Allah lah tempat berserah dan mencurahkan hati yang sempurna.

Terbit: Eramuslim, 11 Juli 2008

Antara Teman dan Sahabat


SENJA: Aku (berkaus biru muda) berharap amal kan jadi sahabat sejatiku.

Oleh: Eko Prasetyo

Harga sebuah persahabatan sangat mahal. Sebab, sahabat sejati yang siap hadir di kala kita senang dan di saat kita membutuhkannya sangat sulit dijumpai. Apalagi di zaman serba digital dan pesatnya teknologi seperti sekarang. Nilai sebuah pertemanan dan jabat erat banyak dilihat dari kedudukan serta materi seseorang.

Kawan akan ada ketika kita mengundangnya di sebuah perjamuan atau pesta. Di saat uang kita berlimpah, dia siap menemani dan menebar tawa canda bersama. Namun, kala sakit mendera dan susah menyapa, tak satu pun di antara mereka yang menengok dan membesarkan hati. Marah? Itu hal yang sia-sia.

Maka, dalam memilih seseorang untuk dijadikan sahabat, kita sudah selayaknya untuk selektif. Sahabat sejati adalah sosok yang selalu mengingatkan akan kebaikan. Dia ada di sisi kita, baik ketika senang maupun di kala sedih. Persahabatan tidak kenal dengan kata putus. Dalam hal mengingatkan kesabaran dan kebaikan, nilai persahabatan ada sampai maut memisahkan raga dari jasad. Bahkan, saat kita sudah mati pun, sahabat siap menyalatkan dan mendoakan layaknya keluarga.

Namun, tak sedikit yang tergelincir karena teman. Ada seseorang yang awalnya baik, ketika berteman dengan pemabuk atau tukang judi, saat terpengaruh dan tak kuat iman, dia pun bisa berubah menjadi tidak baik. Bahkan, di antara masyarakat sekarang pun, banyak yang salah dalam pergaulan. Akibatnya, banyak remaja putri yang hamil di luar nikah, tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan lain-lain. Semua itu bukan saja disebabkan lemah iman, tapi juga cara yang salah dalam bergaul. Gaya hidup hedonisme dan bebas ala Barat mulai diterjemahkan sebagai sesuatu yang baik untuk diadopsi. Bahkan, pacaran di tempat umum seolah dianggap sesuatu yang biasa. Efeknya, timbul zina. Naudzubillahi mindzaalik.

***


Ji, demikian saya biasa menyebut salah seorang sahabat saya yang bernama Darmaji. Dia bukan rekan sekantor. Juga bukan orang yang suka berpenampilan rapi. Dia cuma tukang bakso keliling yang sudah menjadi langganan saya di kampung. Namun, banyak hal yang membuat saya angkat topi dan bersyukur mengenalnya.

Suatu sore, saya hanya menjumpai rombong (gerobak) baksonya saja, sedangkan yang jualan entah ke mana. Sekitar tujuh menit menunggu, akhirnya Ji muncul. ”Nang endi ae (ke mana saja)?” tegur saya. ”Sik Asharan Mas. Sampeyan wis sholat ta (Baru salat Ashar. Mas sudah salat)?” jawabnya. Seketika kejengkelan saya karena menunggu berubah mendengar jawaban Ji. Saya malu karena sudah su’udzan kepadanya, apalagi saya sendiri juga belum salat Ashar. Astaghfirullah. Saya bergegas ke musala untuk salat dahulu dan memesan semangkuk bakso kepada Ji.

Usai salat, saya kemudian kembali bertanya ke Ji, apakah dia tidak takut kehilangan uang setoran bila rombong (gerobak)nya ditinggal agak lama. ”Rezeki wis ono sing ngatur, Mas,” jawabnya polos. Dia hanya tukang bakso yang SD saja tidak lulus. Tapi, keyakinannya dan tak alpa untuk salat meski bekerja berkeliling jualan bakso membuat saya kagum. Kerja tetap kerja, namun jika sudah waktu salat, ya harus melaksanakannya. Bukankah memang rezeki telah Allah atur sesuai dengan ketetapan-Nya? Subhanallah.

Karena pengetahuan Ji tentang Islam cukup baik, saya tak jarang bertanya seputar agama yang saya sebelumnya tidak tahu. Alhamdulillah, dari Ji, saya banyak mengambil hikmah dan ilmu. Keakraban kami sebagai sahabat tidak terbatas pada saat bersua saja. Ketika saya jatuh sakit, sebuah sms dari Ji masuk dan mendoakan agar saya lekas sembuh. Subhanallah walhamdulillah, perhatian dari seorang sahabat mampu membuat semangat saya tumbuh kembali.

Rasulullah SAW bersabda: ”Seorang muslim itu adalah saudara muslim lainnya. Dia tidak boleh menzaliminya dan menghinakannya. Barang siapa yang membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan memenuhi keperluannya. Barang siapa yang melapangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan satu kesusahan di antara
kesusahan-kesusahan hari kiamat nanti. Dan barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” (Shahih Muslim).

Suatu ketika, Ji mengabarkan kepada saya bahwa istrinya di desa telah melahirkan putra pertama mereka. Tentu saja, saya ikut senang mendengar kabar bahagia tersebut. Tak lupa, saya mengucapkan selamat karena dia telah menjadi bapak. Tiada henti Ji berucap hamdalallah dan senyum syukur. Rendah hati dan menunjukkan sikap sebagai ikhwan yang sederhana. Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya mengingatkan seperti ”wis sholat ta? masih dia lontarkan ketika kami bertemu atau saat saya membeli baksonya.

Alhamdulillah, nikmatnya bersahabat jika saling mengingatkan tentang berbuat kebaikan. Bahwa persahabatan itu tidak memandang kasta dan kedudukan seseorang. Islam selalu mengajarkan kita untuk pandai bersyukur atas nikmat Allah. Seperti firman Allah: ”Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152).

Jatuhan daun dari pohon trembesi yang menguning di beberapa sudut jalan terhampar seperti musim semi. Beberapa di antara jalan itu sering kami lalui bersama. Ji menyusuri jalan itu dengan berjalan kaki dan mendorong rombongnya, sedangkan saya melewati jalan tersebut dengan kendaraan pribadi. Namun, ikatan persahabatan menjadikan kami lebih dari sekadar saudara. Dari hadis riwayat Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kamu saling membenci, saling mendengki dan saling bermusuhan, tetapi jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal seorang muslim mendiamkan (tidak menyapa) saudaranya lebih dari tiga hari. (Shahih Muslim). Wallahu ‘alam bishshawab.

dimuat: Eramuslim 5 Mei 2008

Shalat sebelum Dishalati




Oleh: Eko Prasetyo

Dini hari itu, ruang kerja kami sudah lengang. Hanya tertinggal saya dan beberapa rekan saja yang masih berada di kantor. Seusai deadline, biasanya hal yang sangat saya sukai adalah memandang keluar dari balik kaca kantor. Ditemani secangkir kopi, saya berkontemplasi dan mencatat dalam memori apa-apa saja yang akan saya evaluasi. Saya tertegun sejenak saat membaca buku tentang shalat. Betapa selama ini banyak orang mengerjakan shalat, tapi belum sepenuhnya paham esensi salah satu rukun Islam tersebut.

Jika ditelaah, shalat adalah ibadah yang menyehatkan. Shalat membawa banyak manfaat yang luar biasa. Salah satu manfaatnya, shalat bisa memperlancar peredaran darah. Maka, sudah semestinya kita bersyukur karena Allah mewajibkan setiap muslim untuk shalat. Tidak lain, hal tersebut bertujuan demi kebaikan hamba itu sendiri.

Zaman semakin modern, semakin banyak pula orang mengesampingkan ibadah shalat. Ada saja alasan untuk tidak shalat. Pekerjaan yang menyita perhatian, pikiran, dan tenaga dijadikan alasan melalaikan shalat. Masya Allah.

Banyak orang mengaku muslim, tapi rukun Islam tentang shalat sering diabaikan dan tidak dikerjakan. Saya pernah mendengar ada orang yang mengatakan bahwa tidak shalat tidak apa-apa yang penting beramal baik. Astaghfirulah, dari mana pemahaman seperti itu?

Allah berfirman: ”Apakah yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) saqar ini?. (Mereka menjawab) kami dahulu termasuk orang-orang yang tidak menunaikan shalat.” (Al-Mudatsir 42–43).

Sudah pasti bahwa siksa Allah itu pedih. Meninggalkan shalat dengan sengaja pun termasuk dosa besar. Tidak ada pengecualian untuk meninggalkan shalat kecuali tiga hal. Yakni, anak kecil hingga baligh, tertidur hingga bangun, orang gila hingga sembuh atau orang yang sudah meninggal. Nah, jelaslah bahwa shalat itu tidak boleh ditinggalkan dengan alasan apa pun. Maka, takutlah jika kita meninggalkan shalat.

Rasulullah SAW bersabda: ”Seringan-ringannya siksa pada hari kiamat ialah orang yang padanya diletakkan dua batu bara api neraka di bawah tumitnya yang mampu mendidihkan otaknya. Pada saat itu, dia merasa bahwa tidak seorang pun yang lebih kuat siksaan yang diterimanya dibandingkan orang lain. Padahal, sesungguhnya itulah siksaan yang seringan-ringannya (HR Bukhari dan Muslim).

***

Dalam suatu perjalanan ke masjid untuk shalat Jumat, saya tertegun karena di jalan masih begitu ramai. Aktivitas orang-orang pun masih berlanjut. Saat azan diperdengarkan, masih banyak orang yang nongkrong di warteg. Masih banyak orang yang sibuk belanja di mal atau pusat perbelanjaan. Tidak sedikit pula orang yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Suara panggilan shalat ternyata masih banyak direspons secara cuek. Padahal, mereka sadar bahwa shalat adalah kewajiban. Shalat juga merupakan tiang agama. Siapa yang menunaikan shalat, dia telah menegakkan tiang agama. Dan siapa yang meninggalkan shalat, dia telah merobohkan tiang agama.

Dalam suatu kesempatan lain, saya menghadiri pemakaman tetangga kampung kami. Tampak, beberapa anggota keluarga si jenazah larut dalam kesedihan. Setelah dimandikan dan dishalati, kami mengantarkan almarhum sampai di makam. Kami ikut memanjatkan doa dan setelah itu kembali lagi ke rumah.

Saya tertegun dan berpikir, ”Inilah (kuburan) rumahku kelak.” Orang kalau sudah mati tidak akan bisa apa-apa. Dia tidak membawa apa-apa, kecuali kain kafan. Putus sudah semua amalan di dunia jika maut telah menjemput. Yang tertinggal hanya tiga perkara. Yakni, amal saleh (jariyah), ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.

Malam-malam di kantor, saya kembali merenung, betapa banyak dosa yang telah saya perbuat. Betapa dhaif dan lemahnya manusia sebagai hamba ALlah. Sebab, tiadalah manusia bisa berbuat apa-apa selain karena pertolongan Allah Yang Maha Perkasa. Dalam qiyamul lail, tak sengaja mata saya basah. ”Bisa apa aku kelak sesudah mati?. Sebab, semua ini hanyalah titipan-Mu ya Allah..”

Fajar hampir menjelang di balik kaca kantor. Dingin dan sepi. Lidah ini seakan beku tak tahu harus berucap syukur apa lagi. Dua rakaat Subuh begitu terasa damai dan nikmat. Lalu, mengapa masih banyak kaum di antara kita meninggalkan shalat dengan sengaja? Betapa sebenarnya Allah itu benar-benar maha pengasih dan penyayang. Namun, kebanyakan hamba-hamba-Nya lupa akan segala curahan nikmat dan anugerah-Nya. Padahal, jika mati, kita tidak akan membawa jabatan, keluarga, apalagi harta.

Jangan sampai kita menyesal di kampung akhirat nanti hanya karena terus memikirkan duniawai. Sebab, dunia hanya persinggahan sejenak dan penuh senda gurau. Allah SWT berfirman: ”Sesungguhnya, Kami telah memperingatkan kepadamu akan (terjadinya) azab yang dekat pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya. Dan orang kafir berkata: ”Aduhai! Sekiranya aku menjadi tanah!” (An-Naba’: 40).


dimuat: Eramuslim 8 Juli 2008

Kabar dari Meulaboh



Oleh: Eko Prasetyo

Dini hari selepas kerja, saya sempatkan kembali membuka e-mail. Ingatan ini tak sengaja terbawa pada curahan hati seorang sahabat seusai bertugas di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sekian tahun silam. Dia bukan orang asli Aceh, hanya seorang sukarelawan dari sebuah LSM di Surabaya yang pernah dikirim ke sana selama beberapa bulan pasca musibah tsunami 2004. Memang, tragedi tersebut sempat membuka mata dunia serta menjadi headline di media cetak/elektronik nasional dan internasional selama beberapa bulan. Aceh berduka.

Tepat pada 26 Desember 2004, terjadi bencana dahsyat yang juga merupakan tragedi internasional waktu itu. Gempa bawah laut yang mengakibatkan tsunami mengguncang Bumi Serambi Makkah. Episenter atau pusat gempa terjadi di sebelah utara Pulau Simelue. Tak terbayangkan, tak sampai sekian jam, hampir separo Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilanda air bah yang menewaskan ratusan ribu penduduk tersebut.

Patahan bumi yang menjadi sumber gempa di Samudera Hindia, lepas pantai barat Aceh, mengakibatkan kerusakan luar biasa. Tak hanya tanah rencong yang dataran rendahnya tenggelam, tapi beberapa negara juga ikut terkena dampaknya seperti Malaysia, Thailand, Srilanka, Pakistan, India, Bangladesh, hingga Maladewa.

Tak pelak, tangisan pilu, rintihan korban yang sekarat, mayat yang bergelimpangan di mana-mana, tanah yang rata dengan tanah dan porak poranda menjadi pemandangan yang menyayat hati. Jika Allah berkehendak atas segala sesuatu, maka apa yang Dia kehendaki pasti terjadi. Allahu akbar..

Kini, peristiwa itu telah berlalu. Perbaikan infrastruktur telah dilakukan di Bumi Serambi Makkah. Namun, kepiluan dari bencana itu masih menyisakan kenangan pahit yang cukup dalam terhadap korban selamat, termasuk para relawan yang dikirim ke sana.

***

Sahabat saya mengisahkan sebuah pengalaman yang tak bisa dia lupakan seumur hidup saat bertugas ke Aceh pascabencana tsunami. Kebetulan, dia dan beberapa relawan lainnya berada di Kota Meulaboh yang sekitar 80 persen infrastrukturnya hancur.

Allah menampakkan kebesaran dan keagungan-Nya. Terbukti, meski kondisi sebagian besar rumah di tanah rencong rata dengan tanah, bangunan Masjid Rahmatullah yang berada di Kampung Lhoknga, Kecamatan Aceh Besar, selamat dan berdiri kukuh. Masjid dengan tiga kubah yang didirikan pada 12 September 1997 itu mampu bertahan meski sudah digelontor amukan gelombang tsunami yang amat dahsyat. Karena letaknya di tengah lembah dan di kala seluruh bangunan di sekitarnya rebah, masjid bercat putih tersebut bila dipandang dari kejauhan tampak mengapung ke udara. Subhanallah.

Seusai bertugas, sahabat saya tersebut masih sering mengisahkan pengalamannya lewat e-mail. Sahabat kami tersebut menuturkan betapa trauma sangat memengaruhi warga yang selamat. Rasa ngeri melihat jasad-jasad yang terkadang sudah tak utuh lagi sangat menguji batas toleransi keberanian. Rasa sosial dan nurani seorang sukarelawan diuji manakala harus mengevakuasi mayat-mayat korban.

Perasaan jijik dan mual saat memindahkan jenazah untuk dikubur secara masal seolah tak lagi menemani sahabat tersebut. Dia seakan telah terbiasa dengan hal itu setelah berhari-berhari menghabiskan waktu di sana.

Pernah, dia bertemu dengan seorang korban selamat di Meulaboh. Sang korban yang masih remaja itu tak henti berteriak dan menangis karena mengalami trauma hebat. Dia tak hanya mengalami luka hebat pada kakinya akibat tsunami. Tapi, dia juga harus kehilangan kedua orang tua dan saudaranya yang tewas diterjang air bah. Remaja itu seraya menangis meminta sahabat saya dan beberapa relawan lain yang ada di situ untuk membunuhnya saja karena merasa telah kehilangan segalanya dan tak mampu menanggung beban penderitaan tersebut. Tentu saja, hati manusia mana yang tak tersentuh dengan kejadian yang menimpa remaja tersebut. Pastilah, banyak korban-korban lain yang bernasib sama seperti yang dia alami. Subhanallah.

***

Gelombang dahsyat yang menyapu bumi Aceh pada 2004 meninggalkan duka mendalam bagi bangsa Indonesia. Bantuan logistik, obat-obatan, medis, serta dukungan moral tak cukup untuk memulihkan trauma para korban selamat yang kehilangan sanak famili mereka.

Namun, Allah adalah sebaik-baik tempat kita kembali. Allah Yang Mahagagah Perkasa jauh lebih berhak menentukan atas nasib kita, hamba-hamba-Nya yang dhaif.

Kita kadang terlampau angkuh berjalan di atas bumi Allah. Kita alpa bersyukur dan memelihara bumi dengan sebaik-baiknya. Saat senang, kita lupa pada Ilahi. Tapi, ketika ditimpa musibah kita baru memohon ampun dan mengucap istighfar. Segala nikmat lewat akal dan hati yang diberikan Ar Rahman rupanya tak cukup menggerakkan kalbu kita untuk mengucap syukur dan ampunan.

Lantas, pantaskah kita menyalahkan bahwa Allah tidak adil ketika musibah melanda negeri kita bertubi-tubi, baik yang disebabkan oleh alam maupun kelalaian manusia? Sungguh, kitalah sebenarnya yang terkadang kerap memperlakukan Allah tidak adil.

Cinta sejati lahirnya dari dalam hati yang bersih. Yang datang saat kedua tangan menengadah bermunajat berharap ampunan. Air mata yang jatuh karena mengingat dosa dalam keheningan malam menjadi untaian kasih mesra. Cinta sejati bukannya tak ada. Sebab, Ia begitu dekat, sangat dekat...saat kita bersujud.

Semoga bencana tsunami beberapa tahum silam dan musibah-musibah lainnya yang melanda negeri ini membuat kita sadar bahwa diri kita kecil, bukan apa-apa. Apa yang kita punya tak lebih dari sekadar debu titipan yang akan diminta kembali kelak saat tiba masanya. Mati pun manusia hanya berkawan kain kafan. Hanya kerendahan hati dan setangkup cinta kepada Allah lah yang mampu menyelamatkan kita dari penyakit menghamba duniawi.

Yaa Hayyu, Yaa Qayyum..
diri ini tak luput dari noda dosa
ampunilah kami yang khilaf dan kufur atas segala nikmat-Mu
selamatkanlah kami dari segala marabahaya dan bencana, amiin..


Graha Pena, Mei 2008

dimuat: Eramuslim, 5 Mei 2008

Di Sudut Terminal Bungurasih



Oleh: Eko Prasetyo

Cukup mengharukan perkenalan saya dengan salah seorang pengamen cilik di Terminal Bungurasih, Surabaya. Saat itu, saya hendak pergi ke Malang. Sengaja tidak memakai kendaraan pribadi, saya ingin berangkat ke sana naik angkutan umum saja waktu itu.

Hidup di terminal seperti hidup di ibu kota. Itulah yang saya tangkap dari kisah seorang pengamen cilik tersebut. Awalnya, saya yang masih di luar terminal ingin mencari makan di sebuah warung. Menu rawon akhirnya menjadi pilihan saya siang itu. Sedang asyik menikmati santap siang, ada bocah laki-laki sekitar tujuh tahun ngamen di warung itu.

Berbekal suara fals dan alat musik bikinan sendiri (dari tutup botol dan kayu kecil), dia mulai beraksi. Alat musik itu biasa saya sebut ecrek-ecrek karena bunyinya memang mirip begitu. Meski demikian, tidak ada yang peduli dengan nyanyian bocah itu. Namun, tampangnya yang agak dekil dan masih memakai celana sekolah membuat saya iba.

Salah seorang pengunjung yang juga makan di warung itu nyeletuk kepada bocah tersebut, ”Sing liyane ae, prei disik (Yang lain aja, lewatin dulu).” Tapi, pengamen cilik itu masih tetap berdiri. Sejenak, dia tidak bernyanyi, tapi melihat orang-orang yang makan di situ, termasuk saya. Tentu saja, saya jadi perasaan karena dilihat oleh anak kecil yang mungkin belum makan. Selang beberapa lama, saya memberi dia uang 500 perak. Kemudian, dia ngeloyor pergi.

Tidak ingin menjadi perhatian orang sekitar, saya juga pesan nasi campur yang dibungkus plus es teh. Bocah itu masih tampak mengamen di warung nasi lainnya. Setelah menunggu dia selesai ngamen beberapa saat, saya memanggil bocah itu. Saya kemudian menyerahkan bungkusan nasi tersebut kepadanya. Dia agak takut melihat karena saya mungkin masih asing bagi dia.

Suasana di antara kami pun jadi gayeng (akrab). Singkatnya, bocah itu mengatakan tinggal di kawasan Medaeng, Sidoarjo. Dia mengaku, sepulang sekolah biasanya langsung mengamen di Terminal Bungurasih.

”Kenapa ora ngamen nang kampung?” tanya saya kepadanya.
”Emoh Mas. Wonge pelit-pelit (Orangnya pelit),” jawabnya.
”Buat apa kamu ngamen?” tanya saya lagi.
”Buat jajan Mas,” ujarnya.

Saya lantas tersenyum mendengar jawaban polos dari anak laki-laki itu. Tak berapa lama kemudian, saya menuju bus jurusan Surabaya-Malang. Di bus, saya mencatat di jurnal pribadi tentang kisah perjalanan saat itu. Tentang kehidupan pengamen di kota, mereka sama seperti kita, mencari makan meski dengan jalan mengamen. Ada pula pengamen yang nyambi jadi copet. Namun, tak sedikit pula yang benar-benar mengamen hanya untuk mencari uang. Sering, para pengamen itu menghadapi ujian mental. Misalnya, tuan rumah menutup pintu erat-erat meski tahu ada pengamen di luar. Kadang, di bus, orang pura-pura tertidur saat ada pengamen yang menyodorkan bungkusan tempat uang.

***

Sebelum berpisah, pengamen kecil tadi sempat mengatakan bahwa dia ingin seperti bocah-bocah sebayanya tanpa harus mengamen di jalanan atau terminal. Dia menuturkan sangat ingin bisa makan di warung seperti pengujung lainnya. Namun, dia hanya bisa terus menyanyi dan menatap kosong para pengunjung yang lahap dengan makanan mereka. Mendengar itu, hati saya tersentuh.

Saya berpikir, mungkin banyak anak-anak seperti dia. Mereka pun membutuhkan uluran tangan kita dan perhatian dari pemerintah. Pendidikan yang semakin mahal dan sulit terjangkau bagi mereka adalah tugas kita untuk ikut membantu meringankan beban mereka. Sebab, para pengamen cilik itu juga merupakan tunas bangsa. Karena itu, mari kita budayakan zakat dan infaq untuk merajut kasih dengan Allah SWT. Ini semua perlu kita lakukan demi meringankan beban saudara-saudara kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Wallahu ’alam bishshawab.

dimuat: Eramuslim, 3 Agustus 2008

Selembar Kertas Kontrak

Oleh: Eko Prasetyo

Betapa sulit mencari kerja sekarang. Sempitnya lapangan kerja menambah deret angka pengangguran. Apalagi, tingkat persaingan semakin tinggi dengan bertambahnya lulusan sekolah menengah atas ataupun perguruan tinggi yang mencari kerja. Itu masih ditambah dengan belum stabilnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Tak heran banyak pengangguran intelektual (sarjana) di negeri ini. Jika sarjana di negeri ini masih banyak yang menganggur, bagaimana dengan mereka yang berpendidikan rendah?

Kadang, tak jarang kita jumpai bahwa banyak warga Indonesia yang terpaksa merantau ke negeri orang untuk mencari sesuap nasi. Mereka bekerja sebagai pembantu ataupun buruh di negara tetangga karena merasa sudah mentok mencari kerja di negeri sendiri. Para pahlawan devisa itu tak jarang pula mendapatkan aniaya dari majikan yang kadang bisa saja merengut nyawa mereka. Meski, tak sedikit di antara mereka yang sukses membawa hasil keringat saat pulang ke tanah air.

Di saat lapangan kerja semakin sulit didapat, tak jarang ketika sudah bekerja pun hak-hak pekerja atau karyawan kurang diperhatikan karena terbentur birokrasi perusahaan. Pernah, saat kebetulan melintas di suatu kawasan industri di Sidoarjo, saya melihat sekelompok buruh berdemo. Pemandangan seperti itu sering saya lihat, baik di televisi ataupun melihat secara langsung. Para buruh pabrik tersebut tidak hendak mengancam perusahaan atau sengaja membuat macet jalan. Mereka hanya memperjuangkan hak-hak mereka ketika perusahaan kurang memperhatikan kesejahteraan pegawainya.

Sekarang ini, di setiap perusahaan banyak menerapkan sistem kontrak kerja kepada para karyawannya. Ada karyawan yang dikontrak cuma setahun, ada pula yang dikontrak selama dua tahun. Ada juga buruh yang hanya dikontrak selama enam bulan. Bahkan, tidak sedikit perusahaan yang menerima karyawan lewat perusahaan outsourch. Bisa dipahami jika banyak sekali buruh yang merasa waswas, bekerja tidak tenang, dan bingung ketika menjelang kontrak kerjanya habis.

Pernah, saya terenyuh mendengar kisah tetangga saya. Dia mendatangi saya dan menceritakan bahwa dia baru saja mengalami pemutusan kontrak kerja. Sebagai buruh pabrik yang berpendapatan kurang dari Rp 800 ribu, dia merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, dia harus menghidupi istri dan seorang anaknya. Dalam keadaan bingung dan kalut, dia meminta tolong kepada saya untuk membantu mencarikan lowongan kerja. ”Kerjo opo ae aku gelem Mas (Kerja apa saja saya mau Mas),” tuturnya. Saya sempat terdiam dan tak tahu harus menjawab apa kepada tetangga saya tersebut. Saya termenung sejenak karena berpikir bahwa wong saya ini juga buruh. ”Insya Allah Pak. Saya usahakan membantu mencarikan info kerja. Tapi, saya ndak janji bisa mendapatkan secepatnya buat sampeyan,” jawab saya.

Mungkin, tidak sedikit orang yang mengalami hal seperti tetangga saya tadi. Saya semakin prihatin manakala membaca berita ada seorang buruh pabrik wanita yang menangis karena dikeluarkan. Bahkan, dia mengatakan telah memberi uang kepada salah seorang staf agar tidak dikeluarkan dari perusahaan itu. Dia mengaku berbuat demikian demi bisa diperpanjang kontraknya. Ketika uang sudah diserahkan, janji untuk diperpanjang tak terealisasi. Rasa sedih, kecewa, dan kalut bercampur jadi satu di hati wanita tersebut. Masya Allah. Betapa susahnya mencari sesuap nasi hingga persaingan pun menimbulkan iklim tidak sehat di dunia kerja. Seolah-olah, rezeki dan nasib seseorang itu bisa ditentukan oleh selembar kertas kontrak kerja. Astaghfirullah.

Bekerja adalah ibadah. Namun, banyak orang yang memaknai esensi kerja hanya untuk kebutuhan dapur dan perut belaka. Sehingga, banyak dijumpai orang yang putus asa karena masalah kerja. Padahal, masih banyak jalan jikalau kita mau berusaha. Masih banyak cara untuk mencari rezeki di bumi ini. Allah berfirman: ”Kami telah menjadikan untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan. Tetapi, sedikit sekali kamu berterima kasih.” (QS Al-A’raf: 10). ”Maka menyebarlah di bumi dan carilah rezeki dari keutamaan Allah.” (QS Al-Jum’ah: 10).

Keterpurukan ekonomi negeri ini disebabkan oleh semakin merajalelanya para koruptor. Utang negara semakin menumpuk, ditambah semakin lunturnya moralitas sebagian pemimpin. Negeri yang kaya sumber daya alam ini ternyata tak mampu menghidupi penduduknya karena dirusak dan dikeruk habis-habisan tanpa usaha diperbarui. Tak salah, kelaparan dan kemiskinan di negara ini semakin menjadi-jadi. Pembenahan moral bangsa dan etos kerja yang baik harus segera dilakukan agar negeri ini tidak dijajah oleh pemimpin korup. Jangan lagi menambah rakyat kita menderita karena sulitnya mencari sesuap nasi. Di luar sana, banyak wajah muram para buruh dan pencari kerja. Mereka tak berharap apa-apa, kecuali merindukan hidup di negeri yang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.


Graha Pena, Juli 2008
(di tengah kesendirianku menikmati hangatnya cahaya rembulan)
dimuat: Eramuslim (17 Juli 2008)

Dengan Jilbab, Cantik di Dunia dan Akhirat



Oleh: Eko Prasetyo

Berkah terbesar dari Allah SWT adalah iman dan hidayah. Salah satu di antaranya adalah hijab. Tidak ada anugerah dan pertolongan terhadap seorang perempuan yang lebih besar daripada petunjuk dan hijab. Allah SWT berfirman: ”Janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang nampak daripadanya” (QS An-Nur: 31).

Betapa indah Islam mengatur segala sesuatu bagi kemaslahatan umat manusia. Jikalau mau disadari dan dipahami, peraturan dan perintah Allah itu diberikan untuk kebaikan hamba-Nya sendiri. Tak terkecuali, perempuan. Diperintahkan, seorang muslimah harus menghijab dirinya dengan sempurna. Karena itu, berjilbab menjadi wajib hukumnya bagi setiap akhwat atau perempuan muslim.

****

Akhir 2007 membawa kenangan tersendiri bagi saya pribadi. Ketika itu, di beberapa wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah dilanda banjir hebat. Penyebabnya, Sungai Bengawan Solo meluap. Memang, meluapnya sungai tersebut disebabkan hujan yang tak kunjung reda hingga berhari-hari waktu itu. Tak pelak, wilayah sekitar sungai tersebut bisa dipastikan terendam banjir.

Hanya ada satu pintu air untuk Bengawan Solo, yakni di Jawa Tengah. Karena itu, beberapa daerah di Jatim yang dialiri sungai tersebut kena dampak banjir yang merupakan bencana akhir tahun itu. Selain Solo, Blora, dan Cepu, beberapa kota di Jatim seperti Ponorogo, Ngawi, Magetan, Madiun, Trenggalek, Tuban, dan Lamongan dilanda banjir besar. Namun, yang tak bisa saya lupakan hingga sekarang adalah banjir di Bojonegoro.

