Menyikapi Cemburu

Oleh Eko Prasetyo

Jam menunjukkan sekitar pukul 16.15. Tiba-tiba, suasana sore di gang sebuah kampung pecah oleh teriakan seseorang. Suara tersebut milik seorang perempuan. Dia tak henti-henti berteriak meminta tolong kepada warga sekitar.

Dia berlari sambil menangis. Dia seolah diburu sesuatu. Dugaan itu tak salah. Perempuan yang berusia sekitar 30-an tahun tersebut memang sedang dikejar seorang lelaki. Kendati perempuan muda itu terus diburu, tak warga yang berani menolongnya. Sebab, laki-laki tadi mengancamnya dengan mengacung-ngacungkan sebilah parang.

Tak lama kemudian, laki-laki itu akhirnya bisa dibekuk polisi berkat laporan warga. Pagi yang semula mencekam berangsur-angsur normal.

Rupanya, laki-laki tadi adalah suami perempuan yang meminta tolong tersebut. Kepada petugas, si suami mengaku emosinya terbakar lantaran melihat sang istri menerima tamu seorang laki-laki di rumahnya. Ketika marah melanda, akal sehat tak mampu berbicara. Rasa cemburu nyaris menumpahkan darah.

Pada kejadian lainnya, seorang istri ngotot meminta cerai kepada suaminya. Hal itu dipicu oleh kecemburuan si istri lantaran suaminya diduga sering lirik sana lirik sini. Bahkan, si istri menuduh sang suami main serong dengan wanita lain. Namun, tudingan tersebut dibantah oleh sang suami. Dia balik menuduh kecemburuan istrinya berlebihan.

Si suami mengaku tak pernah melakukan perbuatan yang dituduhkan istrinya. Pria tersebut mengatakan, tudingan istrinya tidak benar. Namun, kelitan itu tak bisa membendung pertengkaran-pertengkaran dalam rumah tangga mereka. Biduk rumah tangga yang dibina selama sekian tahun berada di ujung tanduk. Rasa cemburu nyaris menumbangkan kebersamaan yang lama diarungi.

Dua Cemburu
Salah satu sifat orang beriman adalah cemburu. Sebab, cemburu merupakan isyarat adanya cinta kasih. Islam memuji lelaki yang punya rasa cemburu dan mencela orang yang tidak memilikinya.

Selain menganjurkan cemburu, Islam memberikan batas-batasnya. Bila batas tersebut dilanggar, rusaklah kebahagian rumah tangga. Suami yang saleh harus memahami hal itu agar dapat mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawadah, dan rahmah.

Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Allah itu pencemburu dan seorang mukmin juga pencemburu. Kecemburuan Allah itu terjadi bila ada seorang hamba datang kepada-Nya dengan perbuatan yang diharamkan-Nya. (HR. Bukhari).

Dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Hibban, Nabi SAW bersabda bahwa sesungguhnya ada cemburu yang disukai dan dibenci oleh Alloh SWT. Cemburu yang disukai Alloh adalah cemburu pada hal-hal yang pasti. Sedangkan cemburu yang dibenci oleh-Nya adalah cemburu pada hal yang tidak pasti.

Dengan demikian, ada dua macam cemburu. Pertama, cemburu yang merupakan fitrah manusia. Yaitu, cemburu netral yang bisa menjaga dan melindungi harga diri dan keluarga dari tindakan pencemaran citra atau sikap melampaui batas. Cemburu seperti itu dianggap akhlak mulia yang patut dimiliki setiap orang beriman.

Kedua, cemburu yang merugikan dan terlarang. Yaitu, cemburu tanpa alasan yang selalu menyiksa jiwa. Ketika pikiran sedang dikuasai prasangka buruk, kita dapat saja menuduh orang yang tidak bersalah. Di atas itu semua, rasa cemburu yang tidak beralasan dapat merusak dinamika dan ketenteraman kehidupan rumah tangga.
Menyikapinya

Api cemburu yang tidak pada tempatnya bisa menghanguskan kebenaran dan melahirkan tindakan gegabah ataupun aniaya. Tentang cemburu, istri Nabi SAW dan para sahabat pernah mengalaminya. Rasulullah pernah bertanya pada istrinya, Aisyah Ra, ”Apakah engkau pernah merasa cemburu?” Aisyah menjawab, ”Bagaimana mungkin orang seperti diriku tidak merasa cemburu jika memiliki seorang suami seperti dirimu.” (HR Ahmad).

Aisyah pun pernah diliputi cemburu ketika Nabi SAW sampai di Madinah bersama Shafiya yang sama-sama hijrah dan istri yang beliau nikahi di perjalanan menuju Madinah.

Aisyah berkata, ”Aku menyamar dan keluar untuk melihatnya. Namun, Rasululloh mengetahui apa yang kulakukan dan beliau berjalan ke arahku. Maka, aku bergegas meninggalkan beliau. Tapi, beliau mempercepat langkahnya hingga menyusulku. Kemudian beliau bertanya, ”Bagaimana pendapatmu tentang dirinya?” Aisyah menjawab dengan nada sinis, ”Dia adalah wanita Yahudi, putri seorang Yahudi.” (HR Ibnu Majah).

Kecemburuan fitrah yang demikian juga dimiliki oleh kalangan sahabat Nabi yang laki-laki. Misalnya, Sa’ad bin Ubadah. Dia pernah berkata, ”Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku, niscaya aku pukul dia dengan pedang yang tajam (untuk membunuhnya).” Maka, Rasulullah berkata, ”Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Sungguh aku lebih cemburu daripada dia dan Allah lebih cemburu daripada aku.” (HR Bukhari dan Muslim).

Nah, fenomena tentang cemburu yang beragam itu harus dipahami dan disikapi sesuai dengan syariat Islam. Menyikapi kecemburuan memang dipengaruhi oleh karakter atau temperamen individu. Namun, ada titik terang dalam hal kecemburuan.
Apa saja?
1. Konsisten menegakkan rangka amar makruf dan nahi mungkar.
2. Melindungi harga diri dan keluarga.
3. Mencegah kemungkinan terjadinya fitnah yang mencemarkan dan menodai
kesucian keluarga.
4. Husnudzdzan (positive thinking) atau berbaik sangka.
5. Mendahulukan keutuhan keluarga sakinah agar senantiasa diridai Alloh SWT.

Berdasar paparan di atas, jelas bahwa cemburu merupakan hal yang wajar, bahkan perlu dimiliki seorang muslim yang beriman kepada Alloh SWT, asal tidak melebihi batas.

Hal tersebut sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW. ”Ada tiga golongan yang tidak bakal masuk surga. Yakni, orang yang durhaka terhadap bapak ibunya, duyuts (orang yang tidak punya rasa cemburu), dan perempuan yang menyerupai laki-laki.” (HR Nasai dan Hakim).

(Dimuat Nurul Hayat edisi April 2010)

2 komentar:

ibn_ishak mengatakan...

salam akhi...salam perkenalan dari ana..ikhwah malaysia....

Eko Prasetyo mengatakan...

salam ukhuwan ya akhi...