Stop Kriminalitas Pendidikan



Oleh Eko Prasetyo

Mengejutkan. Saya mengelus dada saat membaca curahan hati seorang pelajar sebuah SMP di Jawa Barat. Betapa tidak, dia begitu rinci menjelaskan berbagai ”keanehan” yang dilihat langsung selama mengikuti unas. Kebetulan dia mengikuti unas di sekolah lain. Di situlah dia menyaksikan hal tidak terpuji tersebut.

Saya mendapatkannya di sebuah milis pendidik. Berikut cuplikan tulisan siswa tersebut.

Selama saya mengikuti UN di sekolah A ada sesuatu yang membuat saya dan teman saya merasa geram, yaitu ulah para murid SMP itu yang berlaku curang dalam mengerjakan soal UN. Mereka mendapat kunci jawaban semua mata pelajaran UN, mereka mendapatkan kunci jawaban itu dari guru mereka sendiri.

Pada paragraf lainnya, si murid tersebut melanjutkan curhatnya yang membuat saya tercengang. Berikut petikan curhat itu.

Banyak sekali cara mereka menyembunyikan kunci jawaban itu ketika UN berlangsung, diantaranya ada yang menuliskan kunci jawaban di sepotong kertas kecil, diatas papan jalar, diatas meja, didalam kaos kaki, dan masih banyak cara mereka yang lain.

Siswa tersebut berusaha menahan diri. Sebelumnya, dia telah diajarkan oleh gurunya untuk menjunjung tinggi kejujuran saat unas. Tidak boleh menyontek, apa pun risikonya, misalnya tidak lulus sekalipun. Ketika ditawari jawaban soal oleh siswa lain, dia menolaknya. Takut, katanya. Di paragraf berikut, hal tersebut dia sampaikan.

Melihat semua itu membuat saya marah, bahkan membuat saya takut pada Allah karena saya tidak bisa melakukan apa-apa disaat saya menyaksikan itu semua. Tapi, kenapa mereka yang melakukan hal itu tidak punya rasa takut pada Allah? dan kenapa guru mereka justru menjerumuskan mereka pada yang perbuatan yang salah?. Entah apa yang ada dipikiran mereka.

Saya kagum pada siswa tersebut. Pertama, saya acungi jempol buat dia karena tulisannya sangat bagus untuk anak seusianya. Saya sengaja tidak mengedit sedikit pun tulisannya. Saya biarkan begitu apa adanya. Sebuah ungkapan yang polos dan jujur dari seorang pelajar.

Kedua, saya kagum atas keberaniannya mengungkapkan kecurangan tersebut. Ketiga, ini yang utama, saya salut dengan keputusannya untuk tidak menerima jawaban soal unas. Alasannya, takut kepada Allah. Bahkan, dia menyatakan takut karena merasa tak bisa berbuat apa-apa ketika melihat kecurangan itu terjadi. Subhanallah.

Kekagetan saya berlanjut saat mendapatkan”oleh-oleh” dari ibu angkat saya di Bogor. Beliau kebetulan memiliki teman yang menjadi pengawas unas di sekolah lain. ”Oleh-oleh” yang saya maksud adalah pengalamannya selama tiga hari menjadi pengawas unas di sekolah lain. Dia menceritakan, pada hari pertama unas, tidak ada keanehan dan keganjilan.

Pada hari kedua, para siswa mengerjakan soal unas bahasa Inggris. Nah, saat itulah, dia menyaksikan kecurangan di dalam kelas. Misalnya, beberapa siswa tampak sibuk dengan kertas jawaban tanpa melihat soal di hadapan mereka.

Si guru pengawas itu curiga, para murid tersebut sudah memiliki kunci jawaban. Kecurigaannya terbukti setelah menanyakan kejanggalan tersebut kepada seorang siswa. Siswa tersebut mengatakan, jika datang lebih pagi, mereka bakal dapat kunci jawaban sudah beredar di kelas. Siswa itu tidak menyebutkan sumber kunci jawaban tersebut.

Kekecewaan si pengawas tersebut bertambah ketika dia melihat pemandangan menyedihkan pada hari ketiga. Saat itu, soal unas yang dihadapi adalah matematika. Ketika dia mengedarkan daftar hadir pada setengah jam pertama, beberapa mruid sudah menandai lembar jawabannya dengan titik-titik (sebagai tanda). Padahal, soal belum disentuh.

Pada hari terakhir unas, ketika pelajaran IPA, si guru pengawas itu tidak mendeteksi kecurangan. Tapi, tampaknya tim pengawas independen (TPI) dari unsur mahasiswa mulai merasa ada kecurangan. Itu terlihat dari seringnya intensitas mereka mengamati kelas, jauh lebih sering ketimbang hari-hari sebelumnya. Mereka mengintip dari jendela dan membuat catatan-catatan.

Tapi, banyak guru yang tidak suka dengan menyindir TPI saat pengumpulan berkas. Padahal, TPI menjalankan tugas sesuai fungsinya.

Ibu angkat saya lantas memberikan catatan kecil yang ditulis oleh guru pengawas itu. Berikut cuplikan tulisannya yang tidak saya edit sama sekali.

Beberapa hal yang menjadi bahan perenungan saya:
1. Ternyata masih banyak guru yang tidak mencerminkan akhlak yang terpuji dilihat dari interaksi antara bukan muhrim, memanggil dengan sebutan yang tidak baik dan saya sangat…sangat astaghfirullah dan ngeri dengan pendidikan di sekolah “negeri.”
2. Masih banyak guru yang pro terhadap kecurangan dengan alasan kasihan jika anak-anak tidak lulus dan membuat malu guru, terutama kepala sekolah.
3. Berharap semakin banyak ikhwah bisa masuk ke lini ini karena guru, bagaimanapun menjadi panutan bagi murid-muridnya…

Dua pengalaman dari siswa SMP dan guru pengawas di atas cukup menjadi gambaran bahwa kriminalitas telah merambah dunia pendidikan kita. Kronis pula!

Dengan membiarkan anak-anak kita menerima jawaban soal unas, itu sama dengan menanamkan benih ketidakjujuran. Mereka dibiarkan berbuat kriminal dengan mengorbankan kejujuran dan kehormatan.

Masalah ini menjadi pekerjaan rumah (PR) besar. Karena itu, kita mesti bisa belajar dari kesalahan hari ini dan menjadi lebih baik esok hari. Stop kriminalitas pendidikan sekarang juga! Jika tidak, jangan salahkan jika banyak orang yang mengumandangkan kalimat sastrawan Taufiq Ismail. Yakni, Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.

Wallahu ’alam bishshawab.

Graha Pena, 29 April 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id
(sumber foto: Kompas)

Introspeksi bagi Semua



Catatan Eko Prasetyo,
editor Jawa Pos

Ujian nasional (unas) telah diumumkan. Hasilnya, diperoleh data bahwa angka kelulusan turun empat persen dibandingkan tahun lalu. Angka kelulusan yang semula 93,74 persen (2009) kini anjlok menjadi 89,88 persen (metrotvnews.com, 26/4/2010).

Seperti yang sudah-sudah, hasil pengumuman unas selalu mengundang pro dan kontra. Baik di kalangan pejabat, orang tua, sekolah, maupun murid. Banyak yang meminta unas tidak dijadikan tolok ukur kelulusan. Tak sedikit yang mengkritik bahwa unas sudah melenceng dari hakikatnya dan tujuan semula, yakni memetakan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.

Seperti yang sudah-sudah pula, unas tahun ini menelan korban. Kompas (27/4/2010) melaporkan, Wahyu Ningsih, siswi di SMKN di Muaro Jambi, tewas bunuh diri. Diduga, dia nekat mengakhiri hidupnya karena tak lulus unas. Nilai bahasa Indonesianya mendapatkan poin absolut: delapan. Namun, nilai matematikanya hanya tiga koma. Stres dan shock berat melanda gadis 17 tahun itu. Akal sehat pun seolah dipinggirkan. Wahyu memilih menenggak racun untuk menutupi rasa malunya lantaran tak lulus unas. Menyedihkan.

Malam setelah deadline (27/4), saya menyempatkan menonton berita di televisi. Salah satu topik berita adalah pengumuman kelulusan siswa SMA di Sulawesi Selatan. Banyak yang kedapatan tidak lulus. Sang kamerawan menyorot puluhan siswa-siswi yang menangis histeris karena tidak lulus unas. Bahkan, ada yang pingsan. Mereka menyesal karena tak bisa berbagi bahagia dengan rekannya yang lulus.

Dunia pendidikan kita pun tak akan lupa dengan kasus di SMAN 2 Ngawi pada 2009. Saat itu, mereka mencatat rekor tidak lulus unas 100 persen. Yang ironis, para siswa sekolah tersebut diduga mendapatkan jawaban palsu.

Masih pada 2009, seorang siswa SMA bernama Tri Sulistiono nekat menceburkan diri ke dalam sumur sedalam 15 meteri di rumahnya. Diduga, dia melakukan bunuh diri lantaran tak kuat menanggung beban psikis setelah dinyatakan tidak lulus unas (Suara Merdeka, 25/6/2009).

Dengan fakta tersebut, tak heran jika ada pihak yang menyebut bahwa unas bisa menjadi ”pembunuh”.

Introspeksi bagi Pemerintah
Kejadian memilukan seputar siswa yang bunuh diri gara-gara tak lulus unas seharusnya bisa membelalakkan mata pemerintah. Dalam hal ini, Kemendiknas yang memiliki otoritas di bidang pendidikan seharusnya mengambil langkah evaluasi terhadap unas. Khususnya, dampak unas sebagai penentu kelulusan dengan patokan nilai yang ”mencekik”.

Bagi siswa-siswa di kota besar, yang mungkin rutin ikut tryout dan berbagai bimbel, unas mungkin bukan momok menakutkan. Namun, bagi siswa lain di daerah, yang jarang terdapat bimbel, unas bisa jadi monster.

Pemerintah juga tak boleh melupakan terjadinya berbagai kasus yang mencoreng pendidikan terkait unas. Di antaranya, tertangkapnya sejumlah kepala sekolah, guru, dan staf dinas pendidikan di Bengkulu Selatan (Detiknews, 8/6/2009). Mereka diduga mencuri soal unas. Untung, soal belum dibagikan ke siswa sehingga unas urung bocor.

Yang paling mutakhir, dua siswa SMAN 2 Medan (SN dan JWB) ditangkap polisi karena membawa lembar jawaban soal unas pada hari pertama ujian (Tempointeraktif, 23/32010). Di Dumai, Riau, ratusan siswa SMP mengaku menerima SMS jawaban unas (Suara Merdeka, 1/42010). Hal serupa terjadi di berbagai daerah seperti Cirebon, Pekanbaru, Garut, Lhokseumawe, dan lain-lain.

Kasus-kasus yang merendahkan dunia pendidikan tersebut seharusnya mampu membuka mata hati dan nurani otoritas pendidikan di negeri ini. Kita tentu tak ingin kasus pencurian soal unas oleh pelaku pendidikan dan bunuh diri lantaran stres tak lulus unas oleh siswa terulang pada masa mendatang.

Penerapan unas sebagai iklim penentu kelulusan sudah saatnya ditinjau ulang. Mengingat, peta pendidikan di tanah air sebenarnya belum merata.

Instrospeksi bagi Yang Tak Lulus

Setelah pengumuman hasil unas 2009, banyak pihak berharap agar kasus pelajar yang bunuh diri dengan mencebur sumur tidak terulang. Nyatanya, kasus bunuh diri murid yang tak lulus unas terjadi lagi tahun ini.

Memang, tidak lulus unas bisa menjadi beban moral bagi siswa yang tidak lulus. Mereka merasa putus asa setelah perjuangannya selama tiga tahun harus beujung pada kegagalan. Mereka mungkin tak kuat menanggung malu di hadapan keluarga, teman, dan masyarakat. Tidak lulus unas dianggap petaka.

Sebenarnya, para siswa yang tidak lulus unas tidak perlu berkecil hati. Mereka juga tidak perlu larut dalam keputusasaan. Sebab, masih ada kesempatan pada ujian kedua. Pintu masa depan belum tertutup. Seandainya tidak lulus pun, rasa sedih tak boleh dibiarkan berlama-lama dan berlarut-larut. Mereka harus bisa menjadi ”pemenang.” Artinya, mereka bisa menginstrospeksi diri sendiri. Sudah benarkah pola belajar selama ini? Pantaskah saya lulus jika jarang belajar dan tak memperhatikan guru ketika pelajaran berlangsung? Pertanyaan inilah yang mesti dijadikan cermin sekaligus cambuk penyemangat.

Introspeksi bagi Semua
Memang, unas tak melulu memuat kepedihan, kesedihan, dan keputusasaan. Banyak yang terbuai euforia bagi yang lulus unas. Namun, perlu juga dicatat, tak sedikit siswa yang lulus merayakannya dengan cara berlebihan yang justru bukan kegiatan positif. Misalnya, mencoret-coret seragam, menenggak minuman keras, dan konvoi roda dua yang mengganggu lalu lintas. Euforia yang memprihatinkan.

Mungkin, kita juga perlu memahami mengapa mereka melakukan perbuatan yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain tersebut. Bisa jadi, perayaan unas dengan konvoi dan mencoret seragam merupakan cara untuk ”membunuh” rasa khawatir mereka. Yakni, kekhawatiran akan tidak lulus.

Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan mereka digembleng dengan pelajaran-pelajaran yang diunaskan. Begitu takutnya mereka akan unas sehingga ada siswa yang pergi ke dukun untuk meminta jampi-jampi supaya bisa lulus unas. Maka, ketika benar-benar dinyatakan lulus, mereka merasa seperti meraih kemenangan besar.

Lulus unas dianggap sebagai akhir dari perjuangan. Padahal, perjuangan tidak boleh berakhir. Orang yang akan meninggal (sakaratul maut) pun pasti berjuang, yakni mengucapkan kalimat tauhid agar mencapai kematian yang baik (husnul khatimah). Maka, drama unas yang melulu berisi tragedi ini hendaknya menjadi introspeksi bagi kita semua.

Graha Pena, 28 April 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id
(sumber foto: Kompas.com)

Kejujuran Itu Langgeng

Oleh Eko Prasetyo*)

Hari ini (26 April 2010), hasil ujian nasional (unas) siswa SMA/SMK/MA diumumkan. Saya tidak hendak menyoroti banyaknya siswa yang tak lulus unas. Sebab, dalam ujian, pasti ada yang lulus dan tidak lulus. Dengan standar nilai kelulusan yang cukup ”mencekik” plus ketatnya pengawasan, tingginya angka ketidaklulusan merupakan keniscayaan.

Ada hal yang lebih menarik untuk dicermati, disikapi, dan diatasi. Yakni, krisis kejujuran. Tak bisa dimungkiri, salah satu penyakit kronis yang melanda dunia pendidikan kita saat ini adalah kejujuran. Orang mengira bahwa uang bisa membeli kejujuran. Tahun lalu saja, dunia pendidikan kita tercoreng dengan kasus 100 persen siswa di SMAN 2 Ngawi tidak lulus. Penyebabnya, mereka mendapatkan kunci jawaban soal yang salah! Memalukan.

Bahkan, demi lulus 100 persen, ada kepala sekolah yang nekat mencuri lembar soal dan jawaban unas. Ada pula yang sekolah yang meminta murid-muridnya datang lebih pagi untuk memberikan jawaban soal unas. Busyet!

Ada yang bilang bahwa kejujuran itu cuma retorika. Di negeri ini, orang-orang jujur dianggap sebagai kaum pinggiran. Mereka justru dimusuhi dan dianggap munafik. Celaka.

****
Pada 9 Desember 2009, bertepatan dengan peringatan hari antikorupsi sedunia, ada pahlawan kejujuran dari Bandung. Dia adalah Oo Kosasih. Dia menerima uang kadeudeuh (penghargaan) Rp 1 juta dari Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda. (Detiknews.com, 10/12/2009).

Uang kadeudeuh tersebut diberikan karena atas kejujuran Oo. Dia mengembalikan tas milik Rian yang ditemukan di pinggir Jalan Wastukencana pada November 2009. Meski sederhana, tindakan Oo patut mendapatkan apresiasi.

Tentunya, di luar sana, masih banyak Oo Kosasih yang lain. Nah, orang-orang seperti mereka, pahlawan kejujuran, pantas mendapatkan kadeudeuh, bukan malah dimusuhi dan dianggap munafik.

Dalam kejadian lain, saya mendapati seorang tetangga yang rela kembali ke pasar, padahal jarak dari rumahnya cukup jauh. Gara-garanya, dia menerima uang kembalian lebih Rp 5 ribu. Merasa si pedagang keliru karena memberikan uang kembalian lebih, tetangga saya tersebut buru-buru mengambil sepeda onthel dan bablas ke pasar untuk menyerahkan uang Rp 5 ribu tersebut.

Mungkin, Oo dan tetangga saya tadi bisa dengan mudah menelip tas dan uang kembalian itu. Tapi, mereka tidak melakukannya. Mereka lebih memilih mengembalikannya. Mungkin saja, kondisi ekonomi mereka pas, tidak kurang dan tidak lebih. Tapi, mereka masih menjunjung tinggi kejujuran, satu-satunya yang bisa mereka banggakan di hadapan keluarga. Setidaknya, mereka tidak menanamkan benih tumbuhan neraka di dalam tubuh anak istri masing-masing dengan uang hasil korupsi.

Ya, kejujuran merupakan investasi jangka panjang yang menguntungkan. Baik bagi perseorangan maupun suatu bangsa. Betapa membanggakan jika suatu bangsa memiliki banyak warga negara yang jujur.

Sebuah pepatah Belanda menyebutkan, eerlijk duurt het langst (kejujuran itu langgeng). Saya tidak meragukan kalimat tersebut. Dengan berbuat jujur, kita bisa tidur nyenyak tanpa harus takut dikejar-kejar rasa bersalah dan berdosa. Dengan bersikap jujur, kita tak perlu khawatir kehilangan wibawa, pangkat, dan jabatan.

Seperti halnya biduk rumah tangga. Manakala ditimpa prahara karena api ketidakjujuran seperti berbuat serong, jangan harap rumah tangga itu bakal langgeng. Negeri ini pernah diterpa badai ketidakjujuran selama 32 tahun lebih. Ibarat api dalam sekam, rezim tersebut tidak langgeng dan justru tumbang.

Maka, masihkah kita meragukan bahwa eerlijk duurt het langst?

”Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi”. QS.Al-Muthafifin (83) ayat 1–3


Graha Pena, 26 April 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Pelajaran dari Nelayan Tua



Oleh Eko Prasetyo*)

Buku : The Old Man and The Sea
Penulis : Ernest Hemingway
Tebal : 131 Halaman
Penerbit: Selasar Surabaya Publishing
Cetakan : I April 2008
Harga : Rp 31.000

”Jangan pernah menunda membaca novel indah ini atau Anda menyesal!”
(Efendi B.P.)

Terus terang, kalimat tersebut sangat provokatif. Namun, ketika saya menuruti sarannya, yakni membaca novel yang dimaksud, saya sadar bahwa saran tersebut benar! Novel itu bertajuk The Old Man and The Sea (Lelaki Tua dan Lautan).

Mungkin, tak berlebihan jika saya menyebut novel tersebut sebagai karya emas Ernest Hemingway. Novel itu dipublikasikan di Kuba lewat majalah Life edisi pertama September 1952. Tercatat, dalam waktu dua hari saja, The Old Man and The Sea mereguk untung luar biasa, yakni terjual 5,3 juta eksemplar. Novel fiksi tersebut diterbitkan kali pertama oleh Penerbit Charles Scribner’s Sons pada 8 September 1952.

Cerita sukses The Old Man and The Sea tidak berhenti pada keuntungan penjualannya. Saking fenomenalnya, novel itu mendapatkan hadiah Pulitzer pada 1953 untuk kategori fiksi. Pada tahun yang sama, The Old Man and The Sea mendapatkan Award of Merit Medal for Novel dari American Academy of Letters. Setahun kemudian, novel yang mengisahkan kegigihan seorang nelayan tua tersebut memperoleh penghargaan bergengsi Nobel Sastra 1954. Novel itu diakui sebagai penuangan gagasan hebat yang dipadu seni bernarasi yang indah.

Cara Mencintai Profesi
The Old Man and The Sea mungkin menjadi karya fiksi terakhir dan terbesar Ernest Hemingway. Setelah didapuk mendapatkan nobel sastra pada 1954, hidup Hemingway terasa begitu berat. Dia mengalami dua kali kecelakaan pesawat beruntun dalam sebuah safari.

Selain mengalami luka serius pada bahu, dada, dan tangan, Hemingway tenderita gegar otak parah. (www.wikipedia.org). Sukses Hemingway sebagai jurnalis dan novelis akhirnya berujung tragis. Dia bunuh diri dengan menembakkan pistol ke kepalanya pada 2 Juli 1961, menjelang ulang tahunnya ke-62.

Namun, dunia tetap mengenang Hemingway sebagai salah seorang penulis produktif pada masanya. Dunia tentu bakal berterima kasih kepada Hemingway untuk mahakarya The Old Man and The Sea.

Betapa tidak, kisah dalam novel tersebut penuh dengan makna dan pesan hidup yang baik dari seorang nelayan tua bernama Santiago.

Santiago mampu mengajarkan pelajaran kehidupan dengan teramat baik. Sebuah inspirasi yang ditularkan Santiago adalah kesabaran, kekuatan hati, dan sikap pantang menyerah terhadap kesulitan.

Santiago digambarkan sebagai nelayan yang keras hati. Dia tetap memancing, memancing, dan memancing sampai mendapatkan ikan. Dia tak mau pulang tanpa membawa hasil. Semangatnya yang tinggi mampu menaklukkan ketakutan akan keganasan lautan.

Kisah heroik Santiago mencapai puncak saat dia berada di lautan selama 81 hari. Selama itu pula dia belum mendapatkan ikan. Namun, dia tak lekas putus asa. Begitu cintanya terhadap profesi sebagai nelayan, Santiago yakin akan mendapatkan buah dari kerja keras dan semangatnya.

Dia ternyata benar! Pada hari ke-81, Santiago mendapatkan ikan besar. Buah kesabarannya menuai kebahagiaan.

Meski gagasannya sederhana, pesan dalam The Old Man dan The Sea tak sederhana. Ernest Hemingway mengajak pembaca untuk menyelami kehidupan yang penuh liku-liku ini dengan sabar dan semangat.

Perjuangan Santiago, si nelayan tua, di tengah lautan digambarkan begitu apik dalam novel ini. Dia seolah mengajarkan kepada kita tentang cara mencintai profesi. Sebuah hal yang terkadang kita abaikan.

Sebab, tak jarang kita mengeluhkan profesi kita. Keluhan-keluhan itu hanya berbuah rasa tak puas. Meski rasa tak puas adalah kodrat manusia, apakah kita tak bisa sejenak berpikir tentang solusinya? Jawabannya tentu ada di dalam hati masing-masing. Kitalah yang sebenarnya menentukan jalan hidup kita, bukan orang lain, bukan pula Tuhan yang Maha Pengasih.

*) jurnalis dan editor buku,
tinggal di prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Sepatu Spirit

Oleh Eko Prasetyo

Pak Sam, sebut saja begitu, pada akhir 2004 diterima mengajar di sebuah SMP di daerah terpencil di Kabupaten Malang. Dia mengampu mata pelajaran bahasa Inggris untuk siswa kelas 3. Hari-hari pertamanya mengajar diselimuti kisah nanar. Perasaan Pak Sam tak menentu kala itu.

Betapa tidak, dia harus mengajari puluhan murid yang bakal menghadapi ujian akhir sekolah dan nasional. Padahal, kebanyakan siswa tidak mengerti tentang bahasa Inggris tersebut. Bahkan, tak sedikit yang ”nol” alias tak bisa mengeja dengan baik ejaan bahasa Inggris.

Karena tekadnya sudah tinggi untuk mengajar, semangat Pak Sam tak surut. Dia mencari cara agar bahasa Inggris mampu menjadi pelajaran yang menyenangkan bagi anak didiknya. Jika siswa sudah mulai menyukai, tentu mereka bakal menyerap pelajaran dengan mudah. Begitu pikir Pak Sam kala itu.

Terinsipirasi oleh model pembelajaran luar kelas di kampusnya dulu, Pak Sam menemukan ide. Dia mengajukan izin kepada kepala sekolah untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris di luar kelas (outdoor). Alasannya, mengajak siswa mampu memahami pelajaran dengan baik di alam bebas yang masih segar itu. Ya, Pak Sam memang mengajar di sekolah yang terletak di daerah pegunungan. Tak jauh dari sekolah tersebut, terdapat air terjun yang bukan main indahnya.

Gayung bersambut, sang kepala sekolah mengabulkan permintaan Pak Sam. Mulai saat itu, Pak Sam mengajari para siswanya di luar kelas. Awalnya, dia mengajak para siswa merasa menyatu dengan alam. Setelah merasa segar, mereka diajak berdiskusi tentang materi pelajaran. Dua jam pelajaran terasa begitu cepat berlalu. Anak-anak mulai tampak antusias. Hal inilah yang diharapkan Pak Sam.

Pak Sam begitu cepat mendapatkan tempat di hati para siswanya. Tak jarang, para siswa sering bertanya kepada Pak Sam di luar jam pelajaran, bahkan bertanya tentang mata pelajaran lain. Suatu hal yang hampir tak pernah terjadi sebelumnya. Melihat gelagat baik itu, kepala sekolah menyatakan senang. Karena itu, dia mendukung Pak Sam untuk memberikan bimbingan pelajaran di luar kelas.

Ada pengalaman lain yang dialami Pak Sam. Suatu pagi, ada seorang siswa yang dihukum berdiri di dekat tiang bendera. Hari itu bertepatan dengan Senin, ketika upacara berlangsung. Sang siswa dihukum lantaran tidak memakai sepatu.

Setelah jam istirahat, Pak Sam memanggil murid tersebut. Pak Sam menanyakan alasan siswa itu tak memakai sepatu ketika upacara pagi tadi. Si murid menjawab, dirinya tak sempat memakai sepatu karena harus mencari rumput untuk pakan sapi. Sebuah hal yang lazim dilakukan anak-anak sebayanya di dusun, apalagi dekat pegunungan. Si murid menambahkan, dirinya sebetulnya sudah malu kepada teman-temannya karena sepatunya tak layak dipakai. Sebab, beberapa bagiannya robek lantaran digigit tikus.

Pak Sam lalu meminta muridnya tersebut untuk mampir ke rumahnya setelah jam pulang sekolah. Tempat kos Pak Sam sebenarnya cukup jauh dari sekolah. Sebuah kos yang sederhana di rumah berlantai tanah, juga lazim di pedesaan. Di situlah Pak Sam merajut mimpi dan asanya sebagai guru. Di situ pula, dia melayani privat murid-muridnya tanpa meminta bayaran.

Si murid akhirnya tiba di kediaman gurunya tersebut dengan naik bus kecil. Pak Sam tanpa basa basi langsung meminta si murid memakai helm. Mereka lalu pergi ke kota kecamatan dengan naik motor tua milik Pak Sam. Rupanya, Pak Sam menuju pasar. Di sana sasarannya adalah toko sepatu. Setiba di tempat yang dimaksud, Pak Sam menyuruh si murid untuk memilih sepatu yang disukainya dan sesuai dengan ukuran kakinya.

Setelah membayar sepatu itu, Pak Sam berpesan kepada sang murid. Pak Sam meminta muridnya itu berjanji untuk giat belajar, terutama dalam pelajaran bahasa Inggris. Sebenarnya, harga sepatu itu hampir separo dari honor Pak Sam sebulan sebagai guru tidak tetap (GTT). Namun, Pak Sam yakin pemberiannya itu tak sia-sia.

Hari demi hari berlalu. Pelajaran bahasa Inggris yang semula ”ditakuti” kian digemari, bahkan menjadi pelajaran primadona di kelas Pak Sam. Berkat motivasi Pak Sam dan metode outdoor class, para siswa mampu menyerap pelajaran dengan baik. Dari yang tak bisa mengeja menjadi bisa melafalkan dengan baik. Kemudian, memperkaya perbendaharaan kosakata. Waktu beberapa bulan terasa begitu singkat.

Ketika musim ujian tiba, hati Pak Sam agak sedikit tenang. Ada enam siswa yang mendapatkan nilai di bawah lima untuk mapel bahasa Inggris. Kendati begitu, Pak Sam tak tampak sedih. Sebab, jika menilik kondisi sebelumnya, dia malah memprediksi banyak siswanya yang bakal dapat nilai merah.

Sekian tahun kemudian, ketika Pak Sam sudah pindah ke kota lain, dia mendapatkan kabar bahwa beberapa muridnya di SMP itu dulu diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Bahkan, dua di antaranya mengambil jurusan bahasa Inggris. Salah satunya adalah murid yang pernah dihukum di dekat tiang bendera. Hati Pak Sam bahagia, sangat bahagia mendengar kabar tersebut. Dia yakin sepatu pemberiannya dulu memberikan spirit dan kepercayaan diri bagi siswa tadi.

Sejenak Pak Sam melihat ke kolong meja di sudut rumahnya, matanya menerawang. Sunyi. Tampak di situ sepasang sepatu usang. Talinya agak kumal dan beberapa bagian sudah kusam karena termakan waktu. Sepatu itulah yang dulu dipakai Pak Sam untuk mengantarkan siswa tadi menjemput impiannya, impian untuk merajut masa depan yang lebih baik.


Graha Pena, 15 April 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Jangan Tersenyum kepada Orang Buta

Oleh Eko Prasetyo

Jangan tersenyum kepada orang buta.
Jangan berbisik kepada orang tuli.

Dua kalimat tersebut saya simak dari seorang dai terkenal di forum pengajian. Dua kalimat tersebut dilontarkan sebagai perumpamaan tentang hal yang mubazir. Saya lebih menganggapnya sebuah pesan mendalam. Yakni, konsisten.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV (2008), konsisten masuk dalam kelas kata sifat. Ada dua pengertian. 1. tetap (tidak berubah-ubah); taat asas; ajek. 2. selaras; sesuai: perbuatan hendaknya -- dng ucapan.

Berkaitan dengan konsisten, negeri yang ”katanya” gemah ripah lohjinawi ini mengalami krisis moral yang begitu akut. Salah satunya, tumbuh suburnya sifat tidak konsisten alias inkonsisten. Contohnya cukup banyak. Sebut saja, kasus Gayus Halomoan Tambunan. Pegawai golongan III A itu terseret kasus makelar kasus (markus) di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Negara dirugikan puluhan miliar rupiah. Diinkasi, kasus semacam ini sudah ”membudaya” di instansi tersebut. Ironis!

Saya sangat prihatin sekaligus geram dengan mencuatnya kasus itu, yang diekspos besar-besaran oleh media. Slogan ”Orang Bijak Taat Pajak” seakan-akan dikebiri oleh koruptor macam Gayus. Kegeraman itu mungkin juga dirasakan oleh banyak wajib pajak lainnya. Wajar jika kasus tersebut memunculkan plesetan ”Orang Pajak Makan Pajak.”

Tak bisa dimungkiri, kasus Gayus bisa jadi hanya ”kelas teri”. Seorang jurnalis senior dan pengamat ekonomi bahkan pernah mengatakan bahwa mungkin saja ada kasus semacam Gayus yang dapat dikatakan ”kelas hiu”, bahkan ”kelas paus”. Busyet!

Kasus Gayus sebenarnya merupakan tamparan telak bagi pemerintah. Betapa tidak, pemerintah bisa disebut gagal dalam mengemban amanah rakyat: konsisten. Baik konsisten dengan janji saat kampanye pilpres maupun janji memberantas habis korupsi.

Konsisten seolah menjadi endemi di negeri yang ”katanya” kaya dan subur makmur ini. Ketika banyak orang berlomba-lomba untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin, mereka menawarkan aroma sedap kampanye: konsisten dalam memegang komitmen.

Sayang, tak ada hitam di atas putih alias tak ada surat kontrak janji. Andai itu ada dan diberlakukan, kita sebagai rakyat tentu bisa menagih konsisten yang pernah ditawarkan saat kampanye, baik pilpres maupun pilkada. Yang ada saat ini adalah banyak pemimpin berusaha ngeles alias mencari-cari alasan untuk menjaga image.

Sebuah pelajaran mungkin bisa diambil dari kisah khalifah Umar bin Khattab. Dia dikenal sebagai pemimpin yang jujur dan mau turba (turun ke bawah) untuk melihat kondisi riil rakyatnya.

Dalam suatu kisah mahsyur, Umar diceritakan pernah memanggul gandum untuk diberikan kepada wanita yang anaknya kelaparan. Wanita itu memasak batu dalam kuali untuk menenangkan anaknya yang menangis karena lapar yang amat sangat. Kejadian tersebut diketahui Umar.

Hati kecil Umar sebagai pemimpin gerimis melihat pemandangan itu. Dia bersikap gentle dan konsisten dengan tanggung jawabnya sebagai khalifah. Dia berjalan puluhan kilometer menuju rumahnya tanpa diketahui pengawalnya. Dia merasa telah berkhianat jika tak membantu wanita dan anaknya yang lapar tadi. Maka, Umar memanggul karung berisi gandum untuk diberikan kepada wanita tadi.

Ketika melihat wanita tadi memasak gandum dan melihat anaknya makan dengan lahap, Umar sedih dan terharu. Dia berkata bahwa tugas sebagai pemimpin sangat berat. Sebab, seorang pemimpin harus tahu dan peka tentang apa yang dialami oleh rakyatnya.

Maka, ketika Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khattab, hendak dicalonkan sebagai pemimpin, Umar dengan tegas menolaknya. ”Cukup satu Umar saja dalam keluarga ini yang menjadi pemimpin. Sebab, tugas pemimpin itu sangatlah berat,” ucap Umar.

Peristiwa tersebut memang telah terjadi ratusan abad yang lampau. Namun, pengalaman Umar itu hendaknya bisa dijadikan cermin tentang pentingnya menjaga sikap konsisten. Terutama, konsisten dengan tugas dan tanggung jawab.

Kasus Gayus bisa dijadikan pelajaran untuk anak didik kita. Setidaknya, kita bisa meramu konsisten sebagai obat mujarab guna menjauhkan diri dari penyakit kronis berbahaya yang bernama korupsi.

Saya berangan-angan, kalau saja pemimpin kita mau bersikap konsisten, tentu kasus Bank Century, kasus Gayus, dan kasus serupa lain tidak akan menjadi benang kusut yang sulit diurai.

Maka, benarlah pesan yang terkandung kalimat jangan tersenyum kepada orang buta dan jangan berbisik kepada orang tuli. Rupanya, kita secara tidak sadar (atau sadar?) kerap melakukan dua hal tadi. Bahaya!

Graha Pena, 11 April 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Saya Berharap Beliau Membaca Artikel Ini

Oleh Eko Prasetyo

Awal Januari 2010, saya diundang untuk mengikuti reuni di sebuah SMP negeri di Bekasi Timur. Saya memang salah satu alumnus sekolah tersebut. Sayang, saya tak bisa datang saat itu karena mempersiapkan pertemuan Dahlan Iskan dengan ribuan guru di DBL Arena, Surabaya. Namun, saya menyampaikan salam lewat pesan singkat untuk kawan-kawan yang hadir bersama keluarga mereka ketika itu.

Pagi itu, Dahlan Iskan menyampaikan apresiasi yang besar kepada guru-guru yang merupakan peserta program Safari Diklat Jurnalistik Jawa Pos. Bagi saya, sekecil apa pun, apresiasi memang layak diberikan diberikan kepada korps Oemar Bakrie. Sebab, tak bisa dimungkiri, para gurulah yang bakal menentukan masa depan negeri ini.

Betapa tidak, jika anak didik para guru saat ini berusia 13–16 tahun, 20 mendatang mereka akan memasuki usia produktif, 32–36. Dahlan Iskan pernah mengatakan, produktif atau tidaknya anak didik tersebut pada 20 tahun mendatang sangat ditentukan oleh guru.

Saya lalu mengajak ingatan ke peristiwa beberapa tahun silam, saat masih duduk di kelas 3 SMPN itu. Suatu ketika, kelas kami sangat gaduh karena kebetulan salah seorang guru kami absen tidak mengajar karena satu alasan. Oleh wali kelas, kami diberi tugas mencatat.

Setelah itu, wali kelas kami berlalu. Nah, mulailah kelas kami gaduh dan berisik, entah itu wujud kesenangan atau pelampiasan kekesalan karena kami sering disuruh mencatat dan mencatat. Bosan sekali.

Ada yang mengobrol, ada yang menggambar di buku tulis, bahkan ada yang malah jajan ke kantin. Setengah jam berlalu dengan kepenatan mencatat, ada beberapa teman yang bercanda. Celakanya, ada kursi yang patah karena candaan mereka. Saya tak ingat persis kejadian tersebut. Namun, suara kursi patah itu terdengar cukup keras.

Kami cukup waswas. Pasalnya, kelas kami hanya terpisah dua kelas dari ruang guru. Kami khawatir suara itu terdengar oleh wali kelas kami. Kekhawatiran tersebut terbukti.

Wali kelas kami datang. Semuanya tertunduk. Saya lihat, wajah dua teman yang mematahkan kursi itu sangat pucat. Tampak sekali bahwa mereka ketakutan karena memendam rasa bersalah yang menggunung.

Beliau, wali kelas kami, memperlihatkan raut wajah tak senang. Begitu mengetahui ada kursi yang patah, beliau tak bisa menyembunyikan mimik murka.

Tentu saja, kondisi itu bisa bermakna tak bersahabat. Kami betul-betul ketakutan karena rasa bersalah. Dua teman saya tadi mengaku bersalah. Namun, tampaknya itu tak bisa menghindarkan mereka dari hukuman. Mereka dijewer dan (maaf) ditampar.

Belum cukup di situ. Seluruh siswa laki-laki disuruh maju di depan kelas. Kami semua dinilai lalai dan tak bertanggung jawab. Wali kelas kami berasalan, beliau tak bisa menggantikan guru yang absen tersebut karena mengajar di kelas lain. ”Karena itu, kalian saya beri tugas mencatat,” tuturnya.

Akhirnya, kami, termasuk saya, dihukum jewer.

Barangkali, andai ada salah satu di antara kami yang wadul ke orang tua, tentu wali urusannya bakal lebih panjang. Ternyata, tidak ada yang melaporkan kejadian itu. Alasannya macam-macam. Mulai takut hingga rasa bersalah dan ingin bertanggung jawab.

Kami tidak diminta mengganti kursi yang rusak itu. Sang wali kelas ingin kursi tersebut diperbaiki saja.

Sekian puluh tahun kemudian, saya sadar bahwa tindakan wali kelas kami itu sangat bijaksana. Beliau menghukum kami semua, siswa laki-laki, tanpa kecuali untuk menanamkan tanggung jawab. Kami tidak disuruh mengganti kursi yang rusak tersebut, melainkan diminta memperbaikinya.

Salah satu teman saya yang dijewer dan ditampar tadi kini menjadi dokter umum. Dia lulusan fakultas kedokteran Universitas Indonesia (UI). Yang satunya lagi bertugas sebagai anggota TNI-AD di Jakarta.

Kabar reuni tersebut mengingatkan saya ke peristiwa sekian tahun silam. Saya kangen sekali ingin bertemu teman-teman yang saat itu ikut dihukum oleh wali kelas kami. Salah seorang rekan kami bahkan berencana mengundang wali kelas kami tersebut. Kami berpatungan untuk membelikan hadiah kepada sang wali kelas. Mungkin tak seberapa, tapi itu merupakan bentuk terima kasih kepada beliau.

Ya, saya sadar bahwa hukuman verbal seperti jeweran tadi belum tentu merupakan wujud kecewa atau emosi. Bisa jadi, wali kelas kami tersebut hendak memberikan ”something special” kepada kami.

Kini rata-rata kami, murid beliau, menginjak usia produktif. Ada yang berprofesi sebagai dokter, anggota TNI, guru, dosen, pengusaha, sales, dan jurnalis.

Saya sendiri ingin sekali mengucapkan terima kasih kepada beliau. Barangkali, jika telinga saya tak dijewer kala itu, saya bakal tak semangat belajar, tak menyukai dunia mencatat yang kelak mengantarkan saya sebagai penulis. Mungkin benar, guru sejati tak akan mengiba terima kasih murid-muridnya. Yang diharapkan, mereka bisa menjadi manusia produktif yang bermanfaat bagi sesamanya. Apalagi, sebaik-baik hamba Allah adalah yang memberikan manfaat bagi orang lain.

Semoga tulisan ini terbaca oleh beliau. Terima kasih Pak Guru, penaku akan terus kugoreskan untuk menyampaikan amanahmu, menyerukan kepada dunia tentang betapa mulia profesimu.

Graha Pena, 10 April 2010

Mengalamatkan Cinta

Oleh Eko Prasetyo

Ya Allah, sudah lama ingin aku tuliskan surat ini kepada-Mu. Namun, selalu saja aku ragu untuk melakukannya. Bukan karena aku tak tahu alamat yang hendak kutuju, tapi aku benar-benar malu.

Sebab, selama ini aku merasa jauh dari-Mu.
Padahal, Engkau selalu baik kepada setiap hamba-Mu.

Sebab, selama ini aku kerap lalai bersyukur atas Nikmat-Mu.
Padahal, tak terhitung lagi berapa banyak nikmat itu.

Sebab, selama ini aku selalu menyibukkan diri dengan urusan dunia.
Padahal, itu tak bisa memberikan sedikit pun syafaat kepadaku.

Ya Allah, sudah lama ingin aku tuliskan surat ini kepada-Mu. Namun, selalu saja aku bingung untuk melakukannya. Bukan karena aku tak bisa menuangkannya, tapi aku benar-benar malu.

Sebab, selama ini aku tak jarang menyalahkan-Mu bila keinginanku tak terpenuhi.
Padahal, Engkau mahabaik dengan mencukupi segala kebutuhan hamba-Mu.

Sebab, selama ini aku jarang menyempatkan waktu untuk bersama-Mu.
Padahal, bercinta dengan-Mu menjanjikan ketenangan dan kebahagiaan.

Sebab, selama ini aku kerap bertindak yang menyalahi perintah-Mu.
Padahal, firman-Mu adalah sebenar-benar penerang.

Ya Allah, sudah lama ingin aku tuliskan surat ini kepada-Mu. Bukan karena aku menginginkan surga-Mu dan takut neraka-Mu. Namun, segala yang tercurah dalam surat itu kutulis:
Untuk menuangkan segala penyesalan atas ketamakan dan kesombonganku.
Untuk menyampaikan ampun pada semua dosa-dosa yang kuperbuat.
Untuk mengalamatkan cinta yang menjadi anugerah terbesar-Mu.

Rabbana zhalamna anfunsana wainlam taghfirlanaa lanakunanna minalkhasiriin.

Graha Pena, 4 April 2010

Menyikapi Cemburu

Oleh Eko Prasetyo

Jam menunjukkan sekitar pukul 16.15. Tiba-tiba, suasana sore di gang sebuah kampung pecah oleh teriakan seseorang. Suara tersebut milik seorang perempuan. Dia tak henti-henti berteriak meminta tolong kepada warga sekitar.

Dia berlari sambil menangis. Dia seolah diburu sesuatu. Dugaan itu tak salah. Perempuan yang berusia sekitar 30-an tahun tersebut memang sedang dikejar seorang lelaki. Kendati perempuan muda itu terus diburu, tak warga yang berani menolongnya. Sebab, laki-laki tadi mengancamnya dengan mengacung-ngacungkan sebilah parang.

Tak lama kemudian, laki-laki itu akhirnya bisa dibekuk polisi berkat laporan warga. Pagi yang semula mencekam berangsur-angsur normal.

Rupanya, laki-laki tadi adalah suami perempuan yang meminta tolong tersebut. Kepada petugas, si suami mengaku emosinya terbakar lantaran melihat sang istri menerima tamu seorang laki-laki di rumahnya. Ketika marah melanda, akal sehat tak mampu berbicara. Rasa cemburu nyaris menumpahkan darah.

Pada kejadian lainnya, seorang istri ngotot meminta cerai kepada suaminya. Hal itu dipicu oleh kecemburuan si istri lantaran suaminya diduga sering lirik sana lirik sini. Bahkan, si istri menuduh sang suami main serong dengan wanita lain. Namun, tudingan tersebut dibantah oleh sang suami. Dia balik menuduh kecemburuan istrinya berlebihan.

Si suami mengaku tak pernah melakukan perbuatan yang dituduhkan istrinya. Pria tersebut mengatakan, tudingan istrinya tidak benar. Namun, kelitan itu tak bisa membendung pertengkaran-pertengkaran dalam rumah tangga mereka. Biduk rumah tangga yang dibina selama sekian tahun berada di ujung tanduk. Rasa cemburu nyaris menumbangkan kebersamaan yang lama diarungi.

Dua Cemburu
Salah satu sifat orang beriman adalah cemburu. Sebab, cemburu merupakan isyarat adanya cinta kasih. Islam memuji lelaki yang punya rasa cemburu dan mencela orang yang tidak memilikinya.

Selain menganjurkan cemburu, Islam memberikan batas-batasnya. Bila batas tersebut dilanggar, rusaklah kebahagian rumah tangga. Suami yang saleh harus memahami hal itu agar dapat mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawadah, dan rahmah.

Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Allah itu pencemburu dan seorang mukmin juga pencemburu. Kecemburuan Allah itu terjadi bila ada seorang hamba datang kepada-Nya dengan perbuatan yang diharamkan-Nya. (HR. Bukhari).

Dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Hibban, Nabi SAW bersabda bahwa sesungguhnya ada cemburu yang disukai dan dibenci oleh Alloh SWT. Cemburu yang disukai Alloh adalah cemburu pada hal-hal yang pasti. Sedangkan cemburu yang dibenci oleh-Nya adalah cemburu pada hal yang tidak pasti.

Dengan demikian, ada dua macam cemburu. Pertama, cemburu yang merupakan fitrah manusia. Yaitu, cemburu netral yang bisa menjaga dan melindungi harga diri dan keluarga dari tindakan pencemaran citra atau sikap melampaui batas. Cemburu seperti itu dianggap akhlak mulia yang patut dimiliki setiap orang beriman.

Kedua, cemburu yang merugikan dan terlarang. Yaitu, cemburu tanpa alasan yang selalu menyiksa jiwa. Ketika pikiran sedang dikuasai prasangka buruk, kita dapat saja menuduh orang yang tidak bersalah. Di atas itu semua, rasa cemburu yang tidak beralasan dapat merusak dinamika dan ketenteraman kehidupan rumah tangga.
Menyikapinya

Api cemburu yang tidak pada tempatnya bisa menghanguskan kebenaran dan melahirkan tindakan gegabah ataupun aniaya. Tentang cemburu, istri Nabi SAW dan para sahabat pernah mengalaminya. Rasulullah pernah bertanya pada istrinya, Aisyah Ra, ”Apakah engkau pernah merasa cemburu?” Aisyah menjawab, ”Bagaimana mungkin orang seperti diriku tidak merasa cemburu jika memiliki seorang suami seperti dirimu.” (HR Ahmad).

Aisyah pun pernah diliputi cemburu ketika Nabi SAW sampai di Madinah bersama Shafiya yang sama-sama hijrah dan istri yang beliau nikahi di perjalanan menuju Madinah.

Aisyah berkata, ”Aku menyamar dan keluar untuk melihatnya. Namun, Rasululloh mengetahui apa yang kulakukan dan beliau berjalan ke arahku. Maka, aku bergegas meninggalkan beliau. Tapi, beliau mempercepat langkahnya hingga menyusulku. Kemudian beliau bertanya, ”Bagaimana pendapatmu tentang dirinya?” Aisyah menjawab dengan nada sinis, ”Dia adalah wanita Yahudi, putri seorang Yahudi.” (HR Ibnu Majah).

Kecemburuan fitrah yang demikian juga dimiliki oleh kalangan sahabat Nabi yang laki-laki. Misalnya, Sa’ad bin Ubadah. Dia pernah berkata, ”Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku, niscaya aku pukul dia dengan pedang yang tajam (untuk membunuhnya).” Maka, Rasulullah berkata, ”Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Sungguh aku lebih cemburu daripada dia dan Allah lebih cemburu daripada aku.” (HR Bukhari dan Muslim).

Nah, fenomena tentang cemburu yang beragam itu harus dipahami dan disikapi sesuai dengan syariat Islam. Menyikapi kecemburuan memang dipengaruhi oleh karakter atau temperamen individu. Namun, ada titik terang dalam hal kecemburuan.
Apa saja?
1. Konsisten menegakkan rangka amar makruf dan nahi mungkar.
2. Melindungi harga diri dan keluarga.
3. Mencegah kemungkinan terjadinya fitnah yang mencemarkan dan menodai
kesucian keluarga.
4. Husnudzdzan (positive thinking) atau berbaik sangka.
5. Mendahulukan keutuhan keluarga sakinah agar senantiasa diridai Alloh SWT.

Berdasar paparan di atas, jelas bahwa cemburu merupakan hal yang wajar, bahkan perlu dimiliki seorang muslim yang beriman kepada Alloh SWT, asal tidak melebihi batas.

Hal tersebut sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW. ”Ada tiga golongan yang tidak bakal masuk surga. Yakni, orang yang durhaka terhadap bapak ibunya, duyuts (orang yang tidak punya rasa cemburu), dan perempuan yang menyerupai laki-laki.” (HR Nasai dan Hakim).

(Dimuat Nurul Hayat edisi April 2010)

Terima Kasih Istriku

Oleh Eko Prasetyo

Terima Kasih Istriku
Oleh Eko Prasetyo

Bu, hari ini kau tampak begitu letih. Sebelum mataku terbuka melihat dunia, sebelum fajar mengajak kita bersujud, kau mencucikan pakaian dinasku. Segelas kopi untukku tak pernah absen di meja makan kita yang sederhana, yang tak layak disebut meja makan. Kala mataku lelah bekerja membangun sebuah masa depan, kau rajin mengingatkanku untuk tak lupa berdoa.

Bu, hari ini kau tampak begitu letih. Namun, kau berupaya menyembunyikannya di depanku dan selalu seperti itu. Dan aku tak tega untuk berterus terang bahwa aku mengetahui kau kelelahan. Maka, biarkan tubuhku menjadi perebahan sejenakmu melepas penat sebelum aku berangkat kerja.


Bu, hari ini kau tampak begitu letih. Namun, tak pernah kudengar engkau mengeluhkannya. Yang ada, kau rajin bersenandung di kamar kecil kita tiap maghrib dengan lantunan ayat-ayat suci. Waktu istirahatmu telah tercuri untuk darma baktimu sebagai istri.

Bu, hari ini kau tampak begitu letih. Tak jarang kau membuat masakan lezat kesukaanku. Tak jarang kau mengurusi segala urusan rumah tangga kita sendirian. Tak jarang aku harus meninggalkanmu demi tugas. Tak jarang aku lebih memikirkan pekerjaan di kantor ketimbang meluangkan waktu bersamamu.

Bu, hari ini kau tampak begitu letih. Selama satu tahun kau setia mendampingiku dalam suka dan duka. Tak sedikit pun kau lalai membukakan pintu ketika dini hari aku pulang kerja. Tak sedikit pun kau mengeluhkannya. Justru kau tak segan menyampaikan doa untuk keselamatanku.

Wahai muslimah baik, istriku, saksikan hari ini aku sebagai laki-laki yang egois dan memikirkan diri sendiri untuk:
Menyampaikan rasa kagumku.
Menyampaikan maafku karena keteledoranku.
Menyampaikan terima kasih tak terhingga atas pengorbananmu.
Menyampaikan kebanggaanku sebagai suamimu.


Graha Pena, 2 April 2010
www.samuderaislam.blogspot.com