Bantuan makanan dan obat-obatan dari para donator segera dikerahkan di wilayah-wilayah tersebut. Sayang, saya tak bisa menjangkau ke Kota Bojonegoro yang dua pertiga wilayahnya kena banjir paling parah. Pasalnya, akses masuk ke kota itu sulit karena jalan masuk ke sana di Lamongan dan Tuban juga dilanda banjir parah.

Evakuasi terhadap warga yang menjadi korban banjir intens dilakukan. Di daerah yang sulit terjangkau tim relawan dari sipil dan militer, beberapa warga terpaksa mengevakuasi anggota keluarga mereka sendiri. Hujan yang turun berhari-hari, ditambah meluapnya Bengawan Solo, membuat rumah-rumah warga korban banjir hanya terlihat gentingnya.

Banjir luapan Bengawan Solo menyisakan kisah mengharukan. Seorang rekan wartawan merekam kisah seorang korban. Yati, seorang ibu asal Cepu, berhasil menyelamatkan dua anaknya dengan menumpang perahu milik tetangganya. Selain kedua anaknya, dia sempat membawa seekor kambingnya. Nahas, perahu yang mereka tumpangi diterjang arus deras dan terbalik ke sungai. Bisa menguasai diri, Yati berupaya mengejar kedua anaknya yang terbawa arus sungai. ”Saya teriak-teriak minta tolong dan terus menyebut asma Allah, tapi tidak ada yang menolong. Saat itu sekitar pukul 23.30,” tuturnya.
Beruntung, lanjut Yati, anaknya tersangkut di tanaman yang dia sendiri tidak tahu apa namanya sehingga dapat dia gapai. Sedangkan kambingnya terus meluncur bersama derasnya air dan hanyut ke Bengawan Solo.

Bencana banjir akibat luapan Bengawan Solo akhir tahun lalu benar-benar dahsyat. Namun, di Bojonegoro itulah saya tak henti mengucapkan tasbih. Seorang ibu paro baya yang terjebak di area banjir berhasil menyelamatkan diri setelah bergantung di potongan kayu. Ketika bisa diselamatkan oleh warga, sang ibu itu tak membawa apa-apa kecuali Alquran kecil dengan tetap memakai jilbab besar meski basah kuyup. ”Saya sudah pasrah ketika itu,” akunya.

Subhanallah, berjuang saat menghadapi maut, ibu itu masih sempat menyelamatkan Alqurannya. Dalam kondisi bertaruh nyawa, beliau pun mampu bertahan dengan kehormatannya sebagai muslimah: memakai jilbab. Kejadian-kejadian tersebut tidaklah kecil dan sederhana jikalau kita menangkapnya sebagai sebuah pertanda kebesaran Allah.

***

Dalam berbagai kesempatan, entah di kampung, mal, pasar, kampus, ataupun kantor, saya banyak mencatat hal yang kontradiktif di sekitar. Hal tersebut adalah masalah jilbab. Di negara yang mayoritas warganya adalah muslim ini, jilbab masih dipandang sebagai pelengkap atau aksesori dalam berbusana bagi perempuan. Gaya hidup glamor ala Barat ditambah pemahaman terhadap agama yang kurang membuat sebagian masyarakat memandang sebelah mata masalah jilbab. Tak heran, masih banyak perempuan muslim mengenakan jilbab, tapi lekuk tubuhnya masih terlihat. Masya Allah.

Saya sangat tidak sependapat bahwa busana muslimah itu harus fashionable atau mengikuti mode. Sebab, hal ini bisa mengaburkan esensi kewajiban berjilbab. Bila ini terjadi, perempuan bisa mengenakan jilbab sambil memakai kaus dan celana ketat. Astagfirullah. Ini sudah banyak terjadi di masyarakat kita. Mulai remaja putri, mahasiswi hingga ibu-ibu. Padahal, jilbab secara sempurna adalah keharusan bagi seorang muslimah, bukan pilihan. Dalam Alquran Allah SWT berfirman: ”katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya..” (QS Al-Ahzab: 59).

Pengalaman ibu berjilbab besar yang selamat dari musibah banjir Bojonegoro tadi adalah salah satu contoh bagaimana seharusnya seorang perempuan menjaga kehormatannya. Jangan lagi perempuan memperturutkan keindahan nafsu dan ego dengan memakai pakaian secara serampangan yang memamerkan tubuhnya. Apa artinya dipuji karena memamerkan tubuh indah jika itu sangat dimurkai Allah SWT.

dimuat: Eramuslim (17 Juni 2008)

Komplain Seorang Guru

Kilas: Eko Prasetyo

Pada 16 September 2008, Indonesia berkabung atas tewasnya 21 orang yang antre zakat di rumah H Syaikhon di Pasuruan. Demi mendapatkan Rp 30 ribu, mereka rela berdesakan, pingsan, bahkan hingga kehilangan nyawa. Bersamaan dengan kejadian itu, saya menerima e-mail tentang pendapat seorang guru SMP swasta di Surabaya.

Beliau menyampaikan keprihatinannya bahwa banyak guru di sekolah swasta atau negeri yang bukan berasal dari jalur kependidikan (SPd). Secara tegas, beliau mengatakan tidak setuju (bisa disebut tidak rela) bila guru berasal dari non kependidikan.

"Bedakan antara mengajar dan mendidik. Pokoknya, guru harus dari sarjana pendidikan," tuturnya.

"Iya, saya tahu esensinya, Pak. Tapi, banyak kita temukan bahwa kompetensi seorang guru lulusan non kependidikan tidak kalah dengan mereka yang bergelar SPd," jawab saya.

Saya lantas berkisah tentang dua rekan saya. Si A adalah lulusan pendidikan (SPd), sedangkan si B seorang sarjana sastra. Kedua-duanya memiliki pengetahuan dasar dan skill mengajar hampir sama baiknya. Saat melamar di sebuah sekolah internasional di Surabaya, si A tidak diterima. Sedangkan kawannya (si B) diterima meski dia tidak memiliki akta mengajar. Alasannya, selain dinilai mampu, si B menguasai bahasa Inggris, inilah yang tidak dikuasai oleh si A.

Saya pikir, guru dari sarjana pendidikan bukan harga mati. Artinya, seseorang yang bukan berasal dari jalur kependidikan pun bisa menjadi seorang guru. Jangan jadikan sarjana pendidikan atau bukan sebagai jurang pemisah. Meski demikian, perlu kebijakan dalam menyikapi masalah tersebut.

Jika saya ingin menjadi guru tapi tak punya akta mengajar, apakah saya akan putus asa dan meratapi mengapa dulu tidak mengambil jurusan kependidikan? Tidak!!! Mungkin, Anda tahu alasannya.


Graha Pena, 16 September 2008
Eko Prasetyo
(bias kutangkap kaki malam, sehening salma kucium aroma parasmu)

Indahnya Ikhlas

Oleh: Eko Prasetyo

Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, ”Ya Rasulullah, seseorang melakukan amal (kebaikan) dengan dirahasiakan dan bila diketahui orang dia juga menyukainya (merasa senang).” Rasulullah Saw berkata, ”Baginya dua pahala, yaitu pahala dirahasiakannya dan pahala terang-terangan.” (HR. At Tirmidzi).

Perbuatan ikhlas sering diingatkan oleh Rasulullah SAW seperti termaktub dalam hadis di atas. Indahnya berbuat ikhlas adalah balasan pahala dari Allah SWT. Rasulullah telah mencontohkan berbagai amal baik, termasuk berbuat ikhlas. Yakni, perbuatan yang didasari atas niat karena Allah, bukan mencari pujian dari orang lain.

***

Surabaya baru saja diguyur hujan sore itu. Sembari menyelesaikan pekerjaan, saya menyeruput secangkir kopi untuk menghangatkan badan. Belum banyak naskah berita yang masuk, tiba-tiba saya tertegun saat membaca pengalaman Pak Utomo. Pria paro baya itu dikenal sebagai sosok pimpinan yang tegas di instansi tempatnya bekerja.

”Hidup itu disiplin,” tegasnya. Ya, saya sependapat. Disiplin dalam banyak, termasuk beribadah kepada Allah SWT dan bersyukur atas nikmat-Nya. Pak Utomo menuturkan bahwa doa adalah hal yang utama dalam hidupnya. Melalui doa, dia mengatakan merasa dekat dengan Allah.

Saya berdecak kagum ketika dia memaparkan pengalamnnya saat dia menunaikan haji di tanah suci pada 2004 bersama istri. Di sana, dia mengaku mendapatkan perjalanan religi yang tidak akan bisa dilupakan seumur hidupnya.

Ketika tawaf mengelilingi Kakbah, dia bercerita bahwa posisinya sedang bersebelahan dengan istri yang selalu dipanggilnya umi tersebut. Entah pada putaran tawaf yang keberapa, tiba-tiba istrinya menghilang. Takut istrinya terinjak-injak orang yang datang dari berbagai penjuru dunia, dia pun menghentikan langkah, menoleh ke sekeliling. Namun, usaha tengok kanan-kiri tidak membuahkan hasil. Istrinya tak terlihat.

Bingung tidak tahu apa yang mesti dilakukan, Utomo akhirnya memilih pasrah dan melanjutkan tawaf. ”Waktu itu saya hanya doa, semoga Engkau melindungi Umi ya Allah! Nggak kepikiran doa, apalagi karena desak-desakan, saya langsung jalan memutari Kakbah, tawaf lagi,” ceritanya.

Selesai tawaf, tidak tahu datang dari arah mana, istrinya telah berada di sebelahnya kembali. Kaget, Utomo lalu tak henti mengucap syukur. Tiba di hotel, dia pun merenung atas peristiwa tersebut. Dari situ dia sadar bahwa Allah sedang menguji keikhlasannya. ”Saya seolah dapat pencerahan. Semua yang ada hanyalah milik-Nya. Manusia harus mengikhlaskan jika suatu saat apa yang dimiliki diambil oleh yang punya,” ucapnya. Subhanallah.

Gerimis belum juga bosan menyapa Kota Pahlawan. Alhamdulillah, satu hikmah lagi, satu ilmu lagi. Kembali bekerja, semangat menggelayuti hati saya di tengah dinginnya cuaca. Bersyukur, inilah pelajaran kesekian yang saya catat sore itu. Ketika negeri ini diteror oleh keserakahan dan kesombongan, mudah-mudahan sikap ikhlas mampu kita terapkan dalam segala aspek kehidupan, tanpa jenuh menghadapi waktu. Wallahu ’alam.

Graha Pena, akhir Oktober 2008
(saat hujan gerimis, kucium mesra kesunyian di balik kaca kantor)