Sepatu Spirit

Oleh Eko Prasetyo

Pak Sam, sebut saja begitu, pada akhir 2004 diterima mengajar di sebuah SMP di daerah terpencil di Kabupaten Malang. Dia mengampu mata pelajaran bahasa Inggris untuk siswa kelas 3. Hari-hari pertamanya mengajar diselimuti kisah nanar. Perasaan Pak Sam tak menentu kala itu.

Betapa tidak, dia harus mengajari puluhan murid yang bakal menghadapi ujian akhir sekolah dan nasional. Padahal, kebanyakan siswa tidak mengerti tentang bahasa Inggris tersebut. Bahkan, tak sedikit yang ”nol” alias tak bisa mengeja dengan baik ejaan bahasa Inggris.

Karena tekadnya sudah tinggi untuk mengajar, semangat Pak Sam tak surut. Dia mencari cara agar bahasa Inggris mampu menjadi pelajaran yang menyenangkan bagi anak didiknya. Jika siswa sudah mulai menyukai, tentu mereka bakal menyerap pelajaran dengan mudah. Begitu pikir Pak Sam kala itu.

Terinsipirasi oleh model pembelajaran luar kelas di kampusnya dulu, Pak Sam menemukan ide. Dia mengajukan izin kepada kepala sekolah untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris di luar kelas (outdoor). Alasannya, mengajak siswa mampu memahami pelajaran dengan baik di alam bebas yang masih segar itu. Ya, Pak Sam memang mengajar di sekolah yang terletak di daerah pegunungan. Tak jauh dari sekolah tersebut, terdapat air terjun yang bukan main indahnya.

Gayung bersambut, sang kepala sekolah mengabulkan permintaan Pak Sam. Mulai saat itu, Pak Sam mengajari para siswanya di luar kelas. Awalnya, dia mengajak para siswa merasa menyatu dengan alam. Setelah merasa segar, mereka diajak berdiskusi tentang materi pelajaran. Dua jam pelajaran terasa begitu cepat berlalu. Anak-anak mulai tampak antusias. Hal inilah yang diharapkan Pak Sam.

Pak Sam begitu cepat mendapatkan tempat di hati para siswanya. Tak jarang, para siswa sering bertanya kepada Pak Sam di luar jam pelajaran, bahkan bertanya tentang mata pelajaran lain. Suatu hal yang hampir tak pernah terjadi sebelumnya. Melihat gelagat baik itu, kepala sekolah menyatakan senang. Karena itu, dia mendukung Pak Sam untuk memberikan bimbingan pelajaran di luar kelas.

Ada pengalaman lain yang dialami Pak Sam. Suatu pagi, ada seorang siswa yang dihukum berdiri di dekat tiang bendera. Hari itu bertepatan dengan Senin, ketika upacara berlangsung. Sang siswa dihukum lantaran tidak memakai sepatu.

Setelah jam istirahat, Pak Sam memanggil murid tersebut. Pak Sam menanyakan alasan siswa itu tak memakai sepatu ketika upacara pagi tadi. Si murid menjawab, dirinya tak sempat memakai sepatu karena harus mencari rumput untuk pakan sapi. Sebuah hal yang lazim dilakukan anak-anak sebayanya di dusun, apalagi dekat pegunungan. Si murid menambahkan, dirinya sebetulnya sudah malu kepada teman-temannya karena sepatunya tak layak dipakai. Sebab, beberapa bagiannya robek lantaran digigit tikus.

Pak Sam lalu meminta muridnya tersebut untuk mampir ke rumahnya setelah jam pulang sekolah. Tempat kos Pak Sam sebenarnya cukup jauh dari sekolah. Sebuah kos yang sederhana di rumah berlantai tanah, juga lazim di pedesaan. Di situlah Pak Sam merajut mimpi dan asanya sebagai guru. Di situ pula, dia melayani privat murid-muridnya tanpa meminta bayaran.

Si murid akhirnya tiba di kediaman gurunya tersebut dengan naik bus kecil. Pak Sam tanpa basa basi langsung meminta si murid memakai helm. Mereka lalu pergi ke kota kecamatan dengan naik motor tua milik Pak Sam. Rupanya, Pak Sam menuju pasar. Di sana sasarannya adalah toko sepatu. Setiba di tempat yang dimaksud, Pak Sam menyuruh si murid untuk memilih sepatu yang disukainya dan sesuai dengan ukuran kakinya.

Setelah membayar sepatu itu, Pak Sam berpesan kepada sang murid. Pak Sam meminta muridnya itu berjanji untuk giat belajar, terutama dalam pelajaran bahasa Inggris. Sebenarnya, harga sepatu itu hampir separo dari honor Pak Sam sebulan sebagai guru tidak tetap (GTT). Namun, Pak Sam yakin pemberiannya itu tak sia-sia.

Hari demi hari berlalu. Pelajaran bahasa Inggris yang semula ”ditakuti” kian digemari, bahkan menjadi pelajaran primadona di kelas Pak Sam. Berkat motivasi Pak Sam dan metode outdoor class, para siswa mampu menyerap pelajaran dengan baik. Dari yang tak bisa mengeja menjadi bisa melafalkan dengan baik. Kemudian, memperkaya perbendaharaan kosakata. Waktu beberapa bulan terasa begitu singkat.

Ketika musim ujian tiba, hati Pak Sam agak sedikit tenang. Ada enam siswa yang mendapatkan nilai di bawah lima untuk mapel bahasa Inggris. Kendati begitu, Pak Sam tak tampak sedih. Sebab, jika menilik kondisi sebelumnya, dia malah memprediksi banyak siswanya yang bakal dapat nilai merah.

Sekian tahun kemudian, ketika Pak Sam sudah pindah ke kota lain, dia mendapatkan kabar bahwa beberapa muridnya di SMP itu dulu diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Bahkan, dua di antaranya mengambil jurusan bahasa Inggris. Salah satunya adalah murid yang pernah dihukum di dekat tiang bendera. Hati Pak Sam bahagia, sangat bahagia mendengar kabar tersebut. Dia yakin sepatu pemberiannya dulu memberikan spirit dan kepercayaan diri bagi siswa tadi.

Sejenak Pak Sam melihat ke kolong meja di sudut rumahnya, matanya menerawang. Sunyi. Tampak di situ sepasang sepatu usang. Talinya agak kumal dan beberapa bagian sudah kusam karena termakan waktu. Sepatu itulah yang dulu dipakai Pak Sam untuk mengantarkan siswa tadi menjemput impiannya, impian untuk merajut masa depan yang lebih baik.


Graha Pena, 15 April 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

4 komentar:

Anonim mengatakan...

inspirative ...

Eko Prasetyo mengatakan...

tulisan-tulisan anda juga inspiratif.. syukron telah mampir ke gubuk ini.

annisaningrum mengatakan...

nice...^^

Just_Ibell™ mengatakan...

Great..!
Sebuah inpirasi besar mengawali pagi ini.. Thx. (^^,)