Stop Kriminalitas Pendidikan



Oleh Eko Prasetyo

Mengejutkan. Saya mengelus dada saat membaca curahan hati seorang pelajar sebuah SMP di Jawa Barat. Betapa tidak, dia begitu rinci menjelaskan berbagai ”keanehan” yang dilihat langsung selama mengikuti unas. Kebetulan dia mengikuti unas di sekolah lain. Di situlah dia menyaksikan hal tidak terpuji tersebut.

Saya mendapatkannya di sebuah milis pendidik. Berikut cuplikan tulisan siswa tersebut.

Selama saya mengikuti UN di sekolah A ada sesuatu yang membuat saya dan teman saya merasa geram, yaitu ulah para murid SMP itu yang berlaku curang dalam mengerjakan soal UN. Mereka mendapat kunci jawaban semua mata pelajaran UN, mereka mendapatkan kunci jawaban itu dari guru mereka sendiri.

Pada paragraf lainnya, si murid tersebut melanjutkan curhatnya yang membuat saya tercengang. Berikut petikan curhat itu.

Banyak sekali cara mereka menyembunyikan kunci jawaban itu ketika UN berlangsung, diantaranya ada yang menuliskan kunci jawaban di sepotong kertas kecil, diatas papan jalar, diatas meja, didalam kaos kaki, dan masih banyak cara mereka yang lain.

Siswa tersebut berusaha menahan diri. Sebelumnya, dia telah diajarkan oleh gurunya untuk menjunjung tinggi kejujuran saat unas. Tidak boleh menyontek, apa pun risikonya, misalnya tidak lulus sekalipun. Ketika ditawari jawaban soal oleh siswa lain, dia menolaknya. Takut, katanya. Di paragraf berikut, hal tersebut dia sampaikan.

Melihat semua itu membuat saya marah, bahkan membuat saya takut pada Allah karena saya tidak bisa melakukan apa-apa disaat saya menyaksikan itu semua. Tapi, kenapa mereka yang melakukan hal itu tidak punya rasa takut pada Allah? dan kenapa guru mereka justru menjerumuskan mereka pada yang perbuatan yang salah?. Entah apa yang ada dipikiran mereka.

Saya kagum pada siswa tersebut. Pertama, saya acungi jempol buat dia karena tulisannya sangat bagus untuk anak seusianya. Saya sengaja tidak mengedit sedikit pun tulisannya. Saya biarkan begitu apa adanya. Sebuah ungkapan yang polos dan jujur dari seorang pelajar.

Kedua, saya kagum atas keberaniannya mengungkapkan kecurangan tersebut. Ketiga, ini yang utama, saya salut dengan keputusannya untuk tidak menerima jawaban soal unas. Alasannya, takut kepada Allah. Bahkan, dia menyatakan takut karena merasa tak bisa berbuat apa-apa ketika melihat kecurangan itu terjadi. Subhanallah.

Kekagetan saya berlanjut saat mendapatkan”oleh-oleh” dari ibu angkat saya di Bogor. Beliau kebetulan memiliki teman yang menjadi pengawas unas di sekolah lain. ”Oleh-oleh” yang saya maksud adalah pengalamannya selama tiga hari menjadi pengawas unas di sekolah lain. Dia menceritakan, pada hari pertama unas, tidak ada keanehan dan keganjilan.

Pada hari kedua, para siswa mengerjakan soal unas bahasa Inggris. Nah, saat itulah, dia menyaksikan kecurangan di dalam kelas. Misalnya, beberapa siswa tampak sibuk dengan kertas jawaban tanpa melihat soal di hadapan mereka.

Si guru pengawas itu curiga, para murid tersebut sudah memiliki kunci jawaban. Kecurigaannya terbukti setelah menanyakan kejanggalan tersebut kepada seorang siswa. Siswa tersebut mengatakan, jika datang lebih pagi, mereka bakal dapat kunci jawaban sudah beredar di kelas. Siswa itu tidak menyebutkan sumber kunci jawaban tersebut.

Kekecewaan si pengawas tersebut bertambah ketika dia melihat pemandangan menyedihkan pada hari ketiga. Saat itu, soal unas yang dihadapi adalah matematika. Ketika dia mengedarkan daftar hadir pada setengah jam pertama, beberapa mruid sudah menandai lembar jawabannya dengan titik-titik (sebagai tanda). Padahal, soal belum disentuh.

Pada hari terakhir unas, ketika pelajaran IPA, si guru pengawas itu tidak mendeteksi kecurangan. Tapi, tampaknya tim pengawas independen (TPI) dari unsur mahasiswa mulai merasa ada kecurangan. Itu terlihat dari seringnya intensitas mereka mengamati kelas, jauh lebih sering ketimbang hari-hari sebelumnya. Mereka mengintip dari jendela dan membuat catatan-catatan.

Tapi, banyak guru yang tidak suka dengan menyindir TPI saat pengumpulan berkas. Padahal, TPI menjalankan tugas sesuai fungsinya.

Ibu angkat saya lantas memberikan catatan kecil yang ditulis oleh guru pengawas itu. Berikut cuplikan tulisannya yang tidak saya edit sama sekali.

Beberapa hal yang menjadi bahan perenungan saya:
1. Ternyata masih banyak guru yang tidak mencerminkan akhlak yang terpuji dilihat dari interaksi antara bukan muhrim, memanggil dengan sebutan yang tidak baik dan saya sangat…sangat astaghfirullah dan ngeri dengan pendidikan di sekolah “negeri.”
2. Masih banyak guru yang pro terhadap kecurangan dengan alasan kasihan jika anak-anak tidak lulus dan membuat malu guru, terutama kepala sekolah.
3. Berharap semakin banyak ikhwah bisa masuk ke lini ini karena guru, bagaimanapun menjadi panutan bagi murid-muridnya…

Dua pengalaman dari siswa SMP dan guru pengawas di atas cukup menjadi gambaran bahwa kriminalitas telah merambah dunia pendidikan kita. Kronis pula!

Dengan membiarkan anak-anak kita menerima jawaban soal unas, itu sama dengan menanamkan benih ketidakjujuran. Mereka dibiarkan berbuat kriminal dengan mengorbankan kejujuran dan kehormatan.

Masalah ini menjadi pekerjaan rumah (PR) besar. Karena itu, kita mesti bisa belajar dari kesalahan hari ini dan menjadi lebih baik esok hari. Stop kriminalitas pendidikan sekarang juga! Jika tidak, jangan salahkan jika banyak orang yang mengumandangkan kalimat sastrawan Taufiq Ismail. Yakni, Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.

Wallahu ’alam bishshawab.

Graha Pena, 29 April 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id
(sumber foto: Kompas)

1 komentar:

meytasr mengatakan...

hal tsb saya alami jg sewaktu mengikuti UAN SMA '09..
Kesal sekali rasanya melihat teman2 berbuat spt itu tp tidak bisa berbuat apa2.
walaupun teman2 saya itu akhirnya bisa lulus dengan nilai spektakuler, tp alhamdulillah saya berhasil lulus dgn usaha sendiri..
:)