Saya Berharap Beliau Membaca Artikel Ini

Oleh Eko Prasetyo

Awal Januari 2010, saya diundang untuk mengikuti reuni di sebuah SMP negeri di Bekasi Timur. Saya memang salah satu alumnus sekolah tersebut. Sayang, saya tak bisa datang saat itu karena mempersiapkan pertemuan Dahlan Iskan dengan ribuan guru di DBL Arena, Surabaya. Namun, saya menyampaikan salam lewat pesan singkat untuk kawan-kawan yang hadir bersama keluarga mereka ketika itu.

Pagi itu, Dahlan Iskan menyampaikan apresiasi yang besar kepada guru-guru yang merupakan peserta program Safari Diklat Jurnalistik Jawa Pos. Bagi saya, sekecil apa pun, apresiasi memang layak diberikan diberikan kepada korps Oemar Bakrie. Sebab, tak bisa dimungkiri, para gurulah yang bakal menentukan masa depan negeri ini.

Betapa tidak, jika anak didik para guru saat ini berusia 13–16 tahun, 20 mendatang mereka akan memasuki usia produktif, 32–36. Dahlan Iskan pernah mengatakan, produktif atau tidaknya anak didik tersebut pada 20 tahun mendatang sangat ditentukan oleh guru.

Saya lalu mengajak ingatan ke peristiwa beberapa tahun silam, saat masih duduk di kelas 3 SMPN itu. Suatu ketika, kelas kami sangat gaduh karena kebetulan salah seorang guru kami absen tidak mengajar karena satu alasan. Oleh wali kelas, kami diberi tugas mencatat.

Setelah itu, wali kelas kami berlalu. Nah, mulailah kelas kami gaduh dan berisik, entah itu wujud kesenangan atau pelampiasan kekesalan karena kami sering disuruh mencatat dan mencatat. Bosan sekali.

Ada yang mengobrol, ada yang menggambar di buku tulis, bahkan ada yang malah jajan ke kantin. Setengah jam berlalu dengan kepenatan mencatat, ada beberapa teman yang bercanda. Celakanya, ada kursi yang patah karena candaan mereka. Saya tak ingat persis kejadian tersebut. Namun, suara kursi patah itu terdengar cukup keras.

Kami cukup waswas. Pasalnya, kelas kami hanya terpisah dua kelas dari ruang guru. Kami khawatir suara itu terdengar oleh wali kelas kami. Kekhawatiran tersebut terbukti.

Wali kelas kami datang. Semuanya tertunduk. Saya lihat, wajah dua teman yang mematahkan kursi itu sangat pucat. Tampak sekali bahwa mereka ketakutan karena memendam rasa bersalah yang menggunung.

Beliau, wali kelas kami, memperlihatkan raut wajah tak senang. Begitu mengetahui ada kursi yang patah, beliau tak bisa menyembunyikan mimik murka.

Tentu saja, kondisi itu bisa bermakna tak bersahabat. Kami betul-betul ketakutan karena rasa bersalah. Dua teman saya tadi mengaku bersalah. Namun, tampaknya itu tak bisa menghindarkan mereka dari hukuman. Mereka dijewer dan (maaf) ditampar.

Belum cukup di situ. Seluruh siswa laki-laki disuruh maju di depan kelas. Kami semua dinilai lalai dan tak bertanggung jawab. Wali kelas kami berasalan, beliau tak bisa menggantikan guru yang absen tersebut karena mengajar di kelas lain. ”Karena itu, kalian saya beri tugas mencatat,” tuturnya.

Akhirnya, kami, termasuk saya, dihukum jewer.

Barangkali, andai ada salah satu di antara kami yang wadul ke orang tua, tentu wali urusannya bakal lebih panjang. Ternyata, tidak ada yang melaporkan kejadian itu. Alasannya macam-macam. Mulai takut hingga rasa bersalah dan ingin bertanggung jawab.

Kami tidak diminta mengganti kursi yang rusak itu. Sang wali kelas ingin kursi tersebut diperbaiki saja.

Sekian puluh tahun kemudian, saya sadar bahwa tindakan wali kelas kami itu sangat bijaksana. Beliau menghukum kami semua, siswa laki-laki, tanpa kecuali untuk menanamkan tanggung jawab. Kami tidak disuruh mengganti kursi yang rusak tersebut, melainkan diminta memperbaikinya.

Salah satu teman saya yang dijewer dan ditampar tadi kini menjadi dokter umum. Dia lulusan fakultas kedokteran Universitas Indonesia (UI). Yang satunya lagi bertugas sebagai anggota TNI-AD di Jakarta.

Kabar reuni tersebut mengingatkan saya ke peristiwa sekian tahun silam. Saya kangen sekali ingin bertemu teman-teman yang saat itu ikut dihukum oleh wali kelas kami. Salah seorang rekan kami bahkan berencana mengundang wali kelas kami tersebut. Kami berpatungan untuk membelikan hadiah kepada sang wali kelas. Mungkin tak seberapa, tapi itu merupakan bentuk terima kasih kepada beliau.

Ya, saya sadar bahwa hukuman verbal seperti jeweran tadi belum tentu merupakan wujud kecewa atau emosi. Bisa jadi, wali kelas kami tersebut hendak memberikan ”something special” kepada kami.

Kini rata-rata kami, murid beliau, menginjak usia produktif. Ada yang berprofesi sebagai dokter, anggota TNI, guru, dosen, pengusaha, sales, dan jurnalis.

Saya sendiri ingin sekali mengucapkan terima kasih kepada beliau. Barangkali, jika telinga saya tak dijewer kala itu, saya bakal tak semangat belajar, tak menyukai dunia mencatat yang kelak mengantarkan saya sebagai penulis. Mungkin benar, guru sejati tak akan mengiba terima kasih murid-muridnya. Yang diharapkan, mereka bisa menjadi manusia produktif yang bermanfaat bagi sesamanya. Apalagi, sebaik-baik hamba Allah adalah yang memberikan manfaat bagi orang lain.

Semoga tulisan ini terbaca oleh beliau. Terima kasih Pak Guru, penaku akan terus kugoreskan untuk menyampaikan amanahmu, menyerukan kepada dunia tentang betapa mulia profesimu.

Graha Pena, 10 April 2010

Tidak ada komentar: