Saatnya Menulis!

Catatan Eko Prasetyo

Baru saja (30/1) saya mengikuti diskusi temu penulis bersama KH Shalahuddin Wahid (Gus Sholah) dan sastrawan A.S. Laksana di Jawa Pos. Saya mencatat beberapa poin penting yang mungkin berguna sebagai informasi bagi penulis pemula. Khususnya, yang ingin mengirimkan tulisan opini ke media massa.

Saat menuliskan laporan ini, diskusi masih berlangsung gayeng dengan ratusan peserta yang terdiri atas kalangan akademisi, mahasiswa, dan pembaca Jawa Pos lain. Sebelum tanya jawab dengan Gus Sholah dan redaktur opini Jawa Pos, saya mengurai benang merah dalam diskusi tersebut. Yakni, jangan minder saat menulis!

Pesan tersebut disampaikan oleh Gus Sholah dalam forum temu penulis itu. Dia juga memompa motivasi kalangan muda untuk doyan menulis. Ya, saya tidak menafikan fakta bahwa minat generasi muda Indonesia dalam dunia tulis-menulis masih jauh dari harapan.

Beberapa waktu lalu, saya pernah berpesan kepada adik kelas yang kebetulan akan mengikuti tes sebagai calon guru bahasa Indonesia. Saya mengatakan kepadanya bahwa saat ini bahasa Indonesia masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat kita. Meski, faktanya, berbahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan, tidak semudah yang dikatakan oleh mereka.

Maka, saya mewanti-wanti dia untuk menyiapkan visi-visinya sebagai calon guru bahasa Indonesia. Salah satunya, dia harus mampu mempersiapkan bekal berharga bagi muridnya. "Kamu harus beda dengan guru bahasa Indonesia lainnya. Siapkan produk yang berkualitas dan bermanfaat bagi murid-muridmu nanti. Misalnya, kamu buat muridnya getol menulis sehingga budaya sadar baca di kalangan pelajar terserap baik. Soal caranya, kamu pikirkan sendiri," kata saya kepada dia.

Nah, pesan senada tadi diungkapkan oleh Gus Sholah. Ada dua bekal penting yang dia sampaikan dalam forum temu penulis tersebut.

Pertama, tak boleh putus asa. Memang, banyak orang yang rajin mengirimkan tulisannya ke media. Namun, ketika tulisan tersebut berkali-kali tidak dimuat, dia serta-merta lunglai dan tak bergairah untuk mengirimkan tulisan kembali.

Untuk masalah itu, Gus Sholah mencontohkan bahwa perjuangan dirinya, Gus Dur, ataupun Gus Mus dulu "berdarah-darah" hingga bisa seperti sekarang. Maksudnya, tulisan tiga tokoh ulama tersebut pun sering tidak dimuat. "Butuh proses untuk mencapai tahap pada tulisan kita sampai ke taraf yang baik," ujar Gus Sholah. Proses tersebut, lanjut dia, berbeda-beda pada tiap individu. Ada yang butuh proses cuma seminggu, sebulan, setahun, bahkan bertahun-tahun.

Kedua, seorang penulis harus memahami etika bahasa. Tak bisa dimungkiri, banyak tulisan yang memuat tema pro kontra, namun tulisan tersebut memakai bahasa yang memojokkan. Akhirnya, tulisan tersebut tidak berimbang lagi.

Dalam hal etika bahasa, Gus Sholah juga mengajak peserta forum untuk membiasakan diri menulis dengan bahasa Indonesia yang (minimal) baik. Artinya, tata bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah. Yang tak kalah penting, tulisan itu enak dibaca dan mudah dipahami pembaca meski ditulis dengan bahasa yang sederhana.

Agaknya, menulis memang menjadi agenda yang mendesak. Bangsa ini akan menuai krisis hebat jika masyarakatnya enggan menulis. Padahal, bangsa yang tak bisa melahirkan penulis, ia akan tertinggal jauh dan dilupakan sejarah. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer: "Sepandai apa pun seseorang, jika tidak menulis, ia akan dilupakan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Graha Pena, 30 Januari 2010

Proposal Hidup



Catatan Eko Prasetyo

Sukses itu bukan karbitan. Karena itu, jalan meraih sukses tidak mudah. Memang, tak sedikit yang merengkuh kesuksesan dengan cepat. Namun, banyak pula yang ”jatuh” setelah kesuksesannya meroket begitu cepat.

Maka, tak salah jika Jamil Azzaini berpesan bahwa jangan hanya berdoa jika menginginkan sesuatu. Tapi, kita juga mesti berusaha untuk mencapainya keinginan tersebut. Dia membuktikannya dengan menulis semua hal yang didambakan. Semuanya terangkum dalam buku Tuhan, Inilah Proposal Hidupku (Gramedia Pustaka Utama, 2009).

*****

Saya begitu tergugah saat melihat rombongan haji yang baru pulang dari tanah suci beberapa waktu lalu. Tidak secara langsung memang, saya hanya menyaksikannya lewat tayangan berita di televisi.

Ada jamaah yang kakinya cacat dan dibantu kursi dorong. Bahkan, ada pula yang tunanetra. Subhanallah. Saya mengira, sebagian di antara mereka mungkin bukan orang ”berpunya”. Lantas, saya berpikir, dari mana seseorang bisa menunaikan ibadah haji jika tak ”berpunya”. Faktanya, ada petani yang dapat pergi ke baitullah. Bahkan, ada yang tukang becak yang dapat berhaji.

Pada kesempatan lain, saya berjumpa dengan seorang teman dari sebuah lembaga yang bernaung di bawah Pemprov Jatim di Surabaya. Dia telah bekerja di situ kurang lebih enam tahun. Kali terakhir bersua, dia menyatakan akan keluar dari pekerjaannya karena dua alasan. Pertama, istrinya dipindah mengajar ke Jember, Jawa Timur. Kedua, rekan saya tersebut ingin berwirausaha.

Dia mengatakan punya sebuah harapan besar dengan berwirausaha itu. Saat saya menanyakan cita-cita tersebut, dia menjawab ingin memberangkatkan kedua orang tuanya berhaji.

”Saya tak bisa memberikan apa-apa kepada mereka. Saya ingin sekali bisa memberangkatkan mereka ke tanah suci Makkah sebelum mereka tiada,” tegasnya dengan nada optimistis.

Hal itu, lanjut dia, mungkin tak akan dapat terwujud jika dia tetap bekerja di lembaga tersebut. ”Sebab, gaji saya tak seberapa,” ucapnya. Begitu besar keyakinannya akan menggapai asa itu, teman saya tersebut tak pernah absen memanjatkan doa untuk bisa memberangkatkan orang tuanya. Bahkan, dia juga rajin berpuasa supaya Allah memperkenankan doanya.

Dia tak sekadar bermunajat, tapi juga menuliskan cita-citanya tersebut dan ditempelkan di tembok kamarnya. Dia mengatakan itulah proposal hidupnya saat ini. Apa yang dia inginkan dia tulis di kertas tersebut dan dia berusaha keras untuk bisa mewujudkannya.

Saya tertegun mendengar semua itu. Tak pernah terlintas sedikit pun soal itu sebelumnya. Selama ini, mungkin sebagian orang bermimpi akan cita-citanya. Namun, tak jarang yang mau untuk merealisasikan cita-cita itu. Orang saat ini lebih suka dengan yang serbainstan, tanpa didahului oleh usaha keras.

Agaknya, saya sepakat dengan Jamil Azzaini. Kita mungkin perlu merencanakan hidup. Hal itu bisa dituangkan dalam tulisan tentang rencana dan target hidup kita selama bernapas di alam fana ini. Itulah yang dia sebut sebagai proposal hidup. Dengan proposal hidup tersebut, kita dituntun untuk bercerita tentang betapa berharganya diri kita.

Memang, belum tentu setelah menulis, hidup kita serta-merta langsung berubah. Proposal hidup mungkin sekadar bekal. Sebab, kunci semuanya adalah motivasi, konsistensi, dan usaha keras untuk mewujudkan harapan serta cita-cita itu.

Wallahu’alam bishshawab.

Graha Pena, 27 Januari 2010

Hal Sederhana yang Kerap Terabai



Catatan Eko Prasetyo

Sebuah undangan pernikahan dari seorang sahabat berhasil menarik perhatian saya. Saya berencana datang ke pernikahannya bersama istri saya. Sebab, kebetulan kami berada di satu kota. Sebenarnya, sahabat tersebut bukan rekan sekantor, bukan pula kawan sekolah saya. Dia mulanya memperkenalkan diri sebagai salah seorang pembaca di sebuah media online.Dia mengatakan sering membaca tulisan-tulisan saya di salah satu rubrik di media itu.

Kalimat-kalimat dalam undangan tersebut tak asing bagi saya. Sangat puitis. Ya, deret kata itu memang bait-bait puisi milik seorang penyair terkenal, Sapardi Djoko Damono. Profesor yang juga guru besar Universitas Indonesia (UI) tersebut dikenal mampu mengurai kata-kata yang sederhana menjadi puisi yang enak dinikmati. Sangat sederhana dan tentu saja bagus! Berikut saya petikkan puisi tersebut.

AKU INGIN

”aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat disampaikan
hujan kepada awan yang menjadikannya tiada”
Sapardi Djoko Damono, 1982)

*****

Beberapa hari belakangan, istri saya kerap mengomel. Sensitif sekali. Jika air di bak kamar mandi kotor, dia menggerutu. Saat saya lupa mengucapkan salam ketika pulang kerja, raut wajahnya sedikit tak sedap. Semuanya saya anggap wajar. Saya tahu bahwa istri saya pasti capek sekali mengurusi rumah tangga. Mulai memasak, mencucikan pakaian saya, membuatkan saya kopi, hingga mendengarkan segala curhat saya.

Saya sangat menghargai omelan-omelan itu. Pasti ada sesuatu yang positif di baliknya. Saya tak pernah berusaha untuk menyanggah dan membela diri ketika istri mengomel. Sebuah pengalaman berharga saya ambil dari seorang rekan kerja. Dia baru saja digugat cerai sang istri. Gara-garanya sepele: tak ada yang mau mengalah ketika sedang terjadi perselisihan antara mereka. Mereka sama-sama merasa benar sehingga tak mau mengalah.

Saya sangat menyayangkan karena mereka akhirnya cerai. Pasalnya, mereka telah membina mahligai rumah tangga hampir lima tahun! Putri tunggal mereka kini telah berusia hampir empat tahun.

Suatu ketika, saya menghabiskan masakan istri saya. Dia senang bukan main. Sebab, dia merasa tak sia-sia memasak. Ya, sebisa-bisanya saya berusaha menyantap masakan buatan istri. Meski, saya tidak sedang mood makan. Saya tak mau mengecewakannya. Kompor di tempat tinggal kami cuma satu. Ketika dia memasak dua menu saja, pasti cukup memakan waktu. Pasti lelah. Saya mencoba memahami perasaan istri saya dengan sederhana.

Ketika berkontemplasi, saya kerap menggarisbawahi tentang apa saja yang telah saya dapat pada hari itu.

Puisi ”Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono telah menggoda saya untuk menganalisisnya. Itu tidak saya terapkan dalam metode penelitian sastra, tapi perlakuan dan penghargaan kepada istri saya.

Terkadang, tanpa kita sadari, kita kerap mengabaikan hal yang sederhana. Misalnya, memahami perasaan istri ketika dia sedang mengomel. Atau, sekadar memuji masakannya, tidak dengan kata-kata, tapi menghabiskannya.

Graha Pena, 12 Januari 2010

Enggan "By-Pass"

Catatan Eko Prasetyo

Gaya bicaranya tegas. Bagi dia, sedikit bicara banyak bekerja bukan sekadar slogan. Dia memang pekerja yang ulet dan jarang mengeluh meski terlihat capek sekalipun. Dia adalah teman saya semasa di bangku kuliah dulu. Sehari-hari dia bekerja di bagian logistik sebuah perusahaan elektronik ternama.

Sejak lulus, kami jarang bersua. Saya kali terakhir bertemu teman tersebut ketika dia mengirim barang ke sebuah perusahaan yang kebetulan satu gedung dengan kantor saya. Sapa riang dan obrolan renyah menemani kami.

Di akhir obrolan, dia menitipkan pesan kepada saya. Dia minta saya menginformasikan tentang lowongan kerja bagi dia. Saya mengusahakan, tapi tak berani menjanjikan. Kemudian kami berpisah.

Saya ingat betul bahwa kawan tadi berasal dari keluarga yang bisa dibilang mapan dan berkecukupan. Ayahnya pensiunan TNI. Dulu, saat dia memutuskan untuk mandiri dan mencari kerja sendiri, saya sempat bertanya-tanya. Pasalnya, bisa saja ayahnya yang punya banyak relasi menolong kawan saya itu untuk mencarikannya pekerjaan. Tak perlu capek-capek memeras keringat keliling beberapa perusahaan memasukkan map cokelat yang berisi kerta lamaran kerja.

Namun, teman saya tak mau. Dijanjikan oleh ayahnya menjadi anggota TNI pun dia tak mau. Padahal, kalau mau, dia bisa dengan mudah diterima. Tidak saja karena faktor sang ayah, tapi postur dan prestasi akademis kawan saya tersebut sangat mendukung. Dia bersikukuh untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, tak peduli apa pun hambatan dan rintangannya.

*****

Saya mendapati pengalaman bagus dari Andy F. Noya, host acara Kick Andy. Suatu malam, sekitar pukul 00.00, dia sangat terkejut. Betapa tidak, dia mendapati putranya, Rio , mengepel lantai dan memakai celemek hijau di salah satu restoran terkenal.

Mata Andy berkaca-kaca. Dia tak menyangka sang anak mau melakukan pekerjaan itu: menyikat dan mengepel lantai. Perasaan Andy campur aduk. Haru, sedih, dan bangga.

Rio magang tiga bulan di restoran itu. Dia tak peduli disaksikan banyak pengunjung mal ketika mengepel lantai dan membersihkan meja konsumen. Kendati tergolong dari keluarga mapan, Rio sedikit pun tak malu melakukan pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap "rendahan" itu. Sangat pantas Andy bangga terhadap anaknya tersebut.

Jikalau Rio mau, dia bisa magang di kantor yang lebih elite, tidak sebagai pelayan restoran. Namun, itu tak terjadi. Andy dan Rio telah memberikan pelajaran baik bagi orang tua dan remaja lainnya.

*****

Saat ini, tak sedikit orang yang lebih memilih jalan pintas. Ada orang tua yang rela menjual rumah dan sawah agar sang anak diterima menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Ada orang yang mau menyetorkan sejumlah uang demi diterima kerja. Ada pula yang menjual kehormatannya hanya untuk naik jabatan.

Saya terkenang ketika dulu memasukkan beberapa lamaran kerja di sana sini. Meski, pada saat bersamaan, saya ditawari bekerja di sebuah perusahaan bonafit oleh salah seorang famili. Saya tak mau. Saya ingin merasakan sulitnya menghadapi tes kerja, mulai wawancara, psikotes, hingga tes kesehatan. Saya tak ingin diterima kerja lewat by-pass.

Sore ini langit di Surabaya tak begitu cerah. Awan baru saja kami dengan hujan. Basah. Begitu pula hati saya ketika menilik dua kisah di atas. Di tengah tergerusnya moralitas di negeri ini, masih ada orang-orang yang tak silau dengan segala fasilitas dan memanfaatkan nama besar keluarga.

Graha Pena, 11 Januari 2009

Hoegeng dan Pendidikan Antikorupsi



Catatan Eko Prasetyo

Ada sebuah anekdot terkenal tentang polisi. Yakni, di Indonesia hanya terdapat tiga polisi yang tak bisa disuap. Mereka adalah patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng. Tentu saya tidak ingin mengupas tentang polisi di sini, melainkan sosok Hoegeng yang terkenal gigih dalam melawan korupsi itu.

Drs Hoegeng Iman Santoso dilahirkan di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 21 Oktober 1921. Perwira polisi yang sempat menjadi anggota TNI-AL pada masa revolusi tersebut dikenang karena kejujurannya.

Ketika menjadi kepala reskrim di Sumatera Utara, dia ditugasi untuk memberantas smokel, judi, dan korupsi. Meski sebuah tantangan berat, Hoegeng mampu mengemban tugasnya dengan baik. Suatu kali, seorang pengusaha hendak memberikan hadiah bagi Hoegeng. Hadiah itu dikirim langsung ke rumah dinas Hoegeng di Medan. Tentu saja, tujuan pemberian tersebut adalah mohon perlindungan kepada pejabat polisi yang dinilai bisa menjadi backing.

Beberapa saat setelah hadiah itu ditaruh, Hoegeng datang. Dia bertanya kepada istrinya tentang asal barang-barang mewah tersebut. Setelah mendapat penjelasan, Hoegeng meminta segala perabot mewah itu dikembalikan ke pemiliknya. Meski berkali-kali diyakinkan bahwa itu hanya hadiah, Hoegeng bersikeras tak mau menerimanya. "Saya tak mau utang budi atas pemberian ini," tegasnya kala itu.

Sikapnya yang tegas dan keras tersebut membuat Hoegeng begitu disegani. Bahkan, seorang anak buah Hoegeng pernah mengingatkan agar tidak coba-coba menyuap Pak Hoegeng.

Prestasi gemilang Hoegeng berlanjut hingga dia diangkat menjadi menteri iuran negara oleh Bung Karno. Meski sudah menjadi pejabat, ciri khasnya tak hilang. Yakni, tegas dalam memerangi korupsi. Hingga menjadi Kapolri pada zaman Orde Baru pun, Hoegeng tak punya rumah dan mobil pribadi.

Dia baru punya mobil setelah dicopot sebagai Kapolri oleh Soeharto. Pencopotan Hoegeng waktu itu menjadi kontroversi. Sebab, disinyalir Hoegeng dicopot dari jabatannya karena mengurai kasus penyelundupan mobil mewah yang diduga melibatkan keluarga Cendana.

Awalnya, Hoegeng menolak pemberian mobil itu. Namun, setelah diyakinkan oleh Kapolri penggantinya bahwa mobil tersebut adalah hasil "urunan" Kapolri dan para Kapolda, baru Hoegeng mau menerimanya.

Hidup Hoegeng kian sulit setelah pensiun sebagai polisi. Betapa tidak, setelah menandatangani Petisi 50 bersama mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan kawan-kawan, Hoegeng "dimusuhi" oleh penguasa Orde Baru. Mereka dicekal. Pensiunan sebagai Kapolri pun tak diterima secara utuh.

Namun, Hoegeng tidak mau berkeluh kesah. Istri dan keluarganya sangat mendukung dan selalu memotivasi dia. Hidup dalam kesulitan tak membuat Hoegeng rendah diri. Dia menyambung hidup dengan menjual lukisan-lukisannya. Kegigihannya menjadi legenda.

*****
Pendidikan antikorupsi kini didengung-dengungkan. Gemanya ke mana-mana. Hingga dibuatlah sebuah "proyek idealisme": warung kejujuran. Hasilnya? Belum terlalu signifikan. Di sebuah SMA negeri di Tulungagung, misalnya, warung kejujuran terus merugi setelah dioperasikan. Namun, cerita memprihatinkan itu tak selalu mewarnai warung kejujuran. Banyak pula sekolah yang berhasil menerapkan program baik tersebut.

Ketika koruptor di negeri ini makin "berani" melancarkan aksi, banyak yang setuju antikorupsi masuk ke dalam kurikulum sekolah. Agaknya, antikorupsi menjadi agenda yang amat mendesak.

Antikorupsi memang harus diperkenalkan dan ditanamkan sejak dini.

Saya sangat menyesalkan terjadinya "insiden" memalukan di gedung dewan. Yakni, aksi saling hujak dan olok antara ketua pansus kasus Bank Century dan seorang anggotanya. Begitu gencarnya media mengekspos kejadian memalukan itu. Sehingga saya khawatir "sinetron ala dewan -yang katanya- terhormat tersebut mewabah ke garda depan pendidikan kita, yakni generasi muda.

Memerangi korupsi memang agenda yang besar dan "mahal". Saya sebut mahal karena memusuhi korupsi itu -apalagi secara masal- sangat berisiko. Bisa difitnah, diolok-olok, ditertawakan, bahkan dipenjara.

Maka, cara paling elegan untuk merealisasikan agenda antikorupsi adalah menanamkan pada diri sendiri dulu, kemudian ditularkan kepada eleman lain, termasuk anak didik kita.
Tak mudah memang.

Pasalnya, secara tak sadar, virus korupsi telah menjadi endemi di kalangan pendidik. Jika sudah demikian, tentunya angin korupsi akan semakin kencang menerpa.

Maka, saya sangat mendukung bila Hoegeng bisa dijadikan "pahlawan" dalam menanamkan antikorupsi kepada anak didik kita. Agar anak didik kita tidak hanya mengenal superhero dari luar negeri saja. Agar anak didik kita tak cuma mengelu-elukan budaya Barat yang belum tentu baik. Bisakah?

Graha Pena, 10 Januari 2010

Sang Guru



Catatan Eko Prasetyo

Puluhan tahun silam, Prof Surya bertekad keluar dari sebuah perusahaan nuklir di Amerika Serikat. Saat itu temannya sangat terkejut. Dia menanyakan alasan profesor yang jago fisika tersebut. Surya menjawab, dirinya akan pulang ke Indonesia dan menjadikan anak-anak nusantara menjadi juara dunia di olimpiade sains.

Saat mengatakan bahwa dirinya hendak mencetak juara dunia fisika dari Indonesia, banyak yang menertawakannya. Ucapan itu diulangi tiap tahun. Tak ada kata putus asa dan menyerah.

Hari ini saya menerima kabar dari seorang teman. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan pascasarjana di sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka di negeri ini. Dia mengatakan akan kembali ke kampung halamannya di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Padahal, dia telah digadang-gadang untuk melanjutkan pendidikan S-3 di luar negeri.

Saya percaya karena dia memang dikenal cerdas dan pandai, baik dalam hal akademis maupun sosialisasi. Dia amat yakin ingin pulang dan meninggalkan beasiswa S-3 di depan mata itu. Ketika saya tanyakan alasannya, jawabannya mirip dengan tekad Prof Surya sekian tahun silam tersebut.

Teman saya itu ingin menjadi pendidik di kampung halamannya. "Daerah saya membutuhkan orang-orang seperti saya. Selama ini, saya melihat bahwa daerah itu kekurangan SDM di bidang pendidikan," ujarnya mantap.

Keraguan yang semula bergelayut di hati saya berubah menjadi kebanggaan. Saya sangat mendukung niat tersebut.

Selama ini, saya memang melihat bahwa kualitas tenaga pendidik, baik di daerah maupun kota, masih belum baik. Mengajar hanya dijadikan rutinitas, tanpa niat untuk benar-benar memintarkan murid-muridnya. Ada guru yang "tega" meninggalkan jam pelajaran demi sebuah sertifikat seminar. Bahkan, banyak yang berani memalsukan karya tulis ilmiah demi lolos sertifikasi, demi jabatan dan pangkat.

Ada seorang guru yang buru-buru pulang, padahal jam kerjanya belum usai. Dia kedapatan pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Dia tak malu dengan seragam dinasnya, tak malu pada dirinya sendiri. Ada sebuah tanggung jawab yang tertanggal.

Saya baru mengedit kasus memalukan di sebuah sekolah menengah atas negeri di Surabaya. Sekolah tersebut diindikasi meminta pungutan kepada orang tua siswa yang ekonominya kurang mampu. Kasus ini menampar dunia pendidikan di Kota Pahlawan. Beberapa waktu lalu, kasus serupa menimpa sekolah tersebut. Seorang guru menghajar muridnya dan kasus lain adalah pungutan liar kepada orang tua siswa.

Ini sebuah pekerjaan rumah (PR) yang amat berat bagi pendidikan negeri ini.

Karena itu, saya sangat mendukung niat tulus teman saya tadi untuk kembali dan membangun generasi berkualitas di daerahnya. Saya berharap agar dia bisa merealisasikan cita-cita itu, seperti halnya Profesor Surya. Dia begitu brilian dan membuktikan bahwa dia bisa mencetak juara-juara dunia olimpiade sains dari Indonesia.

Ya, juara dunia sains dari Indonesia. Saya merinding membaca buku Mestakung karya Surya. Dalam satu kisah, seorang peserta dari Indonesia berhasil meraih medali emas di sebuah olimpiade fisika sedunia. Saat nama Indonesia disebut dan Indonesia Raya diperdengarkan, semua hadirin melakukan standing ovation dan aplaus luar biasa.

Itulah mimpi yang jadi nyata. Saya berdoa mudah-mudahan banyak orang yang memiliki kepedulian tinggi terhadap roda pendidikan di tanah air ini seperti mereka. Semoga!

”Dan janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa
dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir,” (QS Yusuf 87)


(tulisan ini dedikasikan untuk sang sahabat di kota dingin)

Graha Pena, 8 Januari 2010

Celana Jins dan SMS Istri



Oleh Eko Prasetyo

Kehidupan adalah kampus terbaik. Ya, saya setuju dengan kalimat bijak tersebut. Terbukti, kita bisa belajar dari mana saja dari kehidupan ini. Banyak hikmah yang terkandung dari pengalaman dan peristiwa yang terjadi. Semuanya menjadi bukti kebesaran-Nya.

Hal paling kecil pun bisa menjadi pertanda kebesaran Allah. Misalnya, lebah dan semut. Maka, tak ada alasan untuk mengingkari nikmat-Nya. Sudah seharusnya manusia bersyukur atas nikmat-nikmat itu.

”Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (QS An-Nahl: 18)

*****

Beberapa bulan belakangan, aktivitas saya begitu padat. Intensitas kegiatan di kantor tersebut cukup menyita waktu dan tenaga. Imbasnya, saya terkadang kurang memperhatikan hal-hal kecil yang sebenarnya cukup mengganggu.

Dampak lainnya, intensitas pertemuan saya dengan keluarga juga minim. Namun, saya tak mau larut dengan keluhan ini itu. Saya tak suka menunda pekerjaan yang bisa berakibat menumpuknya pekerjaan lain.

Kendati sibuk, sebisa-bisanya saya tetap meluangkan waktu untuk istri di rumah. Kerja boleh padat, tapi keluarga tetap prioritas. Yang tak kalah penting, baca bismillah setiap akan memulai sesuatu dan salat tepat waktu. Istiqamah dalam menjaga ibadah itu memang tak mudah, tapi kita harus yakin bisa. Saya bersyukur punya istri yang begitu baik dan selalu mengingatkan dalam hal ibadah.

Suatu ketika, sebuah pesan singkat (SMS) masuk di ponsel saya. Saya diminta untuk ke kantor saat itu juga. Ada panggilan tugas mendadak yang harus segera dirampungkan. Setelah mandi dan sarapan, saya bergegas mengambil kemeja di lemari. Karena terburu-buru, setelah memakai kemeja, saya mengambil celana jins di centelan pintu kamar.

Sebelumnya, istri saya sudah mengingatkan agar saya tak memakai celana jins di centelan tersebut. Alasannya, celana ”Maaf, tapi saya buru-buru,” jawab saya kepada dia. Setelah mengucapkan salam kepada istri, saya langsung berangkat ke kantor.

Waktu kian beranjak siang, saya masih meeting. Setelah azan salat Duhur memanggil, saya lekas minta izin untuk salat dahulu. Setelah salat, beberapa waktu kemudan ponsel saya berbunyi, menyampaikan SMS baru.

Rupanya, SMS itu berisi dari istri saya. Namun, semuanya mendadak berubah. Saya tertegun membaca SMS tersebut. Saya yang tadinya semangat menjadi lemas. Raut wajah ini saat itu tak dapat menyembunyikan rasa malu. Apa penyebabnya?

Istri saya ternyata tak suka saya memakai celana jins tadi. Dalam SMS itu, istri saya kecewa karena saya mengenakan jins yang seharusnya dia cuci pagi itu. ”Tak pantas menghadap Allah dengan memakai celana yang sudah lusuh dan kotor,” demikian sebagian isi pesan singkat tersebut.

Saya terhenyak. Bibir saya terasa kelu. Saya betul-betul malu. Istri saya benar. Tak seharusnya saya menghadap Sang Pencipta dalam keadaan memakai celana jins yang mungkin saja sudah kotor tersebut.

Malam ketika mengedit berita, saya teringat dengan SMS tersebut. Sungguh, saya bersyukur dengan anugerah Allah yang begitu besar ini. Ada seorang perempuan baik yang kerap mengingatkan dalam hal kebaikan. Semoga Allah selalu merahmatinya.

Rabbana hablana min azwajina wadzurriyatina qurrata a’yun waj’alna lil muttaqina imama...

Graha Pena, 5 Januari 2010
www.samuderaislam.blogspot.com

Warisan Terbaik



Oleh Eko Prasetyo


Long life education. Mungkin kita tak asing lagi dengan pepatah asing itu. Pendek, hanya terdiri atas tiga kata. Namun, maknanya sangat dalam. Yakni, belajar sepanjang hayat.

Saya mendengar kalimat tersebut untuk kali pertama pada saat duduk di bangku SMP. Kalimat tersebut meluncur dari bibir guru kami untuk memotivasi kami dalam belajar.

Ya, belajar memang tak boleh berhenti pada satu titik atau masa. Belajar tak mengenal muda atau tua. Bahkan, belajar tak dibatasi oleh usia. Islam sendiri mewajibkan setiap muslim untuk menuntut ilmu.

”Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama?” (At-Taubah: 122).

”Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam” (HR Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi dari Anas bin Malik)

*****

Dalam suatu kesempatan, saya mengedit berita kriminal yang terjadi di salah satu daerah di Jawa Timur. Yakni, seorang anak tega membunuh orang tuanya hanya gara-gara tidak diberi warisan. Dalam kesempatan lain, saya mengedit berita pembunuhan yang melibatkan saudara kandung. Pemicunya adalah masalah warisan.

Gara-gara warisan, saudara tega membunuh saudaranya.
Gara-gara warisan, anak tega menghilangkan nyawa orang tuanya.
Hanya karena warisan, darah menjadi tak lebih berharga ketimbang uang.

Tidak sekali dua kali saya mendapati atau membaca berita seperti itu. Duniawi benar-benar dapat membuat mata hati seseorang buta. Harta betul-betul ”bisa” membeli nyawa seseorang. Tak terkecuali, darah saudara kandung atau orang tua sendiri sekalipun.

*****

Menjelang wisuda, orang tua saya datang ke Surabaya untuk menghadiri acara tersebut. Lelah setelah menempuh perjalanan jauh dari Jakarta seolah tak tampak ketika mereka melihat saya ditahbiskan bersama rekan-rekan lain. Bangga dan bahagia.

Malam sebelum acara tersebut, ayah saya berkata bahwa beliau tidak bisa memberi apa-apa kepada saya sebagai bekal saya selepas lulus kuliah. Saya hanya menghela napas. Kami bertiga berbincang-bincang cukup lama hingga larut malam.

Saya belum menangkap maksud ayah. Pikiran saya terpecah. Di satu sisi, saya senang bisa menuntaskan pendidikan. Di sisi lain, saya bakal menghadapi medan tantangan yang luas setelah menjadi raja sehari sebagai sarjana.

Ya, banyak rekan saya yang justru khawatir. Mereka menghadapi masalah yang sama dengan saya. Kebanyakan di antara kami waktu itu hanya memikirkan ”harus segera dapat pekerjaan”.

Padahal, saya sadar betul bahwa sarjana itu tidak cukup hanya mencari pekerjaan. Sarjana dilahirkan untuk membuka lapangan pekerjaan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Malam itu, ayah saya mengatakan bahwa beliau senang karena saya sudah lulus. ”Hanya ilmu yang bisa saya titipkan sama kamu, bukan uang atau harta lain,” ucap beliau ketika itu. Beliau yakin saya bisa berbuat lebih baik dengan ilmu. Bila terus digunakan, ilmu ibarat pedang. Ia akan semakin tajam bila terus diasah. Berbeda dengan uang, ia akan habis tak tersisa setelah dipakai terus-menerus.

Kalimat tersebut masih terngiang hingga kini. Saya sadar bahwa saya telah menerima warisan terbaik dari orang tua saya. Warisan tersebut adalah ilmu. Tentunya, ilmu itu mesti dimanfaatkan secara baik.

Setiap kali selesai salat, tak lupa saya selalu panjatkan doa untuk orang tua saya. Sebab, mereka sangat berjasa dalam perjalanan hidup saya. Pengorbanan mereka sangat besar dalam mendidik kami dan membekali kami dengan warisan terbaik.

Saya memang tak menerima uang puluhan juta rupiah atau tanah dan rumah bagus dari orang tua. Saya hanya menerima pelajaran yang amat baik dari beliau dan itu tak bisa dihargai dengan apa pun.

Rabighfirli waliwalidayya warhamhumma kama rabbaya nisaghira...

prasetyo_pirates@yahoo.co.id
(dimuat Eramuslim, 4 Januari 2009)

Memberi bila...

Oleh Eko Prasetyo

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Kalimat tersebut kerap diucapkan oleh guru kepada murid atau orang tua kepada anak sebagai pesan yang bijak. Maknanya kurang lebih adalah memberi lebih baik daripada menerima.

Namun, seiring perkembangan zaman, rasa solidaritas dan sosialitas ikut tergerus. Yang memberi memang lebih banyak. Tapi, yang memberi dengan maksud tertentu atau berharap imbalan pun tak sedikit. Pejabat yang doyan menerima ketimbang memberi juga banyak, maksudnya menerima suap dan sejenisnya.

***

Minggu pagi (11/10), saya dan istri bermaksud membeli tiket kereta api jurusan Jakarta di Stasiun Gubeng, Surabaya. Jam menunjukkan pukul 09.30. Di perempatan Jl Raya Gubeng, lampu rambu menyalakan warna merah. Tak jauh dari kendaraan saya, beberapa bocah menjajakan koran. Setelah lampu hijau menyala, ada uang kertas milik salah seorang pengendara motor yang jatuh.

Dia tak menyadarinya. Seorang loper koran perempuan cilik berteriak-teriak memanggil pengendara motor tersebut. Bocah itu berseru sambil membawa dua lembar uang kertas pecahan Rp 20 ribu. Saya tetap melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang, bermaksud melihat apa yang selanjutnya terjadi.

Saya menghentikan kendaraan di dekat restoran Hanamasa, tepat di seberang Stasiun Gubeng lama. Kami melihat pengendara motor tadi berhenti dan menerima uangnya yang terjatuh tersebut dari loper koran itu.

Pemandangan itu mampu menarik perhatian saya. Jauh lebih menarik ketimbang pemilihan ketua umum Partai Golkar di Pekanbaru yang baru saja dihelat.

Bagi kami, dua lembar uang Rp 20 ribuan itu mungkin tak seberapa. Namun, buat loper koran tersebut, uang itu mungkin sangat besar. Tak gampang mencari uang Rp 1.000 di kota besar ini. Kendati demikian, dia tidak silau dengan jumlah tersebut. Kalau mau, dia bisa saja mendiamkan dan tidak memanggil si pengendara motor agar dapat menguasai uang itu. Namun, loper koran itu tak melakukannya.

Sebelumnya, saya menjumpai sekelompok anak-anak dari sebuah yayasan yatim piatu di Surabaya menyetorkan bantuan untuk para korban gempa di Sumatera Barat. Bantuan itu disalurkan melalui kantor kami. Memang, musibah gempa tersebut tidak hanya mengoyak hati para korban selamat. Indonesia pun sangat berduka.

***
Pada zaman serbadigital seperti sekarang, aroma kapitalisme teramat kental. Materi berada di atas segala sesuatu. Keuntungan dijadikan dewa dan target utama. Ikhlas seakan terkikis. Tanpa disadari, kita terkadang hanya mau memberi jika mendapatkan lebih banyak. Mau memberi bila ada maksud tertentu.

Dua pemandangan tadi menggoda saya untuk menelaah hikmahnya. Saya bersyukur bisa melihatnya secara langsung. Setidaknya, di tengah-tengah iklim kapitalis, masih ada orang-orang berhati mulia dan mau memberi tanpa berharap imbalan.

Graha Pena, 11 Oktober 2009

(dimuat Eramuslim, 22 Okt 2009)