Introspeksi bagi Semua



Catatan Eko Prasetyo,
editor Jawa Pos

Ujian nasional (unas) telah diumumkan. Hasilnya, diperoleh data bahwa angka kelulusan turun empat persen dibandingkan tahun lalu. Angka kelulusan yang semula 93,74 persen (2009) kini anjlok menjadi 89,88 persen (metrotvnews.com, 26/4/2010).

Seperti yang sudah-sudah, hasil pengumuman unas selalu mengundang pro dan kontra. Baik di kalangan pejabat, orang tua, sekolah, maupun murid. Banyak yang meminta unas tidak dijadikan tolok ukur kelulusan. Tak sedikit yang mengkritik bahwa unas sudah melenceng dari hakikatnya dan tujuan semula, yakni memetakan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.

Seperti yang sudah-sudah pula, unas tahun ini menelan korban. Kompas (27/4/2010) melaporkan, Wahyu Ningsih, siswi di SMKN di Muaro Jambi, tewas bunuh diri. Diduga, dia nekat mengakhiri hidupnya karena tak lulus unas. Nilai bahasa Indonesianya mendapatkan poin absolut: delapan. Namun, nilai matematikanya hanya tiga koma. Stres dan shock berat melanda gadis 17 tahun itu. Akal sehat pun seolah dipinggirkan. Wahyu memilih menenggak racun untuk menutupi rasa malunya lantaran tak lulus unas. Menyedihkan.

Malam setelah deadline (27/4), saya menyempatkan menonton berita di televisi. Salah satu topik berita adalah pengumuman kelulusan siswa SMA di Sulawesi Selatan. Banyak yang kedapatan tidak lulus. Sang kamerawan menyorot puluhan siswa-siswi yang menangis histeris karena tidak lulus unas. Bahkan, ada yang pingsan. Mereka menyesal karena tak bisa berbagi bahagia dengan rekannya yang lulus.

Dunia pendidikan kita pun tak akan lupa dengan kasus di SMAN 2 Ngawi pada 2009. Saat itu, mereka mencatat rekor tidak lulus unas 100 persen. Yang ironis, para siswa sekolah tersebut diduga mendapatkan jawaban palsu.

Masih pada 2009, seorang siswa SMA bernama Tri Sulistiono nekat menceburkan diri ke dalam sumur sedalam 15 meteri di rumahnya. Diduga, dia melakukan bunuh diri lantaran tak kuat menanggung beban psikis setelah dinyatakan tidak lulus unas (Suara Merdeka, 25/6/2009).

Dengan fakta tersebut, tak heran jika ada pihak yang menyebut bahwa unas bisa menjadi ”pembunuh”.

Introspeksi bagi Pemerintah
Kejadian memilukan seputar siswa yang bunuh diri gara-gara tak lulus unas seharusnya bisa membelalakkan mata pemerintah. Dalam hal ini, Kemendiknas yang memiliki otoritas di bidang pendidikan seharusnya mengambil langkah evaluasi terhadap unas. Khususnya, dampak unas sebagai penentu kelulusan dengan patokan nilai yang ”mencekik”.

Bagi siswa-siswa di kota besar, yang mungkin rutin ikut tryout dan berbagai bimbel, unas mungkin bukan momok menakutkan. Namun, bagi siswa lain di daerah, yang jarang terdapat bimbel, unas bisa jadi monster.

Pemerintah juga tak boleh melupakan terjadinya berbagai kasus yang mencoreng pendidikan terkait unas. Di antaranya, tertangkapnya sejumlah kepala sekolah, guru, dan staf dinas pendidikan di Bengkulu Selatan (Detiknews, 8/6/2009). Mereka diduga mencuri soal unas. Untung, soal belum dibagikan ke siswa sehingga unas urung bocor.

Yang paling mutakhir, dua siswa SMAN 2 Medan (SN dan JWB) ditangkap polisi karena membawa lembar jawaban soal unas pada hari pertama ujian (Tempointeraktif, 23/32010). Di Dumai, Riau, ratusan siswa SMP mengaku menerima SMS jawaban unas (Suara Merdeka, 1/42010). Hal serupa terjadi di berbagai daerah seperti Cirebon, Pekanbaru, Garut, Lhokseumawe, dan lain-lain.

Kasus-kasus yang merendahkan dunia pendidikan tersebut seharusnya mampu membuka mata hati dan nurani otoritas pendidikan di negeri ini. Kita tentu tak ingin kasus pencurian soal unas oleh pelaku pendidikan dan bunuh diri lantaran stres tak lulus unas oleh siswa terulang pada masa mendatang.

Penerapan unas sebagai iklim penentu kelulusan sudah saatnya ditinjau ulang. Mengingat, peta pendidikan di tanah air sebenarnya belum merata.

Instrospeksi bagi Yang Tak Lulus

Setelah pengumuman hasil unas 2009, banyak pihak berharap agar kasus pelajar yang bunuh diri dengan mencebur sumur tidak terulang. Nyatanya, kasus bunuh diri murid yang tak lulus unas terjadi lagi tahun ini.

Memang, tidak lulus unas bisa menjadi beban moral bagi siswa yang tidak lulus. Mereka merasa putus asa setelah perjuangannya selama tiga tahun harus beujung pada kegagalan. Mereka mungkin tak kuat menanggung malu di hadapan keluarga, teman, dan masyarakat. Tidak lulus unas dianggap petaka.

Sebenarnya, para siswa yang tidak lulus unas tidak perlu berkecil hati. Mereka juga tidak perlu larut dalam keputusasaan. Sebab, masih ada kesempatan pada ujian kedua. Pintu masa depan belum tertutup. Seandainya tidak lulus pun, rasa sedih tak boleh dibiarkan berlama-lama dan berlarut-larut. Mereka harus bisa menjadi ”pemenang.” Artinya, mereka bisa menginstrospeksi diri sendiri. Sudah benarkah pola belajar selama ini? Pantaskah saya lulus jika jarang belajar dan tak memperhatikan guru ketika pelajaran berlangsung? Pertanyaan inilah yang mesti dijadikan cermin sekaligus cambuk penyemangat.

Introspeksi bagi Semua
Memang, unas tak melulu memuat kepedihan, kesedihan, dan keputusasaan. Banyak yang terbuai euforia bagi yang lulus unas. Namun, perlu juga dicatat, tak sedikit siswa yang lulus merayakannya dengan cara berlebihan yang justru bukan kegiatan positif. Misalnya, mencoret-coret seragam, menenggak minuman keras, dan konvoi roda dua yang mengganggu lalu lintas. Euforia yang memprihatinkan.

Mungkin, kita juga perlu memahami mengapa mereka melakukan perbuatan yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain tersebut. Bisa jadi, perayaan unas dengan konvoi dan mencoret seragam merupakan cara untuk ”membunuh” rasa khawatir mereka. Yakni, kekhawatiran akan tidak lulus.

Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan mereka digembleng dengan pelajaran-pelajaran yang diunaskan. Begitu takutnya mereka akan unas sehingga ada siswa yang pergi ke dukun untuk meminta jampi-jampi supaya bisa lulus unas. Maka, ketika benar-benar dinyatakan lulus, mereka merasa seperti meraih kemenangan besar.

Lulus unas dianggap sebagai akhir dari perjuangan. Padahal, perjuangan tidak boleh berakhir. Orang yang akan meninggal (sakaratul maut) pun pasti berjuang, yakni mengucapkan kalimat tauhid agar mencapai kematian yang baik (husnul khatimah). Maka, drama unas yang melulu berisi tragedi ini hendaknya menjadi introspeksi bagi kita semua.

Graha Pena, 28 April 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id
(sumber foto: Kompas.com)

Tidak ada komentar